Catatan Merah Pembangunan Pasar Umum Negara
Revitalisasi Pasar Negara tetap jalan meski ditolak pedagang
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Denpasar, IDN Times - Bakal gedung yang berdiri di dekat persimpangan jalan tengah-tengah kota itu mulai menunjukkan bentuknya. Bangunannya berupa gedung putih dengan genteng merah. Progres pembangunan diperkirakan sudah mencapai sekitar 70 persen. Tapi, keseluruhan bangunan belum bisa ditelusuri karena dikelilingi pagar putih. Tak ada penjual dan pembeli terlihat yang bertransaksi. Suasana itu tergantikan satu-dua buruh konstruksi yang hilir-mudik ketika didatangi tim penulis pada 9 Juni 2024. Gedung itulah yang rencananya akan menjadi Pasar Umum Negara. Posisinya berada di Jalan Pahlawan, Kelurahan Pendem, Kecamatan Jembrana, Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali. Pasar modern itu ditargetkan rampung pada Juli 2024 dan diresmikan oleh Presiden Joko Widodo.
Pasar Umum Negara yang berdiri sejak 1955 sudah hampir setahun terakhir menjalani revitalisasi. Mengutip artikel dari Radar Bali, Bupati Jembrana, I Nengah Tamba, menjelaskan revitalisasi dilakukan untuk mengikuti semangat zaman. Apalagi tren pembeli masa kini adalah berbelanja di tempat yang bersih dan modern. Selain itu, juga mempertimbangkan tuanya gedung yang rentan roboh, dan rumitnya instalasi kelistrikan yang dapat memicu kebakaran.
Pasar Umum Negara pernah mengalami kebakaran pada 2003 silam. Pascakebakaran, pasar hanya direnovasi sebagian. Baru pada 2023, akhirnya mengalami revitalisasi. Dalam kunjungannya meninjau perkembangan pembangunan Pasar Umum Negara, Tamba berharap Pasar Umum Negara menjadi destinasi wisata.
Seperti pasar lainnya, Pasar Umum Negara menjual kebutuhan sehari-hari masyarakat. Mulai dari sembako, sayur, buah, jajanan lokal, pakaian, sarana persembahyangan, perabotan rumah tangga, alat-alat pertanian, hingga perhiasan. Namun hampir setahun proses revitalisasi Pasar Umum Negara, para pedagang angkat kaki. Mereka harus direlokasi ke dua tempat. Pertama, berada di belakang Kantor Bupati Jembrana, Jalan Surapati, Negara. Lokasi kedua ada di Pasar Ijo Gading, yang berjarak sekitar 160 meter dari arah selatan Pasar Umum Negara.
Pada waktu yang sama 9 Juni 2024, tim penulis mengunjungi Pasar Ijo Gading. Dari depan pintu berbentuk gapura hingga halaman pasar masih ramai pedagang yang menjajakan dagangannya. Namun memasuki gedung, ada los atau kios yang tutup. Pasar Ijo Gading beroperasi sejak pagi hingga menjelang sore. Pasar ini akan berganti menjadi Pasar Senggol pada malam hari.
“Pasar Ijo Gading ini awalnya di dalam gedung saja. Tidak ada yang berjualan di luaran kayak sekarang. Ini yang di luaran paling jam 3 sudah pulang, yang di pinggir-pinggir itu. Kan kena (Pasar) Senggol,” kata seorang pedagang perempuan yang tidak mau menyebutkan namanya.
Ia sudah berjualan di Pasar Umum Negara sejak 1995. Ia mengakui pasar menjadi ramai sejak ada relokasi Pasar Senggol yang tadinya berada di terminal.
Nasib berbeda dialami oleh pedagang yang direlokasi ke areal parkir Pemkab Jembrana. Seorang pedagang perabotan rumah tangga yang tak mau menyebutkan namanya mengeluhkan, “Saya pernah berjualan di Pemkab dua bulan. Tapi, gak ada yang belanja di Pemkab. Sepi. Enakan berjualan di Pasar Ijo Gading kayak sekarang.”
Mereka adalah korban relokasi dari sekian banyak pedagang yang bersedia diwawancarai. Dari hasil penuturan di atas, mereka mempunyai keraguan yang sama terhadap nasib penghidupannya di masa depan. Apakah bangunan pasar bisa selesai tepat waktu, kapan mereka bisa berdagang di sana, dan los atau kios seperti apa yang bisa didapatkan, hingga berapa biaya sewa per tahunnya masih menjadi tanda tanya buat mereka.
Seorang pedagang lansia--yang memperkenalkan dirinya sebagai Mbah Komang--bahkan mengaku pasrah dengan keadaan, sekalipun tidak ada sosialisasi yang sampai ke telinganya. Dia juga tidak berani menentang keputusan pemerintah karena merasa cuma rakyat biasa yang sudah tua. Ia memilih manut dengan anjuran teman-teman lain untuk tidak banyak omong.
“Yang penting nanti dapat los atau kios saja. Yang penting Mbah cari uang buat makan saja,” ujarnya sambil menyiapkan dagangannya.
Nyoman Suartha dalam bukunya berjudul “Revitalisasi Pasar Tradisional Bali Berbasis Pelanggan (Studi Kasus di Kabupaten Gianyar)” yang diterbitkan PT Raja Grafindo Persada pada 2016 menuliskan, bahwa dengan kondisi Indonesia yang menerapkan konsep desentralisasi, pemerintah daerah memang mempunyai otonomi terhadap pengelolaan daerahnya sendiri. Termasuk mengelola pasar tradisional. Pasar tradisional adalah jantung perekonomian daerah. Ada beberapa alasan yang membuatnya layak atas gelar ini. Pertama, pasar tradisional menjadi wadah transaksi ekonomi bagi masyarakat khususnya dari kalangan menengah ke bawah. Kedua, pasar tradisional menjadi media penciptaan lapangan kerja. Tentunya terciptanya didasarkan permintaan atas pemasok berbagai kebutuhan penduduk, jasa angkutan barang-barang dagangan, dan barang-barang belanja, jasa keuangan (bank, koperasi, LPD), dan berbagai lapangan kerja lainnya.
Seiring berjalannya waktu, perekonomian daerah tidak lagi dimonopoli oleh pasar tradisional. Bermunculan para pesaingnya seperti pasar swalayan, minimarket, pedagang keliling, dan warung-warung tradisional. Jumlah penduduk yang meningkat dan pergeseran pola perilaku pembeli membuat hal ini terjadi. Pemilihan tempat berbelanja oleh para pembeli berkorelasi dengan pemenuhan kebutuhan dan keinginannya. Pembeli pastinya memiliki harapan tertentu. Apabila barang yang dibutuhkan dan layanan yang diterima sesuai dengan pengorbanan yang mereka keluarkan, maka pembeli akan setia pada tempat belanja itu.
Nyoman Suartha menyebutkan, kendati demikian, nyatanya pasar tradisional masih menjadi pilihan tempat belanja karena harganya yang relatif murah, lebih banyak pilihan, ketidaklengkapan barang di pasar swalayan, dan kebolehan untuk menawar harga. Tapi itu tidak membuat pasar tradisional luput dari kekurangan. Waktu operasi yang singkat, penataan yang masih tradisional (kurang tertata, berserakan, dan kotor) serta penjualnya yang kurang berorientasi pada pembeli yang masuk dalam daftar yang perlu dibenahi dari pasar tradisional. Namun, apakah penataan yang dimaksud dengan cara mengubah pasar tradisional menjadi pasar modern menjadi tepat?
Dengan mengutip penjelasan Bupati Jembrana soal alasan hadirnya proyek revitalisasi pasar, Sekretaris Paguyuban para Pedagang, Haji Yunus, yang ditemui di kediamannya pada 9 Juni 2024 mengatakan, “Pemerintah menganggap pembangunan itu penting, eman-eman (sayang) jika ditolak. Mumpung ini program dari Kementerian PUPR dan Presiden Joko Widodo untuk seluruh kabupaten/kota di Indonesia dan Kabupaten Jembrana berhasil masuk menjadi salah satunya. Kalau pakai APBD, tentunya tidak memungkinkan untuk menjalankan proyek ini.”
Para pedagang merasakan ada perubahan minat pembeli setelah pasarnya selesai direvitalisasi
Menurut Yunus, momentumnya tidak tepat untuk melakukan revitalisasi. Apalagi para pedagang yang pernah terkena dampak Covid-19 ini baru memberanikan diri meminjam bank.
"2021-nya beranjak pulih, tapi kan belum selesai. 2022-nya baru kita berbenah. Dari sepi, dalam 2-3 tahun beranjak ramai. Berani pinjam (uang) lagi ke bank. Tapi, 2023 ada berita kalau akan dibangun (pasar),” ungkap Yunus.
Para pedagang Pasar Umum Negara juga semakin kesulitan karena tidak ada kompensasi maupun bentuk keringanan lain yang diberikan. Itu sebabnya mereka mendatangi Kantor Dinas Koperasi, Usaha Kecil Menengah, Perindustrian, dan Perdagangan untuk meminta bantuan menjembatani komunikasi, tapi hasilnya nihil.
“Namun, yang bersangkutan tidak bisa membantu dengan alasan sudah merupakan kebijakan bank. Padahal tidak ada sangkut pautnya pemerintah dengan bank. Yang berutang kan masyarakat,” ujarnya.
Yunus merasa semestinya pemerintah bisa meringankan masalah masyarakat. Tetapi ia melihat pemerintah tidak ada upaya untuk berkomunikasi dengan pihak bank.
“Perkara berhasil atau tidak bisa belakangan, yang penting mengusahakan dahulu. Barangkali bisa direlaksasi. Kan pernah sewaktu Covid-19 melakukan relaksasi. Dari bank bisa tidak bayar bunga selama satu tahun, itu yang dimaksud relaksasi,” kata Yunus.
Kekhawatiran lainnya adalah penghasilan para pedagang akan menurun akibat keengganan pembeli untuk berkunjung ke Pasar Umum Negara yang sudah dimodernisasi. Revitalisasi itu nantinya akan membuat pasar menjadi bangunan dua lantai serta berdinding berkaca, layaknya sejumlah proyek revitalisasi pasar yang sudah lebih dahulu dilakukan di Bali.
Hal ini diamini oleh pedagang sayur mayur di Pasar Badung, Made, yang ditemui tim penulis pada 15 April 2024. Ia bercerita, tidak ada pembeli yang mau ke los atau kios di Lantai 3 dan 4 karena para pembeli lanjut usia kesulitan menaiki tangga. Permasalahan lainnya adalah ukuran los atau kios yang mengecil pascarevitalisasi pasar, dan cenderung terjadi penyeragaman harga akibat los atau kios yang terlalu berdekatan.
Pedagang sayur mayur lainnya di Pasar Umum Gianyar, Ketut Darta, saat didatangi tim penulis pada 11 April 2024 juga mengeluhkan keberatan para pembeli yang berkunjung ke lantai atas.
“Pas jualan di (daerah relokasi), Samplangan justru laku keras. Mungkin karena pinggir jalan. Tidak harus naik-turun,” tambahnya ketika menjelaskan perbedaan Pasar Umum Gianyar setelah kembali dioperasikan pascarevitalisasi.
Perubahan minat masyarakat ke pasar yang telah direvitalisasi, juga terjadi di Pasar Shindu Sanur. Menurut Made Rupen, perubahannya cukup signifikan 1 banding 10. Sementara pedagang ikan dan daging ini menggantungkan hidupnya dari berjualan sejak Pasar Shindu Sanur berdiri pada 1970.
“Jauh bedanya, 1 berbanding 10. Dulu pasarnya jelek, serba jelek. Tapi, yang belanja ramai. Sekarang pasarnya bersih, yang belanja malah sepi,” komentar Made Rupen, saat ditemui pada 12 April 2024.
IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.