TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

[Part I] Kisah Mantan Napi Narkoba di Bali, Terbayang Tangisan Anak

Sangat menyesal pernah menggunakan barang haram tersebut

Ilustrasi Pengguna Narkoba (IDN Times/Mardya Shakti)

Denpasar, IDN Times - Kejadian Maret 2017 menjadi peristiwa yang tidak akan pernah dilupakan oleh Jaja (Nama samaran) dalam seumur hidupnya. Tangisan anak dan istrinya terbayang kuat di dalam pikiran. Laki-laki asal Pulau Jawa tersebut tersangkut kasus pidana narkotika golongan I dan divonis selama 4,5 tahun penjara. Kini ia tak mau lagi terjerat dalam persoalan yang sama.

Jaja mengaku sudah puluhan tahun sebagai penikmat ganja. Ia bekerja di sektor pariwisata Bali. Teman-teman dekatnya tahu aktivitas ini dan tahu betul kapan Jaja membutuhkan narkotika golongan I tersebut.

“Itu kejadiannya ya nggak saya duga juga. Orang bilang narkotika. Saya spesifiknya, ya ganja aja. Gitu. Saya penikmat yang hampir 40 tahun. Saya butuh, tapi bukan ketagihan gitu. Di saat-saat saya makai, di saat-saat saya bagaimana. Tergantung kondisi. Plus saya ada punya keluarga, anak nomor dua difabel,” kisahnya kepada IDN Times belum lama ini.

1. Awalnya bermaksud menggunakan barang tersebut sebagai terapi

Ilustrasi daun ganja (IDN Times/Arief Rahmat)

Manusia hanya sebatas menjalani takdir yang sudah digariskan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Barang kali begitu juga dengan Jaja. Dia memakai ganja sejak lama, dan mengaku memerlukan kekuatan lebih untuk mengasuh anaknya yang difabel.

Kondisi kehidupan yang ia jalani tidaklah mudah. Selain sebagai tulang punggung, Jaja harus merawat anaknya yang membutuhkan perhatian khusus. Ia bermaksud menggunakan ganja supaya nyaman mengasuh dan lebih ceria sehingga anaknya menjadi senang.

“Saya happy, anak juga ikut happy. Bukan berarti saya ngasih anak. Untuk terapi saya, istilahnya begitulah. Saya terapi buat diri saya sendiri. Ngopi satu batang sehari. Ngopi satu batang. Gitulah,” jelasnya.

Lima tahun sebelum dipenjara, ia pernah menjadi volunteer di Non Goverment Organization (NGO) yang juga mengurus anak difabel. Sehari-harinya dia bekerja sebagai driver dan guide freelance.

2. Sempat meminta petugas kepolisian agar tidak menggeledah di depan sang anak

Ilustrasi penangkapan (IDN Times/Mardya Shakti)

Jaja mengenang kembali bagaimana petugas Kepolisian Resor Kota (Polresta) Denpasar menangkap dirinya di rumah. Kala itu temannya yang berasal dari Bandung akan melakukan perjalanan ke Lombok, dan memilih singgah dulu di Bali. Jaja kemudian membawa orang ini ke rumah dan menjamu sebagaimana mestinya.

Jaja tidak tahu bahwa temannya ini sudah menjadi target kepolisian. Selesai minum di kawasan Kota Denpasar, mereka diamankan polisi. Selama penangkapan itu, Jaja dinyatakan terlibat dalam tindak pidana narkotika.

“Karena janji. Ada janji dia datang dari Bandung mau ke Lombok. Setiap tiga sampai empat bulan datang, dia pasti nelepon saya untuk transit di Bali. Kan biasa, ayo ke rumah ngopi-ngopi. Ternyata ya itu, teman itu sudah diincar juga,” katanya.

Pada saat penggeledahan di rumah, Jaja sempat meminta petugas kepolisian agar tidak melakukannya di depan sang anak. Namun permintaannya itu tidak diindahkan oleh kepolisian. Ia mengaku kecewa.

“Saya punya anak kondisi begini (Difabel). Jangan di depan anak-anak. Nggak mau tahu dia. Mungkin namanya polisi kan ngejar target penangkapan atau apa. Teman juga ada kronologi sama. Dia bukan target, tapi dikenakan juga,” jelasnya.

3. Jaja diproses lebih lama daripada temannya

Ilustrasi Penjara (IDN Times/Mardya Shakti)

Jaja berada di rumah tahanan (Rutan) Polresta Denpasar selama dua bulan. Sementara rekannya terlebih dulu dipindahkan ke Lapas Kelas II A Kerobokan. Ia memang tidak melakukan negosiasi atau semacamnya pada saat itu. Hanya bisa pasrah dengan apa yang terjadi. Selama dua bulan itu, ia hanya keluar rutan dua kali saja. Yaitu untuk tanda tangan dan rilis kasus.

“Ada yang satu bulan. Saya pas yang dua bulan itu. Saya memang... Ah, apa pun yang terjadi, pasrah aja memang. Tanpa tahu latar belakang saya. Pokoknya saya dijor-jorin pakai pasal sekian. Saya setiap dipanggil, sudah jadi laporan,” ungkapnya.

Pengakuan dia sebagai sorang pemakai dan hanya menyetok tiga bulan saja tidak digubris. Apalagi setelah diketahui tes urinenya positif. Jaja mempertanyakan kehadiran Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam hal ini. Namun hal itu tidak pernah terjadi.

“Karena urine saya positif, ya BNN harus turun tangan,” cetusnya.

Berita Terkini Lainnya