Bertahan dalam Tekanan Pandemik, Transpuan di Bali Kerja Serabutan
Ajak untuk tetap saling membahu dan menguatkan
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Badung, IDN Times - Sebelas tahun berada di Bali, bukan waktu yang sebentar bagi Tariska (nama panggilan). Tak mudah pula baginya menjalani hidup sebagai seorang perantauan. Transgender perempuan (Transpuan) asal Surabaya ini merasa lebih nyaman bertahan di Bali saat pandemik. Karenanya ia memilih tidak kembali ke Surabaya, Jawa Timur.
Tariska menjadi salah satu dari kelompok LGBTIQ, yakni Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender/transsexual, Intersexual, Queer, yang bersedia menceritakan kondisinya saat ini. Berikut ungkapan hati Tariska, transpuan di Bali yang ikut terjepit pandemik dan harus berjuang untuk bertahan hidup.
Baca Juga: Tak Lagi Bisa Manggung, Queer Transpuan di Bali Harus Atur Biaya Makan
1. Tidak ingin kembali ke Surabaya dan menyusahkan keluarga
Saat dihubungi IDN Times pada Kamis (25/2/2021), Tariska mengaku punya alasan mendasar mengapa dirinya tak mau kembali ke Kota Pahlawan, walaupun keadaannya di Bali terbilang sulit saat pandemik ini. Tariska tidak ingin menyusahkan keluarganya di Surabaya. Menurutnya, sebenarnya hampir semua temannya yang berada di Bali juga berada di kondisi yang sama. Meskipun beberapa di antara mereka akhirnya menyerah dan memilih untuk pulang kampung.
“Jujur saya ada saudara di Surabaya. Tapi di sana rumahnya kecil, kondisinya juga lagi susah. Saya tidak mau merepotkan mereka. Di sini (Bali) saja lebih nyaman. Setidaknya saya tidak menyusahkan mereka. Saya kalau pulang seperti tidak punya teman, dan juga tidak banyak yang tahu siapa saya di sana. Di sini (Bali) saja, setidaknya mereka tahu wajah saya,” ungkapnya.
Dari curhatan beberapa temannya, Tariska mengungkapkan mereka memilih bertahan di Bali karena memang tidak lagi memiliki keluarga. Sementara yang lain, ada yang punya keluarga, namun jarak rumahnya jauh. Lainnya lagi, rumahnya kecil sehingga tidak bisa menampung orang. Menurut mereka, kondisi di daerah asal justru lebih susah dari di Bali.
“Alasannya begitu. Sekarang bergerak juga nggak bisa kita. Pulang juga. Jadi mau nggak mau harus bertahan di manapun juga,” imbuhnya.