Pengusaha Babi di Bali Minta Pemerintah Jangan Salahkan Swill Feeding
Pengusaha babi di Bali diambang kehancuran
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Denpasar, IDN Times – Ketua Gabungan Usaha Peternak Babi (GUPBI) Bali, I Ketut Hari Suyasa, menyampaikan kematian babi beberapa waktu lalu di wilayah Bali banyak terjadi di kalangan peternak kecil tradisional. Menurutnya, mereka kebanyakan abai terhadap wabah-wabah penyakit babi, serta tidak berkeinginan mencari informasi. Mengingat kepastian terkait penyebab penyakit yang menjangkiti babi harus ditentukan berdasarkan uji laboratorium.
“Agak susah sih untuk mencari ciri-ciri (Penyakit). Ini yang bisa menentukan babi itu suspect atau tidak suspect. Atau tertular atau tidak itu kan hasil lab kan. Ini yang membuat kami agak susah menentukan bahwa dia apa nih penyakitnya? Itu susah. Karena banyak ada muntah darahnya dan lain sebagainya. Tetapi kalau kita lihat di masyarakat bukan itu aja penyebabnya,” jelas Suyasa, Selasa (11/2).
Baca Juga: Bukan Zoonosis, 8 Fakta Babi di Bali di Tengah Wabah Virus ASF
1. Peternak babi secara tradisional sering mengabaikan masalah biosekuriti
Pihaknya menjelaskan, babi yang dipelihara oleh peternak memang bervariasi jumlahnya, tergantung dari sistem beternaknya. Hal ini juga yang memengaruhi kesadaran terhadap pentingnya biosekuriti.
“Beraneka ragam tergantung peternaknya. Ada peternak tradisional. Ada peternak mandiri, ada peternak yang modernlah boleh dibilang. Lah kalau peternak mandiri dan modern ini bolehlah kita anggap dia paham biosekuriti. Biosekuriti dianggap sebuah keharusan dan kewajiban. Tetapi bagi peternak tradisional dan peternak kecil inilah yang sering abaikan itu,” ungkap Suyasa.
Baca Juga: Status ASF di Bali Diklarifikasi Masih Suspect