Tak Lagi Bisa Manggung, Queer Transpuan di Bali Harus Atur Biaya Makan

Penghasilan jauh berkurang selama pandemik

Denpasar, IDN Times – Setahun wabah COVID-19 di Indonesia, sangat terasa dampaknya bagi pekerja pariwisata di Bali. Begitu pula dengan yang dialami kelompok LGBTIQ, yakni Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender/transsexual, Intersexual, dan Queer. Pandemik membuat mereka kehilangan pekerjaan dan kini harus tetap berjuang bertahan hidup.

Sebagaimana yang dirasakan oleh seorang Queer Transgender Perempuan (Transpuan) asal Kabupaten Jembrana dengan nama panggung Meghan Kimoralez. Sejak pandemik melanda, ia telah kehilangan pekerjaan manggung. Saat ini agar tetap bisa bertahan hidup di Kota Denpasar, Kimoralez, panggilan sapaannya, harus mengirit uang untuk makan.

Apa kini yang dilakukan Kimoralez untuk mendapatkan penghasilan? Bagaimana pula nasib keluarga dan kawan-kawannya? Berikut hasil wawancara IDN Times. 

1. Sepi pekerjaan terutama bagi transgender yang bergelut di dunia hiburan

Tak Lagi Bisa Manggung, Queer Transpuan di Bali Harus Atur Biaya MakanMonumen Ground Zero di Jalan Legian Kuta (IDN Times/Ayu Afria)

Suara empuk terdengar dari sambungan telepon, Kimora menjawab panggilan IDN Times. Ia menceritakan bahwa suasana di Bali saat ini memang kurang nyaman, termasuk bagi para LGBTIQ. Mengapa? Sebab pekerjaan sepi, terutama bagi transgender yang bergelut di dunia hiburan. Begitu juga dengan transgender yang menjual jasa sebagai Pekerja Seks (PS).

“Agak kurang nyaman karena masa pandemik ini. Ya karena sepi (pekerjaan),” jelasnya saat dihubungi Kamis (25/2/2021).

Beberapa kawannya ada pula yang memilih untuk bertahan di Bali dengan melakukan kerja part time. Mereka mencoba membuka usaha kecil-kecilan dengan menjual gorengan dan camilan. Sisanya, memilih pulang kampung karena memang tidak memiliki pekerjaan.

“Ada sih teman transgender yang bertahan (di Bali). Dengan mengandalkan jual jasa (PS) di sosial media online itu. Tapi ya, itu hasilnya nggak sebanyak yang dulu,” jelasnya.

2. Bantuan yang diterima lebih banyak dari pihak swasta dan perorangan

Tak Lagi Bisa Manggung, Queer Transpuan di Bali Harus Atur Biaya MakanDok.IDN Times/Istimewa

Kimora menyebutkan, baik dirinya maupun teman-teman yang lain, tidak tersentuh bantuan sosial dari pemerintah. Bantuan yang mereka terima justru dari pihak swasta seperti Yayasan Gaya Dewata dan perorangan, yakni dari bulan Agustus hingga Desember 2020. Hanya saja memasuki tahun 2021, belum ada yang memberikan sumbangan.

“Itu dalam bentuk bantuan sembako, uang kos-kosan beserta listrik dan uang gasnya. Dan juga bantuan modal usaha,” jelasnya.

Sebelum pandemik melanda, Kimora mengaku masih mendapatkan pekerjaan manggung. Bahkan setidaknya per bulan ia bisa mengantongi penghasilan hingga Rp7 juta. Saat ini ia hanya mengandalkan hasil bekerja di Yayasan Gaya Dewata saja untuk bertahan di Denpasar bersama istri dan anaknya.

Nggak (tidak) ada (kerja sambilan). Udah nyari, nggak bisa. Emang nggak ada lowongan gitu. Karena memang kan banyak perusahaan yang tutup, kayak event-event ulang tahun itu terbatas banget. Nggak ngundang-ngundang begitu,” jelasnya.

3. Jatah makan harus lebih diatur dan dikurangi

Tak Lagi Bisa Manggung, Queer Transpuan di Bali Harus Atur Biaya MakanIlustrasi Makan Sehat. IDN Times/Mardya Shakti

Dengan penghasilan saat ini yang jumlahnya jauh berkurang, Kimora harus mengatur keuangan rumah tangganya. Gaji Rp2,9 juta per bulan yang diterimanya saat ini hanya cukup untuk membayar kos-kosan, uang makan, dan keperluan anak istrinya.

“Di keluarga Kimora sih masih cukup. Cuman kalau dibilang kurang, ya masih kurang gitu. Cuman dicukup-cukupin gitu. Sekarang ditata banget tuh uang makan, agak dikurang-kurangin gitu. Sekarang nggak sering nyemilnya. Pokoknya ditata supaya nggak berlebihan gitu. Ditata supaya cukup,” jelasnya.

Ia berharap agar pemerintah segera memberikan solusi saat PPKM ini. Adanya penerapan pembatasan kegiatan membuat mereka kesulitan mendapatkan tambahan penghasilan.

Topik:

  • Ni Ketut Sudiani

Berita Terkini Lainnya