AJW ke-8, Pewarta Warga Membayangkan Masa Depan Bali
Pewarta ada yang mengangkat isu buruh migran di Bali lho
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Gianyar, IDN Times - Media jurnalisme warga, BaleBengong, kembali menggelar Anugerah Jurnalisme Warga (AJW) 2023 di Taman Baca Ubud, Kabupaten Gianyar, Sabtu (24/6/2023).
Dalam helatan tahunan ini, pewarta warga merespon tema masa depan Bali dengan berbagai liputan dan pameran karya dari beragam persoalan sosial dan ekonomi pulau dewata.
AJW tahun ini mengambil tema "Duang D(asa) Pulau Dewata: Membayangkan Bali 20 Tahun Lagi."
Tema ini dibedah dalam enam subtema, yakni masa depan pertanian dan lingkungan sehat di Bali. Berikutnya pariwisata budaya atau budaya untuk pariwisata?
Lainnya tentang optimasi kendaraan pribadi atau transportasi publik? Siapa itu orang Bali dan apa yang disuarakan? Kemudian subtema ketersediaan dan akses air bersih sampai kapan dan pekerjaan-pekerjaan masa depan di Bali dan persaingan dengan ekspatriat.
Para pewarta warga dari belasan anak muda ini menunjukkan karyanya secara interaktif melalui game, story telling, simulasi, dan lainnya.
1. Membayangakan masa depan Bali, dan menuangkannya dalam karya tulis
Anugerah Jurnalisme Warga (AJW) merupakan kegiatan tahunan BaleBengong sejak 2016 untuk memberikan penghargaan terhadap karya-karya pewarta warga dalam bentuk kompetisi ataupun beasiswa liputan.
Selama delapan kali pelaksanaan, hingga saat ini AJW telah menjadi ajang penghargaan bagi pewarta warga dari seluruh Indonesia, media jurnalisme warga, serta beragam inisiatif dalam literasi digital.
“Membayangkan masa depan adalah cara paling mudah menilai kehidupan apa yang ingin diwarisi ke anak-anak dan cucu kita. Salah satu istilah yang masih dilekatkan dengan warga Bali adalah “koh ngomong” artinya malas bicara atau malas mengkritik,” ujar Koordinator AJW, Iin Valentine.
Bukan karena tidak mau bicara atau berpendapat, namun sulit mengekspresikannya di depan khalayak umum atau langsung ke instansi publiknya. Sehingga ada istilah “pakrimik” atau kasak- kusuk di belakang saja atau lingkup pergaulan terbatas.
Di sisi lain, ada sejumlah penulis yang sudah mengingatkan kerentanan Bali dan kekuatannya melalui dokumentasi buku, jurnal, dan artikel opini. Misalnya Aryantha Soetama melalui buku reflektifnya “Bali Tikam Bali”, “Basa Basi Bali”, “Jangan mati di Bali: tingkah polah negeri turis”, dan lainnya.