7 Bentuk Sesat Pikir yang Sering Muncul saat Berdiskusi atau Mengobrol

Berdiskusi dan mengobrol selalu menjadi cara terbaik untuk memahami satu sama lain. Namun, dalam banyak percakapan justru kegiatan ini berubah menjadi ajang debat yang penuh emosi atau bahkan saling menjatuhkan. Pada momen inilah sesat pikir atau logical fallacy biasanya muncul.
Logical fallacy atau sesat pikir adalah kesalahan dalam bernalar yang menyebabkan suatu argumen menjadi lemah, tidak sah, atau bahkan menyesatkan. Pada beberapa momen, orang bahkan sering menggunakan trik ini secara sengaja untuk mengelabuhi lawan bicara, dengan tujuan tertentu. Yuk, pahami bentuk-bentuk sesat pikir atau logical fallacy yang sering muncul saat berdiskusi ataupun dalam obrolan santai, agar kualitas komunikasi yang kamu jalin tetap terjaga dan kamu tidak mudah terkecoh.
1. Ad hominem: menyerang pribadi lawan, bukan argumennya

Jenis sesat pikir ini terjadi ketika seseorang membantah argumen lawan, dengan cara menyerang personal atau pribadi lawan bicaranya. Padahal, hal yang dilontarkan tidak ada kaitannya dengan topik percakapan yang sedang dibahas. Misalnya dengan menyerang usia, latar belakang, atau bahkan status sosial.
Contohnya bisa terdengar seperti, “Kamu kan cuma anak sekolah, jadi pendapatmu pasti dangkal.” Hal ini tentu tidak bisa membantah logika seseorang. Karena, kebenaran tidak ditentukan oleh siapa yang menyampaikannya. Serangan semacam ini bisa membuat percakapan menjadi buntu karena fokusnya bergeser dari ide ke identitas pribadi.
2. Strawman: memutarbalikkan argumen lawan agar mudah diserang

Strawman muncul ketika seseorang mengubah atau menyederhanakan pernyataan lawan menjadi versi yang lemah, lalu menyerangnya seolah-olah itu adalah argumen asli. Tujuan dari cara ini biasanya untuk membentuk kesan bahwa lawannya keliru, meskipun tidak benar-benar menjawab inti argumen. Akibatnya, pembicaraan menjadi kabur dan tidak produktif.
Contoh umum bisa dilihat ketika seseorang berkata, “Aku kira kita perlu mengkaji ulang sistem pendidikan,” lalu dibalas dengan, “Oh, jadi kamu ingin anak-anak berhenti sekolah?” Ini jelas bukan pernyataan yang setara. Dalam percakapan yang sehat, sangat penting menjaga kejujuran dalam menangkap maksud lawan bicara.
3. Whataboutism: mengalihkan topik dengan menyebut isu lain

Whataboutism adalah sesat pikir yang sering muncul saat seseorang tidak menjawab kritik secara langsung, melainkan membandingkannya dengan isu lain. Bukannya membahas inti masalah, ia malah berkata, “Bagaimana dengan yang itu?” atau “Kenapa kamu diam soal yang lain?” Teknik ini sering dipakai dalam obrolan sehari-hari untuk menghindari tanggung jawab atau memperlemah posisi lawan bicara.
Misalnya, ketika seseorang mengkritik korupsi di satu sektor, lalu dibalas dengan, “Tapi sektor lain juga korup, kenapa cuma ini yang kamu sorot?” Ini tidak menjawab substansi kritik yang disampaikan. Padahal, dua hal bisa sama-sama salah tanpa perlu dibandingkan untuk saling meniadakan.
4. False dilemma: menyodorkan dua pilihan seolah tidak ada alternatif lain

False dilemma terjadi ketika seseorang menyederhanakan situasi kompleks menjadi hanya dua pilihan ekstrem. Cara berpikir ini mengabaikan kemungkinan lain yang lebih masuk akal atau seimbang. Dalam obrolan santai pun, sesat pikir ini bisa muncul saat seseorang ingin memojokkan lawan atau menyudutkan pilihan.
Contohnya seperti pernyataan, “Kita harus dukung dia sepenuhnya, atau kita pengkhianat.” Padahal bisa saja menjadi seseorang yang mendukung sebagian, sambil mengkritik bagian lain yang dianggap keliru. Dunia nyata jarang bekerja dalam hitam dan putih. Menyempitkan pilihan seperti ini justru bisa merusak cara kita melihat persoalan secara utuh.
5. Appeal to popularity: menganggap sesuatu benar karena banyak yang setuju

Appeal to popularity, atau bandwagon fallacy, terjadi ketika seseorang menganggap suatu pendapat benar hanya karena banyak orang yang meyakininya. Logikanya sederhana: karena mayoritas percaya, maka itu pasti benar. Padahal, popularitas tidak selalu menjadi tolak ukur kebenaran, bukan?
Contoh dalam obrolan sehari-hari bisa berupa, “Semua orang juga setuju kok, berarti kamu yang salah.” Ungkapan seperti ini menutup ruang dialog dan mengabaikan argumen yang berbeda. Padahal, kebenaran seharusnya diuji melalui alasan dan bukti, bukan sekadar jumlah pendukung.
6. Red herring: mengalihkan perhatian dari inti masalah

Red herring adalah sesat pikir yang dilakukan dengan cara mengalihkan perhatian dari topik utama ke hal lain yang tampaknya relevan, padahal tidak berkaitan. Ini sering terjadi saat seseorang merasa tidak nyaman dengan arah pembicaraan dan mencoba menggiringnya ke jalur yang lebih aman. Akibatnya, inti masalah jadi tak tersentuh.
Sebagai contoh, ketika seseorang bertanya, “Kenapa kamu telat menyelesaikan tugas?” lalu dijawab dengan, “Tapi aku kan selalu bantu yang lain.” Meskipun terdengar positif, jawaban ini tidak menjawab pertanyaan awal. Mengalihkan topik seperti ini justru bisa memperbesar kesalahpahaman dan mengaburkan tanggung jawab.
7. Slippery slope: menganggap satu langkah kecil akan berujung bencana

Slippery slope adalah sesat pikir yang berasumsi bahwa satu tindakan kecil akan memicu rangkaian kejadian buruk yang tak terhindarkan. Cara berpikir ini sering kali muncul dari rasa cemas yang berlebihan, bukan dari penilaian logis atas situasi yang sebenarnya. Akibatnya, kita jadi terlalu cepat menarik kesimpulan ekstrem dari tindakan yang masih bisa dikendalikan.
Contohnya bisa terlihat dalam kalimat, “Kalau hari ini kita turutin permintaannya, besok dia akan minta yang lebih dan makin manja.” Kalimat ini mengabaikan kemungkinan bahwa seseorang bisa belajar batas, terutama jika diberi penjelasan yang tepat. Padahal, tidak semua bentuk kompromi akan langsung berubah menjadi kelemahan.
Memahami bentuk-bentuk sesat pikir bukan hanya berguna untuk mengenali kesalahan orang lain, tetapi juga penting untuk mengawasi cara berpikir kita sendiri. Dalam setiap percakapan, baik yang santai maupun serius, sangat mudah untuk terjebak dalam pola pikir yang menyesatkan tanpa sadar. Menyadarinya membuat kita bisa lebih jernih, bijak, dan terbuka saat berdiskusi.
Pada akhirnya, berdiskusi bukan sekadar adu benar, melainkan tentang mendengarkan dan menyampaikan dengan niat yang tulus. Ketika kita bisa mengenali sesat pikir seperti ad hominem, strawman, atau slippery slope, kita sedang belajar untuk berkomunikasi dengan lebih sehat. Dari sana, setiap obrolan pun bisa menjadi ruang tumbuh yang berharga, bukan sekadar adu suara.