Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

5 Film 90-an yang Terlalu Modern di Zamannya, Tertarik Nonton?

film Crash (dok. New Line Cinema/Crash)

Pada era 1990-an, banyak film populer masih bermain aman seperti mengandalkan formula cerita yang sudah terbukti sukses dan menyenangkan penonton. Namun, ada beberapa film yang berani mengangkat tema-tema yang dianggap tabu, menantang norma sosial, dan memakai pendekatan visual yang tidak lazim.

Mungkin, karena dianggap aneh, terlalu blak-blakan, atau terlalu kompleks, banyak dari film-film ini gagal mendapat apresiasi saat pertama dirilis. Padahal kalau ditonton sekarang, film-film ini justru terasa sangat relevan. Inilah deretan film dari era 90-an yang terbukti terlalu modern untuk zamannya, tapi kini dianggap karya visioner.

1. But I’m A Cheerleader (1999)

film But I’m A Cheerleader (dok. Lionsgate/But I’m A Cheerleader)

Film ini menggabungkan komedi satir dan isu serius dengan sangat berani. Megan, seorang cheerleader, tiba-tiba dikirim ke kamp terapi konversi oleh orangtuanya karena mereka curiga ia seorang lesbian. Padahal Megan sendiri belum yakin tentang identitasnya. Premis yang absurd ini justru jadi kekuatan utama film yakni mengkritik keras praktik terapi konversi.

Dengan gaya visual yang penuh warna dan dialog cerdas, film ini mengolok-olok pandangan konservatif soal seksualitas. Penampilan RuPaul sebagai mentor "eks-gay" menambah bumbu satire yang menggigit. Film ini jauh lebih progresif dari zamannya, dan baru diakui nilainya oleh banyak orang setelah bertahun-tahun berlalu.

2. Beau Travail (1999)

film Beau Travail (dok. S.M Films/Beau Travail)

Karya Claire Denis ini menyelami dunia maskulinitas dari sudut yang sangat puitis dan introspektif. Melalui kehidupan para prajurit di Legiun Asing Prancis, film ini memotret bagaimana tekanan sosial membuat laki-laki mengekspresikan keintiman lewat kekerasan atau pengendalian. Imaji tubuh laki-laki dalam film ini sangat indah, namun di saat yang sama penuh represi.

Beau Travail mengajak penonton merenung tentang bagaimana laki-laki menyembunyikan emosi dan kerinduan akan hubungan yang lebih manusiawi. Film ini terasa seperti puisi tentang konflik batin dan ketegangan sosial yang membentuk pria modern. Saat dirilis, pendekatannya dianggap terlalu eksperimental tapi sekarang diakui sebagai satu karya terbaik dekade itu.

3. The Watermelon Woman (1996)

film The Watermelon Woman (dok. Dancing Girl/The Watermelon Woman)

Film ini adalah tonggak penting dalam sinema queer dan ras kulit hitam. Cheryl Dunye tidak hanya menyutradarai dan menulis naskahnya, tapi juga membintangi film ini sebagai karakter utama yang sedang menelusuri sejarah seorang aktris kulit hitam yang terlupakan. Di balik pencariannya, tersimpan banyak kritik terhadap penghapusan sejarah perempuan kulit hitam di Hollywood.

Apa yang membuat film ini istimewa adalah kemampuannya menggabungkan pencarian sejarah, romansa, dan humor tanpa kehilangan bobot kritik sosialnya. Film ini tidak hanya bicara soal identitas, tapi juga bagaimana sejarah dibentuk oleh siapa yang diberi ruang untuk bersuara.

4. Crash (1996)

film Crash (dok. New Line Cinema/Crash)

Apabila belum pernah nonton Crash, siap-siap bingung dan mungkin sedikit terganggu. David Cronenberg memang suka mengeksplorasi batas-batas tubuh dan hasrat manusia, dan di film ini ia membawa kita ke dunia di mana orang-orang merasa terangsang oleh kecelakaan mobil. Film ini menggambarkan bagaimana teknologi dan kekerasan bisa memengaruhi sisi paling primal manusia.

Di era ketika internet baru merambah ke rumah-rumah, Crash seolah mengantisipasi obsesi manusia modern terhadap teknologi dan kekacauan. Film ini menabrakkan antara seks, luka, dan identitas. Pada masanya, film ini sangat kontroversial dan banyak ditolak, tapi sekarang justru dianggap sebagai karya visioner tentang tubuh manusia dan teknologi.

5. Mary Jane’s Not A Virgin Anymore (1996)

film Mary Jane’s Not A Virgin Anymore (dok. AGFA Pictures/Mary Jane’s Not A Virgin Anymore)

Film ini berfokus pada Mary Jane, seorang gadis muda yang memutuskan untuk mengeksplorasi kembali hubungan seksual setelah pengalaman pertamanya yang mengecewakan. Jarang sekali pada tahun 90-an ada film yang berani menggambarkan remaja perempuan sebagai subjek yang punya kendali atas tubuh dan keinginannya sendiri, bukan sekadar objek atau korban dalam cerita.

Sarah Jacobson menyajikan sudut pandang yang sangat langka pada masanya, yakni remaja perempuan yang ingin menikmati seks dengan kesadaran dan tanpa rasa malu. Bagi industri film yang masih didominasi laki-laki, pendekatan ini terasa terlalu berani. Tak heran film ini kesulitan mendapatkan distribusi luas, karena dianggap terlalu menantang narasi seksual pada saat itu.

Kalau dipikir-pikir, film-film ini memang terasa terlalu berani dan jujur untuk zamannya. Tapi justru itu yang membuat mereka bertahan lama dalam ingatan dan kajian film hingga hari ini. Menurutmu, film 90-an lain apa yang juga terlalu maju buat zamannya?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Topics
Editorial Team
Irma Yudistirani
EditorIrma Yudistirani
Follow Us