Apakah RUU TPKS Bisa Melindungi Anak Korban Kekerasan Seksual?
Mari bersama setop kekerasan terhadap perempuan dan anak
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Denpasar, IDN Times - Indonesia Joining Forces (IJF), aliansi enam organisasi hak anak, bersama Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (PKTA) dan Jaringan AKSI, mengadakan media briefing bertajuk Sejauh Mana RUU TPKS Melindungi Anak Korban Kekerasan Seksual.
Kegiatan yang digelar secara daring pada Rabu (19/1/2022) itu untuk menyuarakan upaya kolaborasi dalam mengupayakan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang mengakomodir perlindungan anak.
Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) telah disahkan menjadi RUU Usul Inisiatif Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) pada Selasa (18/1/2022). Lalu bagaimana tanggapan sejumlah pihak terhadap RUU ini?
Baca Juga: Belajar dari Viral Pernikahan Perempuan di Bali, Ini Aturan Nyentana
1. IJF mencatat beberapa hal soal perlindungan anak yang belum diakomodir ke dalam RUU
Ketua Eksekutif Komite IJF, Dini Widiastuti, mengatakan ia mengapresiasi inisiatif dari DPR yang telah menjadikan RUU TPKS ini sebagai RUU Usul Inisiatif Baleg DPR RI. IJF juga mengapresiasi Presiden Joko "Jokowi" Widodo yang telah menunjukkan komitmen dalam mendorong percepatan pembahasan RUU TPKS.
Pengesahan RUU ini menurutnya menjadi milestone yang penting. Namun perjuangan untuk menghapus kekerasan seksual ini masih panjang.
IJF mencatat ada beberapa hal yang belum diakomodir ke dalam RUU tersebut, khususnya yang berkaitan dengan isu perlindungan anak, di antaranya:
- Pemaksaan perkawinan
- Penjelasan lebih rinci terkait pencegahan dan penindakan kekerasan seksual di dan melalui perantara teknologi digital
- Unsur consent yang tidak relevan jika digunakan dalam berbagai bentuk kekerasan seksual yang dialami anak
“RUU ini tidak hanya menjadi tanggung jawab kementerian yang ditunjuk dalam implementasi RUU ini. Namun juga seluruh pihak, seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, komunitas seperti Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat. Selain itu, penting juga untuk melibatkan anak dalam konsultasi penyusunan Daftar Inventaris Masalah pemerintah,” tegas Dini Widiastuti.
Tenaga Ahli Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) DKI Jakarta, Dr Margaretha Hanita SH MSi, menambahkan, ada enam tantangan perlindungan korban dan pelaku kekerasan seksual anak. Enam hal itu belum diakomodir di dalam RUU TPKS, di antaranya:
- Dalam Pasal 26 RUU TPKS, kewajiban melapor hanya diberikan kepada tenaga kesehatan
- Harusnya keluarga, tenaga pendidik, masyarakat juga memiliki kewajiban yang sama
- Belum adanya poin aborsi
- Belum adanya poin pencegahan kehamilan bagi korban pemerkosaan
- Terbatasnya rumah aman dinas sosial bagi korban
- Anak korban kekerasan seksual tidak mendapatkan rehabilitasi secara paripurna sehingga akhirnya menjadi pelaku kekerasan seksual