Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Mengenal Istilah Merajan di Bali dan Bedanya dengan Sanggah

Ilustrasi merajan atau tempat persembahyangan di setiap rumah umat Hindu di Bali. (IDN Times/Yuko Utami)
Ilustrasi merajan atau tempat persembahyangan di setiap rumah umat Hindu di Bali. (IDN Times/Yuko Utami)

Umat Hindu di Bali sudah tidak asing dengan istilah merajan. Namun, di satu sisi mungkin masih ada yang kebingungan apakah merajan dan sanggah itu sama? Demi menjawab itu, ada ulasan dari Ketut Wiana yang menuliskan dalam bukunya bertajuk Bagaimana Umat Hindu Menghayati Tuhan tentang makna merajan dan sanggah. Melalui buku itu, Wiana menjelaskan bahwa merajan sebagai istilah untuk menyebut tempat pemujaan keluarga, tergolong dalam istilah bahasa singgih atau Bahasa Bali halus.

Sedangkan dalam Bahasa Bali kapara atau bahasa lumrah disebut dengan nama sanggah. Secara spesifik, merajan diperuntukkan bagi persembahyangan umat Hindu dalam satu ikatan keluarga yang sama. Lokasinya berada di rumah tua atau rumah induk suatu keluarga. Sementara, sanggah lebih fleksibel sebagai tempat persembahyangan pada rumah tangga, yang dapat dibangun meskipun sudah tidak menetap di rumah induk. Merajan juga kerap disebut sebagai ulun karang, yakni mendeskripsikan merajan ibarat sebagai kepala atau hulu dari pekarangan.

Supaya kamu mengetahui lebih lengkap tentang merajan maupun sanggah, berikut ini penjelasan selengkapnya.

Pembangunan tempat sembahyang Hindu ada ketentuannya

Ilustrasi Pura Besakih. (IDN Times/Yuko Utami)
Ilustrasi Pura Besakih. (IDN Times/Yuko Utami)

Ternyata, membangun tempat sembahyang Hindu ada ketentuan khususnya. Umat Hindu tidak dapat membangun merajan maupun sanggah secara serampangan. Ketentuan membangun tempat sembahyang Hindu sejalan dengan Bhisama atau Ketetapan Mahasabha II tahun 1968 Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat Tentang Tata Keagamaan (tempat tempat suci). Ada delapan poin ketentuan yang memudahkan keputusan umat Hindu dalam menentukan tempat sembahyang sesuai dengan segala aspek kehidupan.

Ketentuan pertama, kalau tidak mempunyai tempat tinggal yang dapat dianggap tempat suci terdekat sehari-hari ialah di hati kita sendiri. Kedua, kalau kita hanya mempunyai satu kamar, maka tempat suci kita wujudkan dalam bentuk pelangkiran (media umat Hindu memuja Ida Sang Hyang Widhi, berbentuk persegi panjang kecil dari kayu berisi ukiran).

Ketiga, kalau kita mempunyai satu rumah dan pekarangan, tempat suci dapat diwujudkan dengan sanggah kemulan (bentuk sementara atau permanen) yang berisikan pelinggih-pelinggih minimal rong tiga dan taksu. Pelinggih adalah bangunan sebagai simbol memuja dewa tertentu. Pelinggih rong tiga untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan dalam manifestasi Tri Murti, Dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa. Sementara pelinggih taksu untuk memohon kewibawaan dan kekuatan dalam menjalani hidup.

Pusat kota pemerintahan membangun Pura Jagatnatha

Padmasana di Pura Jagatnatha, Denpasar. (Pariwisata.denpasarkota.go.id)
Padmasana di Pura Jagatnatha, Denpasar. (Pariwisata.denpasarkota.go.id)

Selain ketiga ketentuan tadi, ada ketentuan lebih lanjut. Pada ketentuan keempat menyatakan, kalau kita mempunyai satu daerah pedesaan, maka tempat sucinya ialah Kahyangan Tiga, yakni Pura Desa, Pura Puseh (yang bisa digabungkan berisikan pelinggih-pelinggih: Gedong Sari, Meru Manjangan Seluang, Bale Agung dan Padmasana), dan Pura Dalem.

Kelima, kalau kita mempunyai daerah persawahan, maka tempat sucinya berdiri di tempat sumber air pertama dengan berisikan pelinggih-pelinggih: Padmasari, Tugu, Meru, namanya Pura Ulun Suwi.

Keenam, kalau kita mempunyai pasar, maka tempat sucinya dibangun dengan nama Pura Melanting. Ketujuh, dalam suatu kota pusat pemerintahan, tempat sucinya ialah pelinggih Padmasana Agung atau biasa disebut dengan nama Pura Jagatnatha. Kedelapan, tempat-tempat suci di atas gunung maupun tepi danau dan laut, didirikan pelinggih Padmasari menurut kemampuan.

Mengenal jenis-jenis pelinggih dalam merajan

Beberapa pelinggih di Pura Penambang Agung (dok.pribadi/Natalia Indah)
Beberapa pelinggih di Pura Penambang Agung (dok.pribadi/Natalia Indah)

Sementara itu, pelinggih yang berada dalam satu kawasan merajan difungsikan sesuai dengan dewa-dewi yang dipuja. Adapun rinciannya sebagai berikut.

  1. Taksu sebagai pelinggih Dewi Saraswati, sakti (kekuatan) Dewa Brahma dengan Bhiseka Hyang Taksu yang memberikan daya agar semua pekerjaan berhasil baik
  2. Pangrurah (pelinggih ratu ngurah) adalah pelinggih Bhatara Kala, putra Dewa Siwa dengan Bhiseka Ratu Ngurah yang bertugas sebagai pecalang atau penjaga sanggah pamerajan
  3. Sri Sedana atau Rambut Sedana yakni pelinggih Dewi Sri dengan Bhiseka Sri Sedana atau Limas Catu, yaitu sakti (kekuatan) dari Dewa Wisnu sebagai pemberi kemakmuran kepada manusia
  4. Padma, pelinggih Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud sebagai Siwa Raditya
  5. Manjangan Salwang; pelinggih Rsi Mpu Kuturan dengan Bhiseka Limaspahit, penyebar dan penyempurna Agama Hindu di Bali, abad ke-10 masehi
  6. Gedong Maprucut; pelinggih Danghyang Nirarta dengan Bhiseka Limascari, penyebar dan penyempurna Agama Hindu di Bali, abad ke-15 masehi
  7. Gedong Limas atau Meru tumpang satu, tiga, lima; pelinggih Bhatara Kawitan, yaitu leluhur utama dari keluarga
  8. Bebaturan; pelinggih Bhatara Ananthaboga dengan Bhiseka Saptapetala, yaitu sakti Sanghyang Pertiwi, kekuatan Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam menguasai bumi
  9. Bebaturan; pelinggih Bhatara Baruna dengan Bhiseka Lebuh, yaitu sakti Bhatara Wisnu, kekuatan Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam menguasai lautan
  10. Bebaturan; pelinggih Bhatara Indra dengan Bhiseka Luhuring Akasa, yaitu sakti Dewa Brahma, kekuatan Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam menguasai angkasa
  11. Gedong Limas; pelinggih Bhatara Raja Dewata dengan Bhiseka Dewa Hyang atau Hyang Kompiang, yaitu stana para leluhur di bawah Bethara Kawitan yang sudah suci
  12. Pengapit Lawang (dua buah di kiri-kanan Pamedal Agung): pelinggih Bhatara Kala dengan Bhiseka Jaga-Jaga, yaitu putra Dewa Siwa yang bertugas sebagai pecalang
  13. Balai Pengaruman; pelinggih Bhatara-Bhatari semua ketika dihaturi piodalan atau ayaban jangkep (harum-haruman). Sering juga disebut sebagai Bale Piasan (Pahyasan) karena ketika dilinggihkan di sini, pralingga-pralingga sudah dihias.

Namun, susunan pelinggih dalam merajan tidak mutlak seperti di atas. Setiap wilayah di Bali memiliki tradisi dan ciri yang berbeda-beda. Sehingga, susunan pelinggih ini tidak selalu sama. Contohnya, di Pura Pulaki, Penataran Ped, dan lainnya ada pelinggih khusus berbentuk limas atau sekepat sari, tujuannya khusus memuja batara-batari yang berstana di sana.

Kesamaan hanya terletak pada pelinggih pokok, misalnya rong tiga dan taksu. Jadi, intinya merajan atau pamerajan itu tempat sembahyang keluarga besar satu darah (keturunan) yang berada di kampung halaman. Sementara, sanggah tempah sembahyang keluarga kecil umat Hindu Bali di suatu rumah tangga.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Irma Yudistirani
EditorIrma Yudistirani
Follow Us

Latest Life Bali

See More

Mengenal Istilah Merajan di Bali dan Bedanya dengan Sanggah

04 Okt 2025, 14:46 WIBLife