10 Masalah Turun-Temurun yang Sering Dibahas Namun Tak Kunjung Usai

Terkadang, masalah tidak hanya hadir dalam sekali, sering kali diwariskan turun-temurun. Apa yang dulu dikeluhkan oleh generasi sebelum kita, kini masih jadi beban yang sama. Bedanya, seiring perubahan zaman, bentuk masalahnya pun kian beragam. Namun, masalah itu masih ada dan tidak pernah benar-benar selesai. Kita hanya berganti cara membicarakannya. Sesekali, hal itu terasa melelahkan dan menguras tenaga karena terus memutar-mutar masalah yang selalu sama berulang kali tanpa ada titik temu.
Mungkin memang ada hal-hal yang bukan untuk diselesaikan, tapi untuk terus kita jalani dan pikul bersama. Inilah sepuluh masalah turun-temurun yang terus hidup dari masa ke masa.
1. Harga kebutuhan pokok yang selalu naik

Kenaikan harga kebutuhan pokok seolah menjadi agenda rutin setiap tahun. Baru gajian, tiba-tiba dompet sudah menipis lagi akibat pengeluaran yang melonjak. Kenaikan harga sembako memang sangat menguras dompet kita, tapi apa daya, kebutuhan terus berjalan. Mengutarakan keberatan pun terdengar mustahil untuk ditanggapi, ujung-ujungnya kita diminta lebih sabar dan bijak dalam mengatur belanja. Akibat terlalu sering terjadi, kita sudah tidak heran dan kaget lagi, malah jadi pasrah. Ini bukan sekadar masalah ekonomi biasa, melainkan tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi.
2. Transportasi umum yang tidak nyaman

Transportasi umum sering dianggap solusi paling ampuh untuk mengurangi kemacetan. Meski terdengar ideal, kenyataannya tidak sedikit yang jauh dari harapan. Kereta penuh sesak, berdesakan, suasana panas, dan setiap stasiun justru makin ramai. Belum lagi kalau jadwal tertunda, badan sudah lelah duluan sebelum sampai kantor. Tidak heran, banyak orang yang akhirnya kembali menggunakan kendaraan pribadinya untuk bepergian. Ironisnya, hal ini justru menambah kemacetan semakin parah. Akibatnya, lingkaran masalah ini tidak pernah selesai.
3. Work-life balance yang hanya teori

Katanya hidup itu harus seimbang antara kerja dan istirahat. Kedengarannya memang indah, apalagi kalau hanya jadi quotes di media sosial. Namun, realita tidak pernah seindah teori. Laptop yang masih terbuka hingga larut malam, dan weekend yang harusnya santai justru diganggu dengan notifikasi kerjaan. Kita sering kelelahan tanpa jeda daripada menyeimbangkan hidup. Akhirnya work-life balance hanya sebagai jargon manis yang sulit diwujudkan.
4. Gaji vs biaya hidup yang tidak nyambung

Perjuangan antara gaji dan biaya hidup rasanya tidak pernah selaras. Momen gajian memang selalu bikin tersenyum, tapi senyum itu hilang seketika begitu menyadari daftar kebutuhan hidup yang tidak sedikit. Belum lagi kebutuhan pokok yang biayanya kian melonjak. Ujung-ujungnya, kita hanya bisa mengatur strategi pengeluaran agar tidak kehabisan uang sebelum akhir bulan. Hidup ini terkesan seperti permainan survival, fokusnya bukan menikmati, tapi bertahan hidup. Mirisnya, di tengah kondisi tersebut, kita masih tetap diingatkan untuk tetap bersyukur dan merasa cukup.
5. Stigma kesehatan mental

Topik kesehatan mental memang banyak diperbincangkan. Tapi, ketika isu mental health ini diangkat dalam keluarga, kadang masih ada yang menganggapnya sekadar drama, tanda kurang bersyukur, dan lemahnya iman. Luka yang tidak terlihat sering kali diremehkan, padahal bisa lebih menyakitkan dibanding luka fisik. Akibatnya, banyak orang yang memilih bungkam agar tidak dicap lemah atau mencari perhatian. Dampaknya, stigma ini tetap bertahan, sementara isu kesehatan mental hanya ramai dibicarakan di media sosial.
6. Pendidikan yang mahal

Pendidikan sering disebut sebagai hak semua orang menuju masa depan yang lebih baik. Namun, realitanya tidak semudah itu. Biaya pendidikan semakin hari terasa kian mencekik. Sekolah tinggi jadi terlihat seperti perlombaan yang hanya dapat diikuti oleh mereka yang mampu saja. Hingga pada akhirnya, tidak sedikit anak yang harus mengubur impiannya karena tabungan keluarga yang tidak cukup untuk membiayai pendidikannya. Pengumuman kenaikan biaya kuliah setiap tahun rasanya sudah tidak mengejutkan lagi. Anehnya, pendidikan tinggi lebih mirip privilege daripada hak yang seharusnya bisa dirasakan semua orang.
7. Overthinking tentang masa depan

Masa depan memang selalu penuh tanda tanya. Sejak sekolah, kita sering dipertanyakan tentang cita-cita, tapi jawaban kita selalu berubah-ubah, dan tidak pernah benar-benar ditemukan. Kenyataannya, hidup tidak pernah semulus rencana. Setiap pilihan terasa seperti tebak-tebakan. Alih-alih menikmati proses, kita justru sibuk memikirkan hal-hal yang belum tentu terjadi. Pada akhirnya, kita hanya bisa berjalan sambil menebak-nebak langkah berikutnya. Masa depan pun berubah menjadi sumber overthinking daripada semangat melangkah.
8. Toxic relationship yang susah dilepas

Hubungan toxic sering bikin kita terjebak dalam lingkaran yang melelahkan. Kita tahu ada yang salah, tapi tetap memilih bertahan karena takut kehilangan atau berharap ada perubahan. Nasihat yang mudah kita berikan ke orang lain, justru sulit kita terapkan pada diri sendiri. Logika sudah mengingatkan untuk berhenti, tapi hati seolah menolak melepaskan. Akhirnya, kita hanya berputar-putar di situasi yang sama, tanpa pernah benar-benar bebas.
9. Polusi dan kerusakan lingkungan

Masalah lingkungan sebenarnya sudah ada di depan mata, tapi sering kita anggap angin lalu. Sampah berserakan, plastik sekali pakai masih jadi andalan, dan kebiasaan kecil yang merusak bumi tetap dijalani tanpa rasa bersalah. Kampanye cinta lingkungan memang ramai di mana-mana, tapi praktiknya jarang benar-benar dijalankan. Ujungnya, kita terpaksa hidup dengan udara yang makin sesak dan cuaca yang makin tidak bisa ditebak, sambil berpura-pura tidka mengetahui siapa penyebabnya.
10. Generasi yang saling menyalahkan

Pertengkaran antar generasi seolah jadi drama tanpa akhir. Generasi Boomer sibuk menuduh Gen Z manja, sementara Gen Z balik menyebut boomer tidak peka. Semua sibuk saling lempar kesalahan, tapi lupa kalau masalah yang diperdebatkan justru sama-sama belum mereka selesaikan. Kita lebih sering bikin perdebatan panjang di media sosial daripada benar-benar cari jalan keluar. Akibatnya, masalah lama hanya dipoles dengan wajah baru, lalu diwariskan lagi ke generasi berikutnya.
Mungkin masalah-masalah ini memang bukan untuk diselesaikan sekali dan untuk selamanya. Mereka hadir untuk mengingatkan kita bahwa dunia tidak pernah sempurna, dan kesempurnaan hanyalah ilusi. Yang bisa kita lakukan hanyalah terus melangkah, meski jalannya penuh lubang, berliku, dan kadang membuat kaki terantuk. Justru dari situ, kita belajar banyak bahwa kesabaran, kemampuan berkompromi, dan cara tersenyum bahkan ketika situasi kacau. Hidup bukan soal menghapus semua masalah, tapi soal bagaimana kita berjalan bersama mereka, sambil tetap belajar, bertumbuh, dan kadang tertawa di tengah kekacauan.