TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Pakar Virologi Unud Tegaskan Tidak Perlu Rapid Test, PCR Lebih Akurat

Walau hasil rapid test non reaktif, bisa saja bawa virus

warga gang Tegal Wangi jalan Gunung Salak Banjar Tegallantang Klod Desa Padangsambian Klod mengikuti Rapid Test (Dok.IDN Times/Humas Pemkot Denpasar)

Denpasar, IDN Times – Saat pandemik ini, ibu hamil disarankan untuk rapid test pada usia kandungan minggu ke-37 atau ke-38 atau dua minggu sebelum jadwal melahirkan. Hal itu sempat diungkapkan oleh Kepala Puskesmas Selemadeg Barat, dr Wayan Arya Putra Manuaba. Ia menyampaikan bahwa rapid test ini dilakukan untuk mengetahui apakah ibu hamil tersebut terpapar virus COVID-19 atau tidak, sehingga nantinya bisa diambil tindakan yang sesuai.

Apabila ternyata sang ibu positif COVID-19, tenaga kesehatan akan lebih mudah melakukan tindakan pencegahan agar tidak menular ke bayinya. Jadi tidak serta merta rapid test sebab sesungguhnya ibu hamil juga di-screening terkait penyakit HIV, sifilis, dan hepatitis.

IDN Times kembali mencoba menghubungi Profesor Virologi Universitas Udayana, GN Mahardika terkait perlu tidaknya rapid test untuk syarat administrasi. Berikut hasil wawancara IDN Times dengan GN Mahardika melalui sambungan telepon pada Kamis (20/8/2020).

Baca Juga: Lion Air Group Mulai Layani Rapid Test di Bali, Lokasi Dekat Bandara 

Baca Juga: Pakar Virologi UGM: Vaksin Bukan Satu-satunya Solusi Hentikan Pandemik

1. Rapid test alat yang tidak sensitif

Website

Mahardika menyampaikan bahwa menurut pandangannya, rapid test adalah alat diagnostik dokter untuk penaping (tapping) cepat pasien. Nah, alat rapid test ini alat yang tidak sensitif dikarenakan diperlukan antibody yang banyak sekali untuk menunjukkan hasil reaktif.

“Nah itu satu poin kelemahannya dia,” jawabnya.

Kedua, rapid test ini hanya menunjukkan antibody, tidak menunjukkan virus. “Yang kemudian kalau dijadikan administratif rapid test itu, tidak menutup kemungkinan ada pasien yang non reaktif tetapi membawa virus. Di sana kemudian kelemahannya kalau ini dijadikan syarat administratif,” ungkapnya.

2. Polymerase Chain Reaction yang seharusnya dipakai

RS PHC, anak perusahaan Pelindo 1, sudah memiliki laboratorium PCR untuk menguji sampel swab tenggorok. (dok Humas Pelindo 1)

Selanjutnya, Mahardika mengatakan bahwa apabila memang ingin aman dari virus, untuk memastikan apakah seseorang membawa virus atau tidak, maka Polymerase Chain Reaction (PCR) yang dipakai, bukan rapid test.

“PCR yang mestinya dipakai. Bukan rapid test gitu. Rapid test itu tidak sensitif,” jelasnya.

3. Hasil rapid test reaktif, bisa saja tidak membawa virus

Arema FC gelar rapid test jelang kembali berlatih. IDN Times/ Alfi Ramadana

Apabila ada orang yang sakit lebih dari 10 hari sebelum rapid test dan kemudian sembuh, maka hasil rapid test akan non reaktif.

“Yang kita takuti kan orang yang membawa virus, bukan orang yang mempunyai antibody. Gitu. Jadi kalau misalnya sekarang orang itu rapid test-nya non reaktif, dia bisa saja membawa virus,” jelasnya.

Sedangkan yang hasil rapid test reaktif, bisa saja tidak membawa virus. “Sehingga sebaiknya dipertimbangkan untuk tidak dipakai. Kalau ingin memakai, pakailah uji PCR,” tegasnya.

Berita Terkini Lainnya