Berkah Bisnis Indekos di Bali, Apa Dampaknya ke Lingkungan?

Gianyar, IDN Times - Yoga, generasi Z berusia 19 tahun ini baru setahun menempati kamar indekos di wilayah Desa Batubulan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar. Ia memilih tinggal di indekos agar dekat dengan tempat kerjanya, sebuah toko seni di Kabupaten Gianyar.
Berdasarkan pencarian di Google Maps, khusus di area Batubulan ada sekitar 20 indekos yang terdata. Sementara, jika menggunakan kata kunci Kos Gianyar, pencarian Google Maps menampilkan puluhan lebih rekomendasi kos. Meskipun jumlah indekos di Gianyar terbilang lumayan, tapi Yoga mengaku kesulitan mencari indekos.
1. Kesulitan mencari kamar indekos di Batubulan

Kesulitan yang dihadapi remaja asal Kabupaten Karangasem ini adalah mencari indekos sesuai dengan keuangan, dan jarak tempuh ke tempat kerjanya. Sementara, orangtua Yoga juga ngekos. Sehingga biaya sewa yang keluar beragam. Yoga mengungkapkan, kisaran harga kamar indekos dan orangtuanya di Kota Denpasar antara Rp400 ribu hingga Rp600 ribuan.
“Ketika saya mencari indekos sekitar Batubulan sini cukup sulit ya, mungkin karena banyak juga orang yang merantau dan ngekos di sekitaran Batubulan ini,” kata Yoga kepada IDN Times.
Kini, Yoga merasa nyaman tinggal di indekos meskipun kamarnya ada di Lantai 2. Ia sampai-sampai bisa melihat sunrise (matahari terbit) dan sunset (matahari terbenam). Yoga menempati indekos berkapasitas 12 kamar. Harga sewanya Rp600 ribu per bulan sudah termasuk air, listrik, dan iuran sampah.
2. Indekos tumbuh seiring pertumbuhan ekonomi di sekitarnya

Akademisi Arsitektur Tradisional Bali dan Pegiat Tata Ruang, Prof Putu Rumawan Salain, mengatakan pertumbuhan indekos pada titik wilayah tertentu erat kaitannya dengan perkembangan ekonomi di sekitarnya. Ia mencontohkan, pertumbuhan industri makro di suatu tempat membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah besar. Tenaga kerja tersebut secara otomatis akan mencari indekos di sekitar lokasi industri itu.
Rumawan menggambarkan, jika suatu hotel di Bali terdiri dari ratusan kamar, maka pencari kerja dari Bali dan luar Bali yang berduyun-duyun melamar, pasti membutuhkan tempat tinggal yang dekat dengan hotel tersebut.
“Terjadilah pertumbuhan rumah kos-kosan yang sangat agresif pertumbuhannya hampir di seluruh wilayah perkembangan pariwisata, termasuk yang baru,” ujar Rumawan kepada IDN Times, pada Minggu (25/5/2025).
Rumawan berpendapat, momen itu menjadi peluang bagi warga Bali maupun dari luar Bali untuk membangun indekos dengan modal yang ada. Selain pariwisata, sektor lainnya seperti perdagangan, pendidikan, dan lainnya dilirik pemodal untuk membangun indekos di sekitar lokasi sektor tersebut.
3. Tata ruang di Bali berubah dengan dampak lain yang menyertai

Menurut Rumawan, indekos dilihat sebagai peluang bisnis, sehingga menjadikan pembangunan kamarnya begitu banyak. Jumlahnya 20 kamar bahkan lebih dengan tiga lantai. Menjamurnya indekos tipe tersebut berpengaruh terhadap tata ruang. Rumawan menggambarkannya dengan perubahan pemanfaatan lahan.
“Sehingga pasti ada perubahan di tata ruang dan akibat ada perubahan pemanfaatan itu, jangan lupa bahwa beban lalu lintas juga akan meninggi walaupun mereka dekat, (tapi) tetap juga membutuhkan sepeda motor,” ujar Rumawan.
Efek lingkungan juga mengekor dari pesatnya pertumbuhan indekos ini, misalnya timbulan sampah. Ia juga menyoroti perubahan lingkungan di sekitar kawasan indekos. Dari kawasan yang tidak banjir, setelahnya akan menjadi banjir karena banyak lahan sawah maupun ladang, atau lahan tidur berubah menjadi lahan beton. Dampaknya, tanah tidak sanggup menyerap air dengan cepat sehingga air tergenang dan membanjiri lingkungan sekitarnya.
Menurutnya, efek negatif terhadap lingkungan ini tidak hanya diakibatkan oleh pembangunan indekos. Bagi Rumawan, pemerintah sebagai regulator memiliki kendali terhadap masifnya pembangunan akomodasi wisata dan indekos di lahan persawahan. Menurutnya, pemetaan titik lahan yang boleh dan tidak boleh dibangun harus tegas dan jelas agar lingkungan tidak menjadi korban.
“Kalau saya melihatnya karena latar belakang saya arsitek, saya selalu berpikir dari segi perencanaan. Ada planning dulu. Jadi, planning, process, and design,” kata Rumawan.