Membedah Tuah Warisan Adat Bali dan Adat Minangkabau, Apa Bedanya?

- Sistem kekerabatan patrilineal di Bali dan matrilineal di Minangkabau memengaruhi pembagian warisan
- Warisan di Minangkabau berupa harta tinggi dan rendah, sementara di Bali juga termasuk tanggung jawab dalam melanjutkan keturunan
- Perkembangan sistem warisan adat Bali semakin memperhatikan kesetaraan gender, sementara adat Minangkabau dipengaruhi oleh hukum Islam
Warisan lekat dengan gambaran harta benda peninggalan orangtua. Namun, warisan tak hanya meliputi harta benda. Hak yang diperoleh juga sejalan dengan kewajiban yang harus dilaksanakan. Menerima warisan harus dengan penuh tanggung jawab dan semangat merawat yang telah diwariskan. Bukan menghamburkan hartanya, dan pergi tanpa melaksanakan kewajiban penyertanya.
Menelaah dari sisi hukum, sistem warisan di Indonesia terbagi dalam tiga sistem, yaitu sistem waris menurut hukum Islam, hukum perdata (Burgerlijk Weetbook), dan sistem hukum adat. Satu dari ketiga sistem waris itu yang unik digali adalah sistem hukum adat. Sebab, sistem hukum adat dalam waris berbeda-beda, sesuai dengan hukum adat yang berlaku di masing-masing wilayah adat.
Belakangan ini, ketimpangan penerima warisan di Bali terus dibicarakan. Intinya, bahwa perempuan adat Bali selalu menjadi nomor kesekian dalam pembagian warisan. Warga internet (warganet) ramai membandingkan sistem waris adat Bali dengan sistem waris adat Minangkabau. Apa saja perbedaannya dan perkembangan sistem waris keduanya? Baca selengkapnya di bawah ini.
Menelaah cara penarikan garis keturunan, antara patrilineal dan matrilineal

Sebelum mencari tahu ke mana arah warisan tertuju, kali ini diawali dulu dengan telaah atas cara penarikan garis keturunan. Adat Bali mengenal sistem kekerabatan patrilineal, yaitu penarikan garis keturunan dari pihak bapak atau laki-laki. Sementara Adat Minangkabau yang terpusat di Sumatra Barat mengamini sistem kekerabatan matrilineal, penarikan garis keturunan dari pihak ibu atau perempuan.
Penarikan garis keturunan ini memengaruhi berbagai tata cara dalam kehidupan beradat. Satu di antaranya soal pembagian waris. Perempuan dalam adat Bali menjadi pilihan kesekian dalam sistem waris. Jika perempuan melangsungkan perkawinan ngidih atau sentana-bentuk perkawinan adat Bali pada umumnya-maka Ia langsung kehilangan hak dan kewajiban mewaris.
Sementara, perempuan dalam adat Minangkabau dengan adanya sistem matrilineal, secara umum memiliki jaminan utama atas hak dan kewajiban waris. Warisan akan diserahkan dari ibu kepada anak perempuannya.
Warisan materiel dan imateriel, keseimbangan antara hak dan kewajiban

Keturunan yang menerima warisan selain mendapatkan hak, juga harus bersiap atas kewajibannya. Pada adat Minangkabau, umumnya warisan yang diberikan berupa harta tinggi dan harta rendah. Harta tinggi merupakan harta yang diwariskan sejak turun-temurun, biasanya meliputi pusaka leluhur. Sementara, harta rendah adalah harta yang diwariskan langsung dari ibu ke anak, tanpa adanya jarak dari generasi sebelumnya.
Kalau di adat Bali, yang diwariskan tidak cuma harta benda, tapi tanggung jawab dalam melanjutkan keturunan dan beradat (ayah-ayahan). Anak laki-laki di Bali akan mendapatkan harta benda, misalnya rumah secara terlihat dan tak terlihat. Secara tak terlihat, rumah yang diwariskan berupa keberlanjutan menyembah leluhur. Ini terjadi jika si laki-laki memilih jenis perkawinan yang biasa, yaitu menikahi perempuan dan mengajaknya melanjutkan keturunan keluarga dari pihak laki-laki.
Apakah posisi bisa berbalik, perempuan membawa laki-laki ke rumahnya dan melanjutkan keturunan? Jawabannya bisa ya. Meski dikenal dengan sistem kekerabatan patrilineal, adat Bali juga punya jenis perkawinan nyentana. Mudahnya, laki-laki dan perempuan bertukar peran, bahwa perempuan jadi pusat penarikan garis dan keberlanjutan keturunan.
Perkembangan sistem warisan adat Minangkabau dan adat Bali

Sistem warisan adat Bali kian berkembang seiring kemajuan zaman. Pemahaman terhadap hak asasi dan meretas budaya patriarki, menelurkan kebijakan adat yang semakin memperhatikan kesetaraan gender. Tahun 2010, ditetapkan Pesamuhan Agung III Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali Tahun 2010, tanggal 15 Oktober dengan Nomor 01//KEP/PSM/-3MDP Bali/X/2010.
Aturan itu menjelaskan kedudukan waris bagi perempuan anak kandung, janda, maupun anak angkat perempuan. Perempuan Bali dapat menerima setengah dari hak waris orangtua setelah dipotong sepertiga untuk harta pustaka dan kepentingan pelestarian. Namun jika perempuan Bali tersebut pindah agama lain, mereka tidak mendapat hak waris. Jika orangtua ikhlas, tetap terbuka dengan memberikan jiwa dana atau bekal sukarela.
Sementara, perkembangan sistem waris adat Minangkabau, dipengaruhi oleh sistem waris berdasarkan hukum Islam. Kini, harta rendah tidak hanya diterima sepenuhnya oleh perempuan, tapi dapat diterima semua keturunan. Sebelum memutuskan hal itu, pemberi warisan harus berdialog dengan ahli waris. Jika ahli waris setuju, maka penerima harta rendah dapat dibagi sama rata. Sedangkan penerima harta tinggi, tetap sejalan dengan prinsip matrilineal, yaitu dari perempuan untuk perempuan generasi berikutnya.