Fotografer Asing di Bali Rugikan Fotografer Lokal

Klungkung, IDNtimes- Menjamurnya para fotografer asing di Bali mendapat sorotan publik. Sebelumnya fotografer kondang Indonesia, Darwis Triadi, pernah menyoroti maraknya aktivitas para fotografer asing di Bali. Ia lalu mengajak para fotografer di Bali agar membentuk suatu organisasi untuk mengantisipasi para fotografer asing yang bekerja memotret, namun tanpa izin kerja di Indonesia.
Selain itu tokoh masyarakat lainnya, Ni Luh Djelantik kini turut menyoroti hal serupa. Dalam postingan di media sosial (medsos) Instagram, ia menyoroti aktivitas fotografer asing bekerja di Bali yang dinilai di luar ketentuan. Misalnya tidak dilengkapi dengan visa kerja. Jika hal ini dibiarkan, ia khawatir banyak warga lokal yang semakin kesulitan bekerja secara profesional di negara sendiri.
Terkait masalah ini, beberapa fotografer lokal juga menyampaikan keluhannya. Menurut mereka, saat ini persaingan dalam dunia pemotretan kian ketat. Selain antar fotografer lokal, mereka juga harus bersaing dengan fotografer asing yang mulai menjamur di Bali.
1. Agen wisata asing memberikan kliennya kepada fotografer asing

Seperti yang diungkapkan oleh seorang fotografer lokal, Gede Wibisama. Dirinya sudah 10 tahun menjadi fotografer wedding ataupun event di Bali. Ia melihat para fotografer asing ini mulai menjamur di Bali sejak sebelum pandemik COVID-19.
Menurutnya, fotografer asing khususnya asal Tiongkok, bahkan telah sistematis membuka usaha jasa foto di Bali. Beberapa fotografer asing asal Tiongkok telah bekerja sama dengan para agen atau biro perjalanan wisata di negara asalnya. Para biro ini menjual paket wisata ke Bali, lengkap dengan dokumentasi yang dilakukan oleh fotografer asing.
“Saya tidak tahu apakah fotografer itu mengantongi izin atau tidak. Namun banyak saya lihat di lapangan seperti itu. Mereka sudah bekerja sama dengan agen perjalanan untuk bekerja sebagai fotografer di Bali,” ujar Wibisama, Jumat (17/2/2023).
Jika semua biro perjalanan wisata menggunakan sistem seperti itu, dirinya khawatir para fotografer lokal akan tersingkir dan kehilangan mata pencaharian.
“Kalau semua menggunakan sistem seperti itu, tentu akan rugi bagi kami para fotografer lokal. Payuk jakan (mata pencaharian) kami diambil,” ungkapnya.
2. Persaingannya tidak hanya dari lokal, tetapi juga dengan fotografer asing

Hal serupa juga diungkapkan oleh fotografer asal Kabupaten Klungkung, Made Sutriyasa. Menurutnya, persaingan di dunia fotografer sangat sengit. Tidak hanya dengan warga senegara, tetapi juga dengan fotografer asing.
Ia mengatakan, saat ini harga jasa fotografi sudah anjlok jika dibandingkan dengan beberapa tahun lalu. Banyak jasa fotografi mulai banting harga, bahkan tidak seusai dengan harga peralatan fotografi yang mahal, termasuk dalam perawatannya.
“Susah jadi fotografer sekarang. Banyak yang merusak harga pasar. Sekarang saja ada yang pasang tarif Rp1 juta untuk foto wedding. Persaingan antar fotografer lokal saja sangat ketat, apalagi ada fotografer asing,” jelas Sutriyasa.
Menjual jasa foto ke wisatawan asing, menurut Sutriyasa adalah pasar yang menjanjikan. Mengingat bayarannya sesuai. Namun dengan menjamurnya fotografer asing, ia khawatir pasar ini juga diambil oleh orang asing.
“Wisatawan juga terkadang datang ke Indonesia langsung bawa fotografer. Parahnya fotografer datang juga dengan visa liburan, bukan visa kerja. Mereka seperti jalan-jalan ke Bali, tapi sebenarnya mereka pemotretan,” ungkapnya.
3. Berharap pemerintah bisa tegas dalam melakukan pengawasan

Terkait fenomena ini, Made Sutriyasa maupun Gede Wibisama sepakat meminta pemerintah untuk lebih memperketat pengawasan bagi para fotografer asing yang bekerja di Bali. Ia berharap pemerintah bisa memilah mana tenaga kerja asing, dan mana wisatawan. Sehingga tidak merugikan penduduk lokal.
“Tidak hanya fotografi, tapi untuk semua bidang. Harus jelas antara wisatawan asing atau tenaga kerja asing,” harap Sutriyasa.
Sementara itu Ni Luh Djelantik dalam postingan instagram-nya, mengatakan fotografer asing sebenarnya tidak takut bersaing. Mereka hanya ingin kesetaraan perlakuan. Mengingat fotografer asing punya banyak benefit yang tidak dimiliki fotografer lokal misalnya kemampuan bahasa, dan potensi pelanggan dari negara lain.
“Mbok tidak anti WNA yang bekerja atau punya usaha di Indonesia. Tapi mbok memperjuangkan keadilan yang juga berhak didapat warga lokal, Warga lokal harus punya izin, WNA juga harus punya. Warga lokal bayar pajak, WNA juga harus bayar juga dong,” tulisnya.
Sementara Darwis Triadi melalui Instagram-nya, meminta adanya penyuluhan ke warga setempat untuk bertindak apabil ada orang warga negara asing (WNA) yang menggunakan tempat foto tanpa izin kerja dari organisasi footografi yang ditunjuk oleh pemerintah.
“Jadi bukan terbalik, malah kita dibuat susah tapi orang asing dipermudah dengan seenaknya yang terjadi di Bali,” tulis Darwis Triadi.