TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Nasib Masyarakat Adat di Nusantara, Tergusur dan Rentan Dieksploitasi

Eksistensi masyarakat adat kini semakin lemah

Masyarakat adat di Nusa Tenggara Barat. (Dok.pribadi/Ahmad Viqi/bt)

Masyarakat adat tak bisa dipisahkan dari Indonesia modern saat ini. Sebagai suatu kelompok yang tinggal di satu wilayah tertentu secara turun temurun, mereka memiliki peran yang sangat penting dalam keberlanjutan kehidupan di daerah tersebut. Mereka lah yang diyakini sebagai sosok-sosok penjaga alam, tradisi, maupun adat budaya setempat. 

Denpasar, IDN Times - Dalam gempuran modernisasi dan masuknya para investor serta perusahaan-perusahaan besar, keberadaan masyarakat adat pun terancam. Ada yang terhimpit proyek tambang, ada pula yang tergusur reklamasi. Masyarakat adat benar-benar rentan terhadap eksploitasi. Terutama eksploitasi atas sumber daya alam (SDA) di tempat mereka tinggal selama ini.

Eksistensi masyarakat adat pun kini semakin lemah. Tidak sedikit di antara mereka yang kehilangan otoritas karena diambilalih oleh pemerintah atau lembaga negara. Antropolog Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, A Khairudin, saat dihubungi IDN Times, Jumat (8/4/2022) mengatakan, masyarakat adat yang mempunyai satu kesamaan identitas, sistem religi, dan lainnya itu di satu negara, pasti memiliki masalah tertentu.

‘’Setelah diratifikasi oleh PBB dan masuk dalam hukum kita, masyarakat adat punya kewenangan serta hak untuk mengelola tanah dan kebudayaan mereka. Namun, mereka masih kerap berhadapan dengan persoalan klasik. Sebagai subyek pembangunan mereka dianggap sebagai sesuatu yang berbeda, asing, primitif, yang harus ditaklukkan. Padahal mereka kan punya kebudayaan sendiri,’’ ungkapnya.

Direktur Kolektif Hysteria Semarang itu menekankan negara harus turun tangan menjamin kesejahteraan masyarakat adat yang selama ini rawan dikriminalisasi atau rentan menjadi objek pembangunan tanpa memikirkan mereka sebagai manusia yang berpikir bebas.

‘’Walau mereka dianggap tidak rasional, masih dianggap tahayul, bagaimana pun itu hak kepercayaan mereka dan itu tidak bisa diganggu gugat. Apalagi, menghadapi tantangan modernitas dan perubahan zaman,’’ katanya.

Mengulik berbagai persoalan yang dialami masyarakat adat dan untuk menggali sejarah serta keberadaan mereka selama ini, dalam liputan khusus kali ini, IDN Times melakukan peliputan di sejumlah daerah di Nusantara, dari Sumatra Selatan hingga Nusa Tenggara Barat. 

1. Suku Komering di Sumatra Selatan

Baju pengantin wanita Suku Komering (Dok:Collectie Tropenmuseum)

Dari berbagai wilayah di Indonesia, Sumatra Selatan (Sumsel) memiliki ragam etintas suku budaya di dalamnya. Salah satu suku yang mendiami aliran Sungai Batanghari Sembilan, sembilan sungai besar di Sumsel, satu di  antaranya adalah Suku Komering.

Suku Komering merupakan komunitas masyarakat yang tinggal di sepanjang aliran sungai dari wilayah Muara Dua, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan, OKU Timur, Ogan Komering Ilir (OKI), hingga wilayah Lampung.

"Secara budaya, Suku Komering tak bisa lepas dari kebudayaan di wilayah pesisir Sungai Komering hingga ke wilayah Lampung. Peradaban Lampung dan Komering memiliki kaitan erat," ungkap Ketua Umum Lembaga Pembina Adat OKU Timur, Leo Budi Rachmadi Batin Temenggung, kepada IDN Times, Jumat (8/4/2022).

Leo menjelaskan, secara genealogi atau usul sejarahnya, Suku Komering sudah terbentuk sejak masa pra Kerajaan Sriwijaya hingga Kesultanan Palembang. Namun sejak kolonialisme Belanda masuk, perkembangan Suku Komering di Sumbagsel dibagi menjadi wilayah teritorial yang berdasarkan letak geografis.

"Suku Komering mengenal satu sistem garis keturunan yang dibagi berdasarkan garis keturunan atau zuriatnya. Makanya pemilihan Kepala Suku dan Marga di Komering mewakili beberapa dusun (desa)," jelasnya.

Suku Komering saat ini banyak tersebar di tiga kabupaten yakni OKU Selatan, OKU Timur, hingga OKI. Pada zaman belum tertib administrasi, setiap dusun berhimpun membentuk raja-raja kecil dengan kesatuan marga. Lalu marga yang besar memiliki perkebunan yang besar.

Suku ini juga memiliki keterikatan atau domisili di pinggir sungai. Seluruh aktivitas masyarakatnya terhubung dengan sungai, mulai dari mata pencarian, perkebunan, perdagangan, dan hubungan bilateral masyarakat yang sangat bergantung dengan sungai.

"Untuk membedakan kampung Komering tua dan baru ini cukup mudah. Lihat saja kampungnya. Kalau dia di sungai adalah kampung lama. Sesudah Belanda masuk, mulai lah pembangunan jalan dilakukan, rumah-rumah yang tadinya menghadap sungai berubah menghadap jalan," ujar dia.

Dalam pengaruh tradisi, adat budaya Suku Komering memiliki keunikan pada sastra lisan. Sastra lisan masyarakat Komering sudah berjalan ribuan tahun dan disampaikan secara turun temurun lewat penggunaan sehari-hari.

Lestarinya sastra lisan ini terjadi lantaran masyarakat setempat masih menggunakan Sastra lisan Hiring-hiring, Pisaan, Warahan, dan pantun untuk menceritakan cerita secara turun menurun.

"Bahasa Komering punya 50 dialek berbeda. Setiap kampung dan marga punya cara tutur sendiri. Namun meski berbeda dialek, semua marga bisa mengerti tutur katanya. Mereka bisa menilai seseorang berasal dari daerah dan desa berdasarkan dialek," ujar dia.

Beberapa kebudayaan lain pun masih kental dalam suku Komering, sebut saja adat perkawinan. Dalam setiap kegiatan masyarakat Komering selalu menggunakan alat musik seperti Kulitang dan Tanjidor. Alat musik tersebut digunakan untuk kepentingan adat, baik acara perkawinan maupun sunatan.

"Adat istiadat pernikahan masih ada dan masyarakat Komering masih menerapkan Adok Jajulu. Artinya saat pernikahan akan diberi nama serta gelar berdasarkan garis keturunan," jelas dia.

Peran adat dan masyarakat adat dalam melestarikan kebudayaan di Suku Komering sangat besar dan penting. Leo menilai, setiap suku di mana pun menghadapi tantangan yang sama, yakni modernisasi kehidupan yang ditandai berkembangnya teknologi.

Masyarakat Komering harus menyesuaikan roda pergerakan zaman. Menurutnya, budaya berbeda dengan agama. Budaya akan selalu menyesuaikan dengan kebutuhan zaman. Selain menyesuaikan budaya dengan kebutuhan zaman, diperlukan upaya penjagaan kebudayaan lewat pendidikan.

"Sejauh ini sudah ada muatan lokal di OKU Timur untuk menjaga kelestarian adat lewat pendidikan di SD dan SMP. Kita berharap ke depan muatan lokal ini juga berlaku di SMA dan SMK," jelasnya.

2. Masyarakat Adat Pepadun dan Saibatin di Lampung

Masyarakat adat Lampung. (Instagram/@endangguntorocanggu)

Masyarakat adat di provinsi berjuluk Sai Bumi Ruwa Jurai, Lampung, disebut-sebut sudah ada sejak abad ke-12 SM. Mereka terbagi dalam dua kelompok adat besar yaitu Masyarakat Adat Pepadun dan Saibatin. Kedua kelompok tersebut memiliki sejarah panjang dan kaya akan keunikannya masing-masing. 

Wakil Sekretaris Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) Provinsi Lampung, Humaidi Elhudri, mengatakan masyarakat adat Lampung diyakini berasal dari Provinsi Lampung bagian barat yang penyebarannya bermula dari Kerajaan Skala Brak. Itu dibuktikan melalui konstruksi, alat-alat kebesaran kerajaan, upacara, dan seni tradisi yang hingga kini kelestariannya masih terjaga.

Pusat kerajaan dulu mencakup daerah pegunungan di lereng Gunung Pesagi di daerah Liwa, atau kini berada di seputar Kecamatan Batu Brak, Kecamatan Sukau, Kecamatan Belalau, dan Kecamatan Belakangan Bukit. Namun akhirnya menyebar ke daerah seluruh penjuru provinsi.

"Masyarakat Lampung ini sudah sangat lama, bisa dikatakan mulai dari sekitar abad ke-12 atau ke-13. Ini semua dimulai dari Skala Brak dan baru mulai menyebar sampai akhir terbagi dua, Pepadun dan Saibatin," jelasnya kepada IDN Times, Jumat (8/4/2022).

Menurutnya, kedua kelompok adat besar tersebut sudah ada sejak dahulu kala dan menjadi warisan dari para leluhur masyarakat Lampung. "Meski terbagi dua kelompok, tapi masyarakat adat ini tetap hidup berdampingan dan tetap satu, masyarakat Lampung," sambungnya.

Lebih lanjut Humaidi menjelaskan, masyarakat adat Lampung Pepadun dahulu mendiami daerah pedalaman atau daerah dataran tinggi Lampung. Berdasarkan sejarah perkembangannya, mereka berkembang di daerah Abung, Way Kanan, dan Way Seputih (Pubian).

Kelompok adat ini memiliki kekhasan dalam hal tatanan masyarakat dan tradisi yang telah berlangsung secara turun-temurun. Selain itu, mereka juga dikenal menganut sistem kekerabatan patrilineal, artinya mengikuti garis keturunan laki-laki.

"Kalau Pepadun dalam suatu keluarga, kedudukan adat tertinggi berada pada anak laki-laki tertua dari keturunan tertua disebut Penyimbang," katanya

Gelar Penyimbang sangat dihormati dalam adat Pepadun karena menjadi penentu dalam proses pengambilan keputusan. "Status kepemimpinan adat ini diturunkan kepada anak laki-laki tertua dari Penyimbang dan seperti itu seterusnya," jelasnya.

Masyarakat adat Pepadun cenderung berkembang lebih egaliter dan demokratis, serta status sosial tidak semata-mata ditentukan oleh garis keturunan. Pasalnya, setiap orang memiliki peluang memiliki status sosial tertentu selama orang tersebut dapat menyelenggarakan upacara adat Cakak Pepadun.

Masyarakat Saibatin atau disebut juga masyarakat Peminggir juga menganut sistem kekerabatan patrilineal atau mengikuti garis keturunan ayah. Meski demikian, Suku Saibatin memiliki kekhasan dalam hal tatanan masyarakat dan tradisi.

"Hanya ada satu raja adat dalam setiap generasi kepemimpinan. Suku Saibatin cenderung punya kedudukan adat hanya dapat diwariskan melalui garis keturunan. Tidak seperti Suku Pepadun, tidak ada upacara tertentu dapat mengubah status sosial seseorang dalam masyarakat," lanjutnya.

Ciri lainnya dari Suku Saibatin dapat dilihat dari perangkat digunakan dalam ritual adat. Salah satunya adalah bentuk siger (sigekh) atau mahkota pengantin Suku Saibatin memiliki tujuh lekuk/pucuk atau sigokh lekuk pitu.

"Ini melambangkan tujuh adoq, yaitu suttan, raja jukuan/depati, batin, radin, minak, kimas, dan mas. Wilayah persebaran Saibatin mencakup Lampung Selatan, Bandar Lampung, Pesawaran, Tanggamus, dan Lampung Barat atau daerah pesisir Lampung," tambah Humaidi yang bergelar Sutan Kanjeng Sunan Agung.

Masyarakat adat Lampung, baik dari kelompok Pepadun maupun Saibatin memiliki pegangan falsafah adat budaya yang membedakannya dalam menjalin kehidupan.

Falsafah tersebut terbagi menjadi lima yaitu, bejuluk beadek (bergelar), nemui nyimah (saling bersilahturahmi), nengah nyampur (sosialisasi pergaulan), sakai sembayang (gotong royong), dan piil pesenggiri (prinsip hidup).

Di tengah laju perkembangan zaman, Humaidi tak menampik teramat penting untuk melestarikan adat istiadat Lampung. Itu semua guna mengenalkan mewarisan leluhur kepada para generasi muda yang mulai bias terhadap urusan manyangkut adat.

Meski demikian, dirinya mengaku sangat bersyukur di tengah gempuran kemajuan zaman, populasi masyarakat adat Lampung tergolong masih sangat banyak dan rata-rata mereka di daerah masing-masing masih melestarikan dan mengedepankan adat Lampung dalam berbagai urusan.

Oleh karena itu, ia pun berharap agar pemerintah daerah dapat lebih memperhatikan keberadaan masyarakat adat Lampung dan bisa memberikan dukungan nyata kepada para pelestari adat Lampung. 

Akademisi pemerhati adat Lampung, Dwi Putri Melati, menjelaskan beberapa daerah masih menerapkan hukum pidana adat yang diselesaikan dengan metode musyawarah antara masyarakat Lampung yang dikenal dengan sebutan Sidang Perwatin.

"Masyarakat Saibatin dan Perpadun jelas masih ada. Mereka juga sebagai ada yang masih menyelesaikan permasalahan dengan asas musyawarah sesuai dengan filsafah masyarakat Lampung," kata Kepala Prodi Magister Hukum Universitas Saburai tersebut.

"Masih banyak aparat penegak hukum yang menganggap di Lampung tidak ada hukum pidana adatnya. Ini dikarenakan ketidakadaan payung hukum yang legal," tandasnya.

3. Suku Baduy di Banten

Warga Baduy Dalam menunggu wisatawan di Desa Kanekes, Lebak (ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas)

Urang Kanekes, sebutan asli Suku Baduy, adalah komunitas adat yang mendiami hulu sungai Ciujung, sebuah perbukitan di selatan Banten. Dalam tatanan sosialnya, Suku Baduy terbagi dua. Pertama Baduy Dalam yang lebih ketat dalam aturan adatnya. Kedua, Baduy Luar yang lebih longgar dalam penerapan aturan adatnya.

Secara geografis, Baduy Luar berbatasan dengan Ciboleger dan Baduy Dalam berbatasan langsung dengan Cijahe. Pada 2020 lalu, tercatat ada 13.600 jiwa warga Baduy Dalam maupun Baduy Luar, tersebar di 65 kampung.

Dari total kampung itu, terbagi sekitar 12.800 jiwa Baduy Luar dan sekitar 800 jiwa di Baduy Dalam yang hidup di tiga kampung masih memegang teguh istiadat hidup tanpa teknologi dan pola hidup sederhana. Hal itu tercermin dari ajaran turun-temurun adat istiadat mereka;

Gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang diruksak, lojor teu meunang dipotong, pendek teu meunang disambung."

Yang artinya, “gunung tidak boleh dihancurkan, lembah tidak boleh dirusak, panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung”. Sebuah sastra lisan yang menjadi pedoman hidup mereka. Kesederhanaan adalah jalan mereka menuju Tuhan.

Fakta di lapangan ketika IDN Times mengunjungi mereka, kehidupan Suku Baduy sederhana. Orang-orang Baduy bisa saja hidup lebih dari hidup sederhana dengan keuletan mereka dalam bekerja. Namun menjadi kaya bukanlah hal baik bagi mereka.

Mereka akan merasa malu kepada Dewi Sri (Dewi padi/rezeki dewa-dewi dalam ajaran Baduy), jika tidak mensyukuri apa yang mereka hasilkan dengan mengikuti hawa nafsu duniawi yang akan mendatangkan angkara murka dari Shang Hyang Widi.

Dalam ketatnya menjaga tradisi warga Baduy, bahkan tak dibolehkan oleh aturan adat untuk bersekolah secara formal. Budayawan Banten, Uday Suhada, mengatakan meski anak-anak Suku Baduy tak mendapat pendidikan formal, tetapi mereka memiliki pola pendidikannya sendiri. Hal itu terlihat dari tata krama mereka kepada diri, keluarganya, bahkan orang lain dan di luar sukunya.

Misalnya, kata Uday, dalam tradisi mereka berjalan pun mereka berbaris rapi yang bermaksud tak menghalangi jalan orang lain. "Anak Baduy tumbuh dan berkembang dididik dengan tradisi lisan. Sebab di Baduy tidak satupun aturan hidupnya yang tertulis," kata Uday beberapa waktu lalu.

Uday mengatakan, tradisi lisan ini memiliki keunggulan luar biasa. Keunggulannya adalah keteladanan. Mereka belajar dari hal yang dicontohkan. Misalnya, sedari kecil terbiasa dibawa ke ladang, ke bebukitan, terbiasanya menyaksikan tradisi-tradisi luhur yang mengajarkan hidup dalam kesederhanaan.

"Segala nilai yang hidup dan berkembang di komunitas adat Baduy diajarkan melalui contoh atau suri tauladan," kata Uday.

Uday mengatakan di Baduy warganya dilarang sekolah secara formal. Tapi kini hampir semua anak-anak Baduy bisa membaca dan menulis.

"Hal itu didukung lagi dengan kemajuan teknologi melalui smartphone yang hampir semua generasi millennials di Baduy kini memilikinya. Tapi itu hanya bisa dilakukan orang Baduy luar," kata Uday.

Uday menilai, penanaman nilai-nilai aturan hidup (pikukuh) dengan keteladanan tadi membentuk pribadi-pribadi yang memiliki identitas diri anak-anak Baduy.

Uday Suhada mengatakan setelah adanya polemik terkait semakin menumpuknya sampah di perkampungan Baduy akibat kunjungan wisata, warga Baduy meminta masyarakat luas mengubah cara pandang terhadap mereka. Dari sebagai objek tontonan seperti menjadi hanya lokasi wisata, menjadi subjek contoh dan tauladan dalam menjaga alam dengan hidupnya yang sederhana.

Maka itu istilah wisata Baduy kini sudah diubah menjadi "silaturahmi budaya" atau "Saba Budaya Baduy".

4. Warga Sedulur Sikep atau orang Samin di Jawa Tengah

Sedulur sikep tidak bisa dilepaskan dari sejarah Dusun Gersi Blora. (Dok blorakab.go.id)

Perubahan zaman yang pesat dirasakan pula oleh masyarakat adat yang tinggal di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati. Wilayah Sukolilo yang dihuni banyak warga Sedulur Sikep atau kerap disebut orang Samin kini mengalami perubahan yang sangat signifikan. Bila zaman baeulah warga Sedulur Sikep sangat antipati terhadap datangnya budaya dari luar wilayahnya, kini anggapan tersebut tak berlaku lagi. 

Situasi tersebut terlihat tatkala Endah Manti, seorang petugas penyuluh Kecamatan Sukolilo, sering wara-wiri memberikan pelayanan kependudukan dan pendidikan bagi warga Sedulur Sikep yang tinggal di Dukuh Bombong, Desa Baturejo. 

"Di Dukuh Bombong selama ini sangat banyak orang Sedulur Sikep. Mereka sudah membentuk kelompok budaya tersendiri jadinya bisa diidentifikasi. Tapi yang generasi kedua dan ketiga lebih banyak berpencar di dukuh-dukuh sekitarnya. Tinggalnya ya ngeblok-ngeblok gitu," kata Endah ketika berbincang dengan IDN Times, Sabtu (9/4/2022). 

Endah berkata, saat awal bertugas di Sukolilo sering putus asa saat memberikan penyuluhan kepada warga Sedulur Sikep. Selain sikap mereka yang cenderung keras kepala, Endah waktu itu melihat rata-rata warga Sedulur Sikep menentang keras aturan-aturan yang masih dianggap berbau warisan kolonial.

Menurutnya hal itu memang sering muncul lantaran ada warisan budaya yang turun-temurun dari leluhur Sedulur Sikep. Jika diruntut dari historisnya, Samin Surosentiko adalah tokoh pada zaman kolonial Belanda yang sangat vokal menentang keras kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintahan kolonial. Samin terutama sangat menentang aturan soal pungutan pajak. 

"Dulu anak-anak mereka gak berminat sekolah. Cuman belakangan ini pada mau sekolah. Kemudian dengan perkembangan yang terjadi sekarang, setiap tahunnya saya mendata lumayan banyak anak-anak Sedulur Sikep yang memilih merantau ke luar kota. Kebanyakan yang generasi ketiga Sedulur Sikep sukanya kerja ke luar kota. Ya lama-lama di Dukuh Bombong sudah banyak warga Sedulur Sikep yang suka bawa handphone. Pokoknya sangat drastis ketimbang yang dulu," terangnya. 

Soal populasi warga Sedulur Sikep, ia tak bisa menghitung secara detail sebab mereka berpencar sehingga sulit dilakukan pendataan.

"Berapa banyak generasi ketiga saya juga kurang paham," tambahnya.

Terpisah, Koordinator Wilayah Kecamatan Sukolilo, Pati, Dwi Ningsih Mpd, mengungkapkan anak-anak Sedulur Sikep kini mulai mengenyam pendidikan formal dan informal yang diberikan oleh pemerintah desa (pemdes) setempat. 

"Kita kan sering berikan layanan program pendidikan, terus anak-anak keturunan Sedulur Sikep ada yang pilih bersekolah. Kalau yang sekolah formal, mereka masuk ke SDN Baturejo 01 dan SDN Baturejo 02. Kita tidak membedakan dan kegiatan mereka juga sama kayak anak-anak sekolah lainnya," bebernya.

Jumlah anak Sedulur Sikep yang memutuskan bersekolah sekitar 3 sampai 5 orang. "Sekarang Sedulur Sikep agak terbuka. Mungkin karena terpengaruh perkembangan teknologi ya, jadinya anak-anak generasi ketiganya lebih proaktif menerima perubahan budaya," ungkapnya. 

Sosiolog dari Universitas Negeri Semarang (Unnes), Fulia Aji Gustaman, saat dihubungi IDN Times menjelaskan masyarakat adat seperti Sedulur Sikep merupakan aset kebudayaan milik bangsa Indonesia yang perlu dilestarikan. Sebab, Sedulur Sikep punya akar sejarah yang kuat termasuk turut serta terlibat perang kemerdekaan melawan pemerintah kolonial Belanda. 

"Untuk itulah, atas semua jasa yang sudah mereka berikan kepada negeri ini semestinya diberi penghargaan yang tinggi. Sikep adalah pejuang kemerdekaan. Tokohnya yang dikenal dengan nama Samin Surosentiko menjadi orang yang paling menentang pungutan pajak dari Belanda. Adat istiadat mereka yang terjaga sampai sekarang harusnya diberi apresiasi yang lebih oleh pemerintah," paparnya. 

5. Suku Osing di Kabupaten Banyuwangi

Mocoan Lontar Yusuf sebagai ritual pembuka pada launching Pesinauan-Sekolah Adat Osing. IDN Times/Dok Pemkab Banyuwangi

Kabupaten Banyuwangi dikenal dengan wilayah yang memiliki ciri khas kuat, yakni kebudayaan Suku Osing. Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Osing, Wiwin Indiarti, mengatakan keberadaan masyarakat adat Osing tersebar di wilayah Banyuwangi. Belum ada catatan pasti tentang berapa populasi masyarakat adat Osing saat ini.

"Saat ini yang telah bergabung dengan AMAN Osing baru 16 Komunitas Adat Osing. Sebenarnya jumlahnya lebih banyak dari itu. Di antara 16 itu, yang sudah punya peta wilayah adat yang dikerjakan secara partisipatif baru 3 yaitu Kemiren, Olehsari, dan Bakungan. Artinya masih banyak yang butuh dipetakan untuk kepentingan inventarisasi sekaligus mendukung perjuangan melahirkan Perda dimaksud," kata Wiwin saat dihubungi IDN Times, Sabtu (9/4/2022).

Wiwin menyebutkan, Masyarakat Adat (MA) Osing di Banyuwangi diyakini sebagai pewaris kultural Kerajaan Blambangan karena di masa senja kala kerajaan tersebut, wilayah Banyuwangi menjadi Ibu Kotanya.

Meski Banyuwangi dihuni oleh beragam etnis karena merupakan wilayah perlintasan niaga, namun masyarakat Osing menjadi aktor penting yang membentuk identitas Banyuwangi saat ini.

"Meski tinggal di wilayah yang menjadi bagian dari Pulau Jawa, MA Osing punya karakteristik yang berbeda dengan orang Jawa, baik itu dalam bahasa, budaya, maupun adat istiadat," jelasnya.

Berdasarkan data resmi Badan Pusat Statistik tahun 2010, Osing telah masuk sebagai suku bangsa tersendiri, sebagai rumpun dari suku Jawa bersama-sama dengan Tengger, Bawean/Boyan, Samin, Naga, dan Nagaring.

Wiwin melanjutkan, sejak terbentuk tahun 2015, AMAN Osing sudah memperjuangkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak MA Osing sebagai amanat Musda.

Namun demikian, di tahun 2017 yang dilahirkan adalah Perda Pelestarian Warisan Budaya dan Adat Istiadat di Banyuwangi, yang tidak menyebut secara eksplisit MA Osing sebagai subjek hukum.

Hal itulah yang diperjuangkan untuk terlindunginya hak-hak yang melekat kepada MA Osing, termasuk hak berbudaya. Oleh karena itu, AMAN Osing saat ini kembali memperjuangkan Perda yang diinginkan.

Selain memperjuangkan Perda, ia juga berupaya menguatkan dan melestarikan identitas budayanya melalui kegiatan-kegiatan organisasi sayapnya, Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Osing dan Perempuan AMAN Osing, serta Sekolah Adat.

"Sejak tahun 2018 telah dilakukan preservasi mocoan Lontar Yusup. Pendokumentasian dan pelatihan olah makanan ritual Osing pada tahun 2019 juga dilakukan salah satunya untuk lebih memahami Osing indigenous food system," paparnya.

Sebagai upaya pelestarian dan pengenalan adat tradisi hingga kesenian, sejak tahun 2021 juga terbentuk sekolah adat Osing, bernama Pesinauan di Desa Olehsari, Kecamatan Glagah.

Sekolah Adat Osing di Sawah Art Space, mengenalkan adat tradisi kesenian, pertanian, bahkan masakan tradisional kepada generasi muda.

"Ini dalam rangka mempertahankan dan melestarikan adat tradisi Osing melalui media pembelajaran," jelasnya.

Di sekolah adat tersebut, juga mewadahi kegiatan yang sebelumnya sudah berjalan oleh sejumlah komunitas anggota, seperti latihan rutin mocoan Lontar Yusup dan gerak dasar tari tradisi.

Di sana juga dikenalkan beragam ritual adat tradisi Osing, seperti Keboan di Desa Aliyan, Seblang di Olehsari, dan Sapi-Sapian di Kenjo. Semua, tradisi tersebut berhulu dari hubungan masyarakat Osing dengan tanah karena corak budaya mereka yang agraris.

“Pesinauan adalah sekolah adat Osing pertama yang didirikan oleh AMAN Osing. Ke depan dalam perkembangannya diharapkan setiap komunitas adat Osing memiliki sekolah adatnya sendiri,” jelas Wiwin

6. Suku Paser di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur

Masyarakat adat di Kabupaten Penajam Paser Utara (IDN Times/Ervan)

Nama Suku Paser kian santer terdengar dan dikenal oleh masyarakat usai Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur (Kaltim) ditunjuk sebagai lokasi berdirinya Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Di awal rencana pemindahan, komunitas adat yang merupakan penduduk asli di PPU pun bersuara mempertanyakan mengenai daulat masyarakat dan hutan adatnya.

Kekhawatiran mengenai kondisi Suku Paser di masa depan ini disampaikan oleh Ideng Putri, tokoh sekaligus pelestari adat Paser di Kelurahan Sepan PPU. Perempuan berusia 51 tahun ini menilai pemindahan pusat negara ini terkesan gopoh. Pemerintah belum memastikan apakah semua masyarakat setuju atau tidak.

“Mestinya pemerintah memerhatikan keinginan masyarakat adat dari segi perlindungan. Kita belajar dari Suku Betawi yang semakin tenggelam di wilayahnya sendiri,” kata dia.

Intinya, persoalan perspektif seperti ini tak bisa hanya sekadar diwakilkan. Ia mengatakan, perlu adanya tatap muka antara pemerintah dan masyarakat untuk memastikan jika adat Paser tak turut tersingkir dari wilayahnya. 

Hal itu dibenarkan oleh Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kaltim, Margaretha Seting Beraan. Saat dihubungi IDN Times, Margaretha menuturkan, bahwa pembicaraan soal IKN ini masih belum menyasar semua masyarakat adat. 

Selama ini yang terlihat hanya pihak yang menyatakan sebagai perwakilannya saja. Namun kata dia, perlu ditelaah kembali apakah benar para perwakilan itu yang diamanatkan oleh masyarakat.

“Mungkin ada orang-orang yang terlibat dan ikut serta dalam isu ini dengan mengatasnamakan masyarakat adat. Tapi apakah benar? Perlu dipastikan,” tutur perempuan Dayak Bahau Busang, asal daerah Mahakam Hulu, Kaltim ini.

Ia memberi masukan agar panitia IKN atau pemerintah kembali menemui langsung masyarakat adat dari dasar. Memastikan amanat dan niatan semua masyarakat betul-betul terakomodasi.

Dari informasi yang dihimpunnya, masyarakat suku Paser ini berpijak pada tiga pendirian mengenai pembangunan IKN di PPU, yakni sangat menerima, menolak, dan mengikuti alur. Dengan alasan menerima adanya kemajuan dan perubahan di Kaltim dan tak ingin selalu dicap “tertinggal”, menolak karena khawatir semakin dekat dengan kehancuran adat dan sumber daya alamnya, mengikuti alur karena sejak awal sudah berpikir suara mereka hanya akan teredam.

Seperti yang diketahui, akan ada ribuan massa yang bermigrasi ke Provinsi Kaltim. Sebagian besar pastinya akan mengisi di sekitar IKN. Tentu, jaminan perlindungan masyarakat adat diperlukan agar mereka tak terdampak dengan populasi dadakan tersebut.

Margaretha menggambarkan kondisi di masa mendatang akan ada persaingan besar kedudukan dan peran politik antara pendatang dengan putra-putri daerah.

“Jika nantinya hal ini terjadi mau tak mau masyarakat adat akan bersaing dengan para pendatang yang jelas memiliki pengetahuan dan peluang lebih besar, yang selalu dianggap lebih mumpuni.” tutur dia.

Artinya selain konflik identitas, pada akhirnya konflik ekonomi, sosial, dan budaya juga akan bermunculan. Itulah, Margaretha meminta agar pemerintah mesti meninjau kembali dan melakukan pendekatan kepada masyarakat adat.

Sejak ditetapkannya Kabupaten Benuo Taka, nama lain PPU, dengan bagian terbesar untuk wilayah IKN baru beberapa konflik mulai bermunculan. Saling klaim lahan antara masyarakat, pemerintah, dan pihak perusahaan pernah terjadi di sepanjang kelurahan Sotek.

Tetapi persoalan lahan kini sudah dapat diselesaikan. Hal ini dibeberkan oleh Harry Andhika, selaku Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat. Salah satu solusi yang ditawarkan ialah membentuk skema kemitraan lahan sosial yang dapat dikelola oleh masyarakat, sebagai hutan desa untuk kelompok tani di sana.

“Untuk lahan kemitraan itu juga sudah dibarengi dengan payung hukum, jadi masyarakat dapat mengolahnya tanpa dirundung cemas ke depannya,” ujar dia

Pelaksana Tugas Bupati PPU, Hamdan, yang menggantikan Bupati non-aktif Abdul Gafur Mas’ud karena tersangkut kasus suap, mengaku, sampai saat ini belum melihat langkah atau taktik dari pemerintah pusat. Khususnya soal pelibatan masyarakat adat secara mendalam. Meskipun begitu, Hamdan menyatakan pemerintah pusat sebenarnya sudah beberapa kali melakukan pertemuan.

Namun mereka hanya mengundang pihak yang menjadi representasi dari masing-masing kelompok adat yang ada di Kaltim. Terlepas apakah orang yang dikirim itu memang benar sebagai perwakilan masyarakat adat atau tidak. Tetapi ia memastikan agar pembangunan ini tetap melibatkan masyarakat adat, khususnya Suku Paser.

“Belum ada IKN saja minat pemudanya untuk mengembangkan adat dan budaya Paser berkurang, apalagi kalau sudah ada. Bisa dilihat yang memperkenalkan adat dan budaya Paser sekarang ini didominasi oleh para orang tua, jarang sekali ada anak muda,” tutupnya.

7. Warga Tenganan di Kabupaten Karangasem, Bali

instagram.com/fintya_puspa

Desa Tenganan Pegringsingan di Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali, merupakan satu di antara beberapa desa kuno di Bali yang dikenal dengan istilah Desa Bali Aga. Desa Bali Aga merujuk pada desa dengan sejarah masyarakat setempatnya, termasuk budaya, adat, dan tradisi yang berbeda dengan masyarakat Bali pada umumnya.

Masyarakat Bali Aga biasanya dikenal dengan masyarakat yang mempertahankan tradisi leluhur asli masyarakat Bali, sebelum invansi Kerajaan Majapahit pada abad ke-13. Adat dan tradisi di Desa Tenganan selama ini memang sedikit berbeda dengan desa adat lainnya di Bali, walaupun penduduknya sama-sama menganut Agama Hindu.

Dilansir dari laman Kementerian kebudayaan dan Kebudayaan, sejarah dari Desa Adat Tenganan Pegringsingan erat dikaitkan dengan cerita mitologi hilangnya kuda pada masa Kerajaan Bedahulu. Pada masa itu, masyarakat di Desa Peneges yang terletak di Gianyar dilarang melakukan persembahyangan di Pura Besakih oleh sang Raja Bedahulu pada masa itu, Mayadenawa. Hal ini membuat Dewa Indra murka dan memerangi Mayadenawa hingga sang raja wafat.

Hal ini membuat warga Desa Peneges bersuka-ria dan mereka mulai kembali melaksanakan persembahyangan di Pura Besakih. Upacara kemenangan masyarakat atas Raja Mayadenawa ini dilakukan dengan menghaturkan yadnya atau kurban menggunakan kuda berwana putih yang dinamakan Onceswara.

Hanya saja ketika upacara akan dilaksanakan, mendadak kuda Onceswara ini hilang. Semua warga Desa Peneges mencari kuda tersebut dengan membagi kelompok. Kelompok pertama mencari ke arah barat laut dan kelompok kedua mencari ke arah timur laut.

Kelompok pertama tidak berhasil menemukan kuda tersebut dan menetap di wilayah sekitar wilayah Beratan. Sementara kelompok kedua berhasil menemukan kuda itu, namun dalam keadaan mati. Walaupun kuda itu ditemukan mati, sang Dewa Indra tetap memberikan wilayah kepada masyarakat Desa Peneges yang melakukan pencarian ke Timur Laut. Lalu warga Peneges membangun sebuah desa di antara tiga bukit, yakni bukit kangin (timur), bukit kauh (barat), dan bukit kaja (utara).

Karena desa itu terletak di antara tiga buah bukit, maka desa ini disebut Tengahan, atau dalam perkembangannya menjadi Tenganan.

Desa Tenganan sangat dikenal dengan hasil kebudayaannya yang diwariskan dan dijaga sampai saat ini. Satu di antaranya merupakan kain asli dari Desa Tenganan, yakni kain gringsing. Tokoh masyarakat di Desa Tenganan, Putu Madri Atmaja, menjelaskan kain ini ditenun oleh masyarakat lokal secara turun menurun. Grinsing berasal dari kata gring yang artinya sakit, dan sing yang artinya tidak. Masyarakat setempat percaya kain ini dapat melindungi penggunanya dari wabah ataupun penyakit.

“Kain gringsing ini masih ditenun secara tradisional. Rata-rata membutuhkan waktu sampai dua tahun untuk menyelesaikan satu kain gringsing,” ungkapnya, Minggu (10/4/2022).

Teknik tenun kain gringsing menggunakan teknik tenun ikan ganda, serta pewarnaannya dengan bahan alami sehingga memang memerlukan waktu yang lama dalam proses pembuatannya. Karenanya harga kain khas Desa Tenganan ini bisa mencapai jutaan rupiah per lembarnya.

Sampai saat ini, masyarakat Desa Tenganan masih menjaga keleluhuran kain gringsing, dengan pembuatannya yang masih tradisional dan menggunakan pewarnaan bahan alami. Walaupun saat ini tengah berkembang berbagai teknologi tenun modern. Bahkan kain gringsing merupakan satu-satunya kain di Indonesia yang memiliki teknik ikat ganda, sehingga memiliki motif yang khas.

“Masyarakat Tenganan sampai saat ini masih menjaga keasrian kain gringsing, karena ini hasil budaya kami,” jelas Putu Madri.

Selain itu, masyarakat Desa Tenganan juga memiliki tradisi Nyepi yang berbeda dengan masyarakat Bali pada umumnya. Masyarakat Tenganan memiliki tradisi Nyepi adat selama 15 hari, yang puncaknya pada Purnama Sasih Kaso.

Biasanya dalam Nyepi adat ini, masyarakat Tenganan tidak tertawa, tidak menangis, tidak memukul kentongan, tidak menumbuk padi, dan tidak menyembelih babi atau ayam. Tidak ada sanksi khusus bagi warga jika melanggar aturan saat Nyepi itu, namun masyarakat tetap berusaha mematuhi tradisi itu.

“Dalam tradisi ini, ada 29 warga yang ngayah (Membantu) di Bale Agung. Mereka biasanya menyiapkan berbagai sarana upacara untuk dihaturkan saat hari puncak pada Purnama Sasih Kaso,” jelasnya.

Kekhasan tradisi dan budaya, membuat Desa Tenganan masuk 50 besar desa wisata terbaik tahun 2021 di ajang Anugrah Desa Wisata tahun 2021 yang digelar oleh Kemenparekraf. Desa Tenganan masuk dalam kategori desa maju dari sisi budaya.

“Desa Tenganan dipilih karena kaya akan adat dan istiadatnya,” ujar Putu Madri.

Berita Terkini Lainnya