Sejarah Tradisi Berburu Kijang dari Desa Busungbiu Buleleng

Desa Busungbiu di Kecamatan Busungbiu, Kabupaten Buleleng memiliki sebuah tradisi berburu atau maboros. Tradisi ini dinamakan Maboros I Bulu Pangi. I Bulu Pangi yang dimaksud adalah Kijang. Tradisi ini berkaitan erat dengan upacara yang diadakan di Desa Busungbiu.
Seperti apa tradisi ini? Berikut penjelasan Tradisi Maboros I Bulu Pangi yang dikutip dari jurnal berjudul Tradisi Meboros Kidang Terkait Prosesi Upacara Keagamaan di Desa Busung Biu Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
1. Sejarah Tradisi Berburu Kijang atau Maboros I Bulu Pangi

Tradisi Maboros I Bulu Pangi berawal dari keberhasilan Desa Busungbiu mendirikan sebuah Pura Puseh Desa. Hal ini terjadi saat kedatangan Gusti Patih Cili Ularan dari Suweca Pura ke daerah yang disebut Gedang Janur atau Busungbiu, bersama 200 orang pengikut dan dua penasihatnya. Sebelumnya, ia mengembara ke daerah Wong Ayu di Kabupaten Tabanan dan Pucak Kedaton Watukaru.
Gusti Patih Cili Ularan sangat diterima oleh para tokoh Gedang Janur, yang saat itu masih dihuni oleh beberapa orang saja. Ia beserta 66 pengikutnya memilih menetap di tempat tersebut. Mereka bersama warga setempat lalu membangun Pura Puseh Desa.
Pada Purnamaning Kapat (bulan purnama keempat dalam kalender Bali), sekitar tahun 1500, dilaksanakan upacara atau piodalan (hari raya pura) pertama di pura tersebut. Seorang tokoh agama setempat, Ida Pedanda Sakti Sinuhun, memberikan I Bulu Pangi atau Kijang untuk dijadikan sarana persembahan. Semenjak itulah warga menggunakan I Bulu Pangi sebagai sarana persembahan dan melakukan perburuan atau maboros untuk mendapatkannya.
2. Persiapan pelaksanaan Tradisi Maboros I Bulu Pangi

Tradisi Maboros I Bulu Pangi dilaksanakan sebelum piodalan Pura Puseh Desa yang jatuh pada rahinan Purnama Kapat. Sebelum pelaksanaan itu, warga desa setempat terlebih dahulu melakukan rapat (paum). Peserta rapatnya adalah pemimpin desa beserta Tegak 66 atau keturunan dari pengikut Gusti Patih Cili Ularan. Rapat digelar di Bale Lantang yang ada di Pura Puseh Desa.
Rapat ini untuk menentukan hari pelaksanaan tradisi ini. Setelah menetapkan hari, mereka mengumumkan hasil keputusannya kepada warga desa. Warga lalu melakukan persiapan terkait pelaksanaan Tradisi Maboros I Bulu Pangi.
Sehari sebelum pelaksanaan maboros, dilakukan sebuah tradisi yang disebut dengan nama Ngajit atau Ngancuk Bintang. Ngajit dilakukan pada tengah malam, tepatnya pukul 00.00 Wita. Tradisi ini bertujuan untuk memohon doa dan restu dari Ida Sesuhunan serta para leluhur agar pelaksanaan Tradisi Maboros I Bulu Pangi bisa berjalan lancar.
Selain melakukan persembahyangan bersama, pada pelaksanaan Ngajit terdapat tarian yang dilakukan oleh daratan atau orang yang sedang kesurupan. Tarian ini dipercaya menjadi petunjuk untuk pelaksanaan Tradisi Maboros keesokan harinya.
3. Pelaksanaan Tradisi Maboros I Bulu Pangi

Tradisi Maboros dimulai pukul 06.00 Wita. Sebelum para pria berangkat untuk meboros, mereka terlebih dahulu berkumpul di Pura Puseh Desa untuk melakukan persembahyangan bersama, yang dipimpin oleh tokoh agama dan desa setempat. Warga ini menggunakan topi berbahan upih (tangkai pelepah pinang) sebagai simbol siap berburu. Lokasi perburuan Kijang dilakukan di Hutan Pangkung Biu.
Uniknya, tradisi ini menambahkan sarana upacara atau banten berupa layang-layang, gangsing, dan kelereng. Masing-masing sarana memiliki makna yang berhubungan dengan Tradisi Maboros I Bulu Pangi. Layang-layang sebagai simbol keseimbangan, gangsing sebagai simbol satu tujuan, dan kelereng sebagai simbol tekad yang kuat dalam pelaksanaan Tradisi Maboros I Bulu Pangi.
Setelah upacara ini selesai, barulah warga menuju ke Hutan Pangkung Biu untuk melaksanakan Tradisi Maboros I Bulu Pangi. Lokasi yang dituju biasanya sesuai petunjuk saat pelaksanaan Tradisi Ngajit. Tradisi turun-temurun ini selalu mendapatkan Kijang. Kijang ini nantinya digunakan sebagai sarana bukakak dan paci-paci, yaitu hidangan mirip lawar yang dibagikan kepada warga desa).
Desa Busungbiu melaksanakan Tradisi Maboros I Bulu Pangi dua kali dalam lima tahun. Biasanya menggunakan tiga ekor kijang dalam rentan lima tahun tersebut. Hal ini juga berisiko mengganggu kelestarian Kijang sebagai hewan yang dilindungi di Indonesia. Namun di satu sisi, warga setempat justru melarang perburuan liar Kijang di wilayahnya untuk menjaga kelestarian.