Cara Industri Rokok Menargetkan Remaja dalam Iklan yang Tampak Keren

Bayangkan satu dari lima anak Indonesia memulai perilaku merokok sebelum memasuki usia 10 tahun dan menjadi ketergantungan sebelum usia 13 tahun. Lebih mengejutkan lagi, ada yang bahkan mulai merokok di usia 4 tahun. Ketika negara lain berhasil menurunkan jumlah perokok, Indonesia justru mengalami trend sebaliknya: angka perokok terus melonjak, terutama di kalangan anak-anak dan remaja.
Indonesia menduduki urutan kelima sebagai negara dengan proporsi perokok terbanyak di dunia. Pada 2025, WHO memprediksi jumlah perokok di Indonesia telah mencapai 38,7 persen total penduduk. Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa jumlah perokok aktif Indonesia diperkirakan mencapai 70 juta orang, dengan 7,4 persen di antaranya adalah perokok berusia 10-18 tahun. World Population Review bahkan menyebutkan bahwa perokok pria Indonesia adalah yang terbanyak di dunia.
Perusahaan tembakau sudah sejak lama menargetkan remaja dan anak-anak. Menurut Kemenkes, remaja yang sangat mudah terpengaruh oleh sesuatu yang baru, selalu mengikuti trend pergaulan, dan rentang waktu merokok yang panjang, menjadi beberapa alasan mereka ditargetkan. Upaya tersebut berhasil : WHO memperkirakan 37 juta anak dunia berusia 13-15 tahun menggunakan tembakau. Data dari SKI menunjukkan 18,4% dari perokok di Indonesia adalah anak usia 10-14 tahun. Perokok terbanyak ada di kelompok usia 15-19 tahun, disusul oleh kelompok usia 10-14 tahun.
Banyak taktik yang dilakukan oleh para perusahaan tembakau tersebut dengan harapan para remaja akan menjadi generasi penerus dari pecandu merk rokok tertentu yang telah berhenti atau meninggal. Mengkhawatirkan, bukan? Nah karena itu, sebaiknya kita tahu cara industri rokok menarget remaja. Yuk simak list-nya!
1. Desain produk eye-catching dengan rasa menarik yang menggiurkan

Industri rokok itu lihai banget beradaptasi. Dengan cepat mereka bisa meluncurkan produk baru yang nggak cuma bikin penasaran, tapi juga mampu menyiasati aturan yang bahkan sebelum aturan itu sempat diberlakukan. Ragam produk dirancang dengan sengaja untuk menarik perhatian remaja, baik dari segi cita rasa maupun tampilan produknya. Mulai dari rokok biasa, cerutu kecil (cigarillos), dan shisha, sampai inovasi yan lebih modern seperti rokok elektrik, permen tembakau, produk tembakau yang dipanaskan (Heated tobacco products), dan kantong nikotin (nicotine pouch).
Riset dari STOP dan Campaign for Tobacco Free-Kids mengungkapkan bahwa rasa adalah alasan utama mengapa kaum muda mencoba rokok elektrik dan produk tembakau lainnya. Jadi, kini terdapat sekitar 16.000 varian rasa unik, mulai dari rasa permen, vanilla, sampai buah-buahan. Kombinasi rasa dan aroma ini membuat produk mereka terasa seperti “camilan’ biasa, bukan barang berbahaya.
Desain produk dan kemasannya pun sangat cerdik. Banyak produk hadir dalam bentuk yang penuh warna, menampilkan karakter kartun, bentuk high-tech yang modern dan trendy, atau bahkan terlihat seperti barang-barang kekinian: bolpoin, lipstik, tali jaket hoodie, tas ransel, case handphone, smartwatch, dan USB flashdisk drive. Tidak hanya menarik minat remaja, bentuk tersamarkan ini bisa mengelabui orangtua atau guru dan memungkinkan penggunaannya di lingkungan yang seharusnya bebas rokok. Dengan strategi seperti ini, industri rokok benar-benar tahu bagaimana membuat produk mereka terlihat "keren", tidak berbahaya, dan sangat menggoda bagi generasi muda.
2. Berjuta taktik pemasaran agresif

Jangan meremehkan kekuatan iklan! WHO menyebutkan bahwa 85 persen anak muda usia 15–30 tahun terpapar iklan rokok elektrik di berbagai media. Padahal semakin sering mereka melihat iklannya, semakin tinggi pula kemungkinan mereka tertarik untuk mencoba. Dalam era digital ini, industri rokok dengan mudah menembus batas negara lewat platform global seperti Instagram, TikTok, bahkan dunia virtual eksperimental Metaverse. Mereka menyusup melalui celah aturan TAPS (Tobacco Advertising, Promotion, and Sponsorship) masing-masing negara.
Studi menemukan bahwa hanya dengan menggunakan satu media sosial setiap hari, risiko anak SMP mencoba rokok elektrik meningkat sebesar 3,8 persen pada SMP dan 6,1 persen di kalangan siswa SMA. Penelitian dari Journal of American College Health menemukan pada mahasiswa tahun pertama, setiap jam tambahan yang dihabiskan di platform tersebut per hari, meningkatkan 4,6 persen kemungkinan penggunaan rokok elektrik seumur hidup.cIni membuktikan bahwa dunia maya adalah ladang subur bagi promosi rokok.
Pemasaran mereka juga dalam bentuk tersamarkan. Tidak selalu berupa iklan langsung, seringkali promosinya lewat endorsement influencer muda, yang bahkan usianya tidak sesuai aturan dari perusahaan tembakau itu sendiri. Mereka tampil dengan gaya kasual, memamerkan produk nikotin seolah itu bagian dari gaya hidup kekinian.
Promosi terselubung juga menjalar ke dalam game, serial TV, dan film. Contohnya film Stranger Things, Gadis Kretek, sampai beberapa anime yang mudah diakses anak-anak lewat platform streaming global. Penggambaran rokok di media populer ini meningkat dua kali lipat pada 2022, mengekspos 25 juta anak muda terhadap citra glamor rokok dan vape. Tanpa remaja sadari, industri rokok sedang membangun generasi baru pengguna tembakau lewat strategi pemasaran yang menyamar, mendekat, dan menyusup di mana-mana.
Tidak cukup sampai di situ, industri rokok juga aktif menjadi sponsor di berbagai kegiatan anak muda: festival musik, e-sports, dan event online. Mereka membagikan sampel gratis dan merchandise, menyisipkan brand prusahaan dalam momen seru dan membekas di benak remaja. Ajang balapan seperti Formula 1 juga menjadi lahan promosi skala global. Tidak hanya lewat mobil yang ditempeli logo rokok dan liputan turnamen, tapi juga melalui media sosial, hashtag. Pemirsa yang tidak menonton turnamen F1 pun bisa dijangkau melalui film dokumenter populer seperti Formula 1: Drive to Survive.
Selanjutnya, kamu ngeh gak kalau promosi, iklan, dan produk tembakau mudah ditemukan di tempat yang sering dikunjungi remaja? Ada di pasar swalayan, minimarket, SPBU, dan tempat yang dekat dari sekolah. Secara mencolok deretan rokok dan produk tembakau ditempatkan di bagian yang strategis, mudah terlihat setinggi anak-anak dan remaja, atau di dekat makanan dan minuman manis. Beberapa bahkan menyertakan QR code untuk promosi digital lanjutan. Penjualan per batang dan rokok elektrik sekali pakai (disposable) juga membuat produk ini sangat mudah diakses, bahkan oleh remaja yang sekadar ingin “coba-coba”.
3. Citra baik adalah kunci!

Industri rokok tahu betul bahwa membangun citra positif bisa jadi senjata ampuh. Lewat tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR), industri tembakau menyasar generasi muda dengan cara yang terlihat “mulia”. Pada beberapa negara termasuk Indonesia, industri ini memberikan beasiswa, mendanai kegiatan akademik dan seni, atau membantu pembangunan sekolah.
Di negara lain, bahkan ada kampanye antirokok dan anti-vape yang justru dijalankan oleh perusahaan rokok itu sendiri. Tapi riset membuktikan kampanye ini tidak efektif menurunkan minat remaja terhadap produk. Sebaliknya, kampanye semacam itu malah menumbuhkan simpati terhadap perusahaan rokok dan menciptakan kesan bahwa mereka peduli akan kesehatan publik.
Pada umumnya, CSR perusahaan rokok dianggap memiliki reputasi baik dan berskala besar. Namun SEATCA (Southeast Asia Tobacco Control Alliance) mengungkap bahwa kinerja CSR industri rokok justru termasuk yang paling rendah, bahkan tidak memenuhi standar CSR dunia. Banyak aktivitasnya dinilai tidak transparan, bersifat manipulatif, dan jauh dari standar CSR global karena bertentangan dengan dampak nyata produk mereka: menyebabkan kecanduan, penyakit, dan kematian.
4. Menggunakan strategi menyesatkan dan fakta yang dipelintir

Industri rokok tidak hanya menjual produk, tapi juga menjual persepsi. Mereka kerap menggunakan pesan menyesatkan untuk membentuk opini publik dan mempengaruhi kebijakan. Satu taktiknya adalah mencitrakan diri mereka menjadi agen perubahan positif bagi masyarakat. Padahal kenyataannya jauh berbeda.
Banyak perusahaan rokok mengklaim unggul dalam bidang ESG (Environmental, Social, Governance), membuat mereka seolah-olah peduli terhadap lingkungan dan sosial. Faktanya, mulai dari perkebunan tembakau, produk rokok yang mengandung plastik dan logam beracun, hingga limbah akhir, industri ini merusak lingkungan di setiap tahap produksi dan pemasarannya. Di balik kampanye CSR bertema pendidikan, bencana, dan pelestarian lingkungan, tersembunyi kenyataan bahwa tembakau menyumbang lebih dari 8 juta kematian tiap tahun dan menyebabkan kerugian ekonomi global hingga US$ 1,4 triliun. Kerugian tersebut jumlahnya jauh lebih besar daripada sumbangan uang, devisa, atau kegiatan amal dari industri ini.
Lebih berbahaya lagi, industri ini juga mengeluarkan dana besar untuk mendanai riset “palsu” atau pseudoscience yang mendiskreditkan bukti ilmiah tentang bahaya rokok. Mereka juga gencar mempromosikan rokok elektrik dan produk baru lainnya sebagai alternatif yang lebih aman. Klaim “lebih aman” ini mengulang sejarah lama: saat rokok filter dan rokok rendah tar dulu juga diklaim aman, padahal tetap mematikan. Produk inovasi tersebut belum terbukti efektif untuk berhenti merokok, sebaliknyaa menunjukkan bahaya tambahan, contohnya EVALI (E-cigarette or Vaping product use Associated Lung Injury).
Bukannya berhenti merokok, banyak pemakainya malah menjadi pengguna ganda: rokok biasa sekaligus produk tembakau lainnya. Riset WHO menunjukkan, remaja pengguna rokok elektrik memiliki tiga kali lipat risiko menjadi perokok konvensional di masa depan. Semua hal tersebutlah mengapa kita harus waspada, karena persepsi yang keliru bisa lebih berbahaya dari produk itu sendiri.
5. Melobi para pembuat kebijakan dan membelokkan aturan

Di balik layar, industri rokok juga bekerja keras membelokkan peraturan publik. Dengan uang dan pengaruh, mereka mendekati pejabat, membentuk opini, bahkan hadir dalam rapat penyusunan regulasi. Tujuannya jelas: menggagalkan, melemahkan, atau menunda aturan yang bisa mengancam bisnis mereka.
Di tingkat nasional, industri ini berusaha menampakkan reputasi baik, lobi sana-sini untuk koneksi politik, membesar-besarkan kontribusi rokok terhadap perekonomian, bahkan menggunakan intimidasi. Di Indonesia dampak nyata campur tangan mereka berupa peraturan tentang rokok antar daerah menjadi sangat berbeda tingkat ketegasannya, baik dalam pembuatan aturan maupun penegakannya. Di satu kota ada kawasan tanpa rokok yang tegas, di kota lain produknya dijual bebas di dekat sekolah. Industri menonjolkan citra sebagai pahlawan devisa, penyerap tenaga kerja, dan penyumbang pajak. Padahal, kerugian ekonomi akibat tembakau jauh lebih besar dibandingkan sumbangan mereka.
Lebih luas lagi, sebenarnya dunia internasional sudah punya Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), perjanjian internasional yang dirancang WHO untuk mengendalikan dampak buruk tembakau serta melindungi generasi kini dan mendatang dari bahayanya. Sayangnya, Indonesia adalah satu dari hanya sembilan negara di dunia yang sampai saat ini belum menandatangani dan meratifikasi FCTC. Sementara itu 183 negara yang mencakup lebih dari 90 persen populasi dunia, telah berkomitmen untuk melindungi kebijakan dari intervensi industri rokok.
Ironi, kan? Negara dengan jumlah perokok termasuk terbanyak di dunia malah belum secara resmi bergabung dalam gerakan global untuk pengendalian tembakau. Sementara industri rokok terus mencari celah dan menekan kebijakan, generasi muda tetap terpapar dan rentan menjadi target berikutnya.
Merokok bukan hanya persoalan pribadi namun juga isu sosial, kesehatan, dan masa depan. Merokok tidak hanya buruk bagi diri sendiri, tetapi juga orang-orang di sekitar. Mengetahui cara industri rokok menarget remaja dan generasi muda akan membantu kamu, keluargamu, atau kenalanmu melakukan usaha preventif dari jerat candu satu ini. Ingat, pencegahan terbaik dimulai dari satu hal: tidak pernah memulainya. Jadikan dua quotes berikut untuk menjadi renungan yang menyadarkan ya!
“Perokok remaja telah menjadi faktor penting dalam perkembangan setiap industri rokok dalam 50 tahun terakhir. Perokok remaja adalah satu-satunya sumber perokok pengganti. Jika para remaja tidak merokok, maka industri akan bangkrut sebagaimana sebuah masyarakat yang tidak melahirkan generasi penerus akan punah.”
—Perokok Remaja: Strategi dan Peluang, R.J Reynolds Tobacco Company, Memo Internal 29 Februari 1984“Remaja masa kini adalah calon pelanggan tetap di masa mendatang, dan mayoritas perokok mulai merokok saat masih remaja. Pola merokok remaja sangat penting bagi Philip Morris.”
—Phillip Morris, Pendiri perusahaan tembakau multinasional
Referensi
WHO (2024). Hooking the Next Generation : How the Tobacco Industry Captures Young customers. WHO. (https://www.who.int/publications/i/item/9789240094642)
Association, A. L. (2025). 10 of Some of the Really Bad Things the Tobacco Industry Has Done – and Is Doing – to Entice Kids to Start Smoking. lung.org: https://www.lung.org/research/sotc/by-the-numbers/10-bad-things-to-entice-kids
Bach, L. (2023). Flavored Tobacco Products Attract Kids. Washington (DC): Campaign for Tobacco-Free Kids. 2023 (https://assets.tobaccofreekids.org/factsheets/0383.pdf).
Gendall P, H. J. (2016). Effect of Exposure to Smoking in Movies on Young Adult Smoking in New Zealand. PLOS ONE. 11(3): e0148692.
Initiative, T. (2017). Played: this year’s video games glamorize tobacco use to youth [news release]. Truth Initiative.org: (https://truthinitiative.org/press/press-release/played years-video-games-glamorize-tobacco-use-youth
Initiative, T. (2024). Lights, camera, tobacco? . Truth Initiative.org: (https:// truthinitiative.org/lights-camera-tobacco?)
J. Hoek, R. E. (2025). How tobacco industry targets young people achieve new generation smokers. Public Health Communication Center: https://www.phcc.org.nz/briefing/how-tobacco-industry-targets-young-people-achieve-new-generation-smokers
Kids, C. f.-F. (2023). Tobacco industry ads generate billions of views and reach millions of kids on Instagram, Facebook, X and TikTok [news release].(https://www.tobaccofreekids.org/press-releases/2023_12_08-social media-report)
Lin SY, C. X. (2023). Associations Between Use Of Specific Social Media Sites And Electronic Cigarette Use Among College Students. Journal of American College Health , 71(7):2217-2224.
Ling P, G. S. (2002). Why and How the Tobacco Industry Sells Cigarettes to Young Adults: Evidence From Industry Documents. American Journal of Public Health, 92(6):908-916.
Megatsari H, A. E. (2023). Tobacco advertising, promotion, sponsorship and youth smoking behavior: The Indonesian Global Youth Tobacco Survey (GYTS). Tobacco Induced Diseases, 12;21:163.
Organization, G. W. (2024 ). WHO global report on trends in prevalence of tobacco use 2000–2030. (https://iris.who.int/bitstream/hand le/10665/375711/9789240088283-eng.pdf?sequence=1).
Rath JM, B. M. (2020 ). Content Analysis Of Tobacco In Episodic Programming Popular Among Youth and Young Adults. Tobacco Control, Jul;29(4):475-479.
STOP, S. T. (2022). Flavors (including menthol) in tobacco products [issue brief]. exposetobacco.org: (https://exposetobacco.org/wp-content/uploads/Flavors-Including-Menthol-In Cigarettes-and-Tobacco-Products.pdf)
Alliance, F. C. (2015). Parties to the WHO FCTC (ratifications and accessions). Retrieved from Framework Convention Alliance: https://fctc.wpengine.com/wp-content/uploads/2014/05/latest_ratifications.pdf
Association, A. L. (2025). 10 of Some of the Really Bad Things the Tobacco Industry Has Done – and Is Doing – to Entice Kids to Start Smoking. Retrieved from lung.org: https://www.lung.org/research/sotc/by-the-numbers/10-bad-things-to-entice-kids
Bach, L. (2023). Flavored Tobacco Products Attract Kids. Washington (DC): Campaign for Tobacco-Free Kids. Retrieved from Bach L. Flavored tobacco products attract kids. Washington (DC): Campaign for Tobacco-Free Kids; 2023 (https://assets.tobaccofreekids.org/factsheets/0383.pdf).
Gendall P, H. J. (2016). Effect of Exposure to Smoking in Movies on Young Adult Smoking in New Zealand. PLOS ONE , 11(3): e0148692.
Initiative, T. (2017). Played: this year’s video games glamorize tobacco use to youth [news release]. Retrieved from Truth Initiative.org: (https://truthinitiative.org/press/press-release/played years-video-games-glamorize-tobacco-use-youth)
Initiative, T. (2024). Lights, camera, tobacco? . Retrieved from Truth Initiative.org: (https:// truthinitiative.org/lights-camera-tobacco?)
Kids, C. f.-F. (2023). Tobacco industry ads generate billions of views and reach millions of kids on Instagram, Facebook, X and TikTok [news release]. Retrieved from (https://www.tobaccofreekids.org/press-releases/2023_12_08-social media-report)
Lin SY, C. X. (2023). Associations between use of specific social media sites and electronic cigarette use among college students. Journal of American College Health , 71(7):2217-2224.
Ling P, G. S. (2002). Why and How the Tobacco Industry Sells Cigarettes to Young Adults: Evidence From Industry Documents. American Journal of Public Health, 92(6):908-916.
Ling PM, G. S. (2002). Why and how the tobacco industry sells cigarettes to young adults: evidence from industry documents. American Journal of Public Health, 92(6):908-16. .
Megatsari H, A. E. (2023). Tobacco advertising, promotion, sponsorship and youth smoking behavior: The Indonesian 2019 Global Youth Tobacco Survey (GYTS). . Tobacco Induced Diseases, 12;21:163.
Organization, G. W. (2024 ). WHO global report on trends in prevalence of tobacco use 2000–2030. . Retrieved from (https://iris.who.int/bitstream/hand le/10665/375711/9789240088283-eng.pdf?sequence=1).
Rath JM, B. M. (2020 ). Content analysis of tobacco in episodic programming popular among youth and young adults. Tobacco Control, Jul;29(4):475-479.
STOP, S. T. (2022). Flavors (including menthol) in tobacco products [issue brief]. Retrieved from exposetobacco.org: (https://exposetobacco.org/wp-content/uploads/Flavors-Including-Menthol-In Cigarettes-and-Tobacco-Products.pdf).