Cerita Keinginan Transpuan di Bali Berganti Kelamin: Kedaluwarsa
Suntik hormon estrogen membuat Tariska jadi lemah
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Denpasar, IDN Times – Seseorang terkadang dihadapkan oleh persoalan gender, hingga membuat orang tersebut memutuskan untuk melakukan operasi ganti kelamin alias rekonstruksi genital. Banyak alasan yang melatarbelakangi seseorang untuk mengambil keputusan itu.
Contohnya adalah seperti yang dialami oleh Aprilia Manganang, seorang mantan pevoli putri Indonesia yang kini menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI). Jenis kelaminnya berubah menjadi laki-laki atas dasar hasil pemeriksaan dari pihak TNI AD di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) pada 3 Februari 2021. Bahwa Sersan Dua (Serda) tersebut memiliki organ kelamin jenis laki-laki.
Manganang sebenarnya terlahir sebagai seorang laki-laki. Namun ia mengalami kelainan pada sistem reproduksi yang disebut hipospadia. Kelainan itu bisa terjadi di Indonesia namun dalam skala yang jarang, yakni 1:250.
"Jadi seseorang yang kemudian diberi nama Aprilia Manganang tidak seberuntung kita semua. Jadi saat dilahirkan anak ini memiliki kelainan pada sistem reproduksinya, yang dalam terminologi kesehatan disebut hipospadia," kata ujar Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) TNI, Jenderal Andika Perkasa, dalam jumpa pers yang disiarkan oleh tvOne, Selasa (9/3/2021) lalu.
Contoh kasus di atas adalah berkaitan dengan medis karena kelainan pada sistem reproduksinya. Tetapi bagaimana dengan para transpuan (Transgender perempuan)? Transpuan yang tinggal di Bali ini mau berbagi kisah hidupnya secara sekilas kepada IDN Times. Namanya Tariska (48). Berikut ini kisahnya:
Baca Juga: Gak Usah Bingung, Ini Penyebab Aprilia Manganang Jadi Laki-laki
1. Setelah suntik hormon estrogen, Tariska ada keinginan untuk operasi ganti kelamin
Tariska memutuskan untuk menjalani suntik hormon estrogen selama tiga tahun di dokter atau bidan yang ia percaya. Usianya menginjak 41 tahun kala itu. Tarifnya masih Rp60 ribu sampai Rp110 ribu untuk sekali suntik. Ia merasakan efeknya setelah suntik hormon. Yaitu kulitnya semakin halus, pertumbuhan bulu kumis melambat, dan payudara mulai terisi.
Namun ia mengaku sudah berhenti suntik hormon estrogen sejak empat tahun lalu. Ia berhenti karena malah merasakan semangatnya turun. Sehingga memengaruhi kualitas kerjanya.
“Untuk menghaluskan kulit, payudara mengencang sedikit. Tiga tahunanlah. Bawaannya nggak semangat. Energi ada, tapi tidak semangat. Menciut gitu. Drop,” ungkapnya melalui sambungan telepon, Selasa (16/3/2021).
Transpuan asal Surabaya ini sebenarnya punya keinginan untuk operasi ganti kelamin. Tetapi menurut perhitungannya, dia sudah terlambat. Ia kemudian mengalihkan keinginan itu untuk melakukan hal-hal lainnya.
“Keinginan hati, iya. Usiaku nggak memungkinkan lagi. Kalau operasi kan minimal 30-an. Kalau sekarang kedaluwarsa ya,” jelasnya.