Memahami Pola Pikir Pengidap ADHD: Impulsif Tak Kenal Bahaya
Butuh bertahun-tahun mereka menerima dirinya 'berbeda'
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Retno Widowati (27) sering menghadapi ilusi waktu, berperilaku impulsif, bahkan mengalami mimpi yang seolah benar-benar terjadi (vivid dream). Seorang ibu di Kota Malang, Provinsi Jawa Timur, Isa Maisah (54), mencurigai ada perilaku yang berbeda dari anaknya, Athaya Putri Nirwasita (17). Karena pada usia 2 tahun 3 bulan, Athaya mengalami speech delay. Setelah bertahun-tahun melewati kondisi itu, Retno dan Athaya didiagnosis mengalami Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) atau gangguan pemusatan perhatian.
Denpasar, IDN Times - Retno sudah lama mencurigai perubahan itu. Dalam proses mengerjakan skripsi S1 tahun 2018 di Yogyakarta, Retno lalu mencari pengetahuan tentang ADHD. Namun semakin lama gangguan itu membuat Retno di-DO (drop out), karena tidak dapat menyelesaikan tugasnya sebagai mahasiswi.
Retno kemudian rutin menemui psikiater dari 2021 hingga 2022. Setelah melewati beberapa tes, baru diketahui dirinya mengalami ADHD setelah dewasa. Jadi terjawab sudah kebiasaan-kebiasaan yang ia alami sejak lama. Retno memutuskan terbuka kepada keluarga dan orang-orang terdekatnya. Keluarga inti mendukung perubahan sosialnya ada di luar teori linier. Retno kini belajar berdamai dengan kondisinya. Namun tetap struggling melewati kekacauan dan adrenalin yang tak menentu sepanjang hari. Perempuan yang sekarang tinggal di Kelurahan Panjer, Kota Denpasar ini mungkin agak terlambat mendeteksi ADHD-nya.
Isa malah lebih cepat mencari terapi sebelum anaknya berusia 5 tahun. Pertumbuhan Athaya sangat berbeda dari kakaknya. Jika diukur berdasarkan program Keluarga Menuju Sehat (KMS), Athaya memenuhi batas di bawah standar pertumbuhan balita. Dari hasil konsultasi ke puskesmas dan rumah sakit, kondisi Athaya dikatakan masih aman-aman saja. Puncak kecurigaannya muncul pada saat kosa kata Athaya tidak berkembang di usia 2 tahun 3 bulan. Anaknya juga cenderung asyik dengan dunianya sendiri, dan suka menginterupsi kalau diajak bicara. Tahun 2008 dalam keterbatasan akses internet, Isa mencari berbagai informasi di perpustakaan dan beberapa dokter. Hingga akhirnya menemukan satu dokter yang mendiagonis Athaya mengidap ADHD. Perjalanannya masih panjang. Athaya harus masuk-keluar tempat terapi karena tidak cocok dengan mood-nya. Ia juga mengamuk ketika diberitahu tentang kondisinya.
ADHD bukanlah penyakit, melainkan gangguan pemusatan perhatian (hiperaktif) dan konsentrasi. Jadi si pengidap punya indikasi bermasalah dalam berinteraksi sosial, aktivitasnya cenderung berlebihan, mengalami gangguan tidur, tidak bisa fokus, hingga impulsif. Retno dan Athaya hanya sebagian kecil saja yang terungkap di Indonesia. Itu pun muncul setelah IDN Times mewawancarai mereka. Mungkin karena bukan penyakit fisik yang tampak mengerikan, masyarakat jadinya minim mencari pemahaman tentang ADHD. MIF Baihaqi dan M Sugiarmin menyebutkan dalam bukunya berjudul "Memahami dan Membantu Anak ADHD" yang diterbitkan oleh Refika Aditama tahun 2006, istilah ADHD hanya menjadi perbincangan dunia pendidikan dan psikologi. Internasional menggunakan istilah ini untuk menggambarkan disfungsi otak. Yaitu meliputi kesulitan dalam mengendalikan impuls, menghambat perilaku, dan tidak mendukung rentang perhatian mereka.
Hasil survei yang dilakukan National Survey of Children’s Health (NSCH) di Amerika Serikat pada tahun 2007, angka prevalensi ADHD pada anak usia 4–17 tahun mencapai 9,5 persen dari 5,4 juta anak. Survei ini telah diterbitkan di Centers for Disease Control and Prevention tahun 2010. Namun cukup berbeda di Indonesia. Angka prevalensi ADHD di Indonesia tidak diketahui secara pasti. Penelitiannya masih terbatas, dan bersumber dari laporan kasus di pusat terapi tumbuh kembang anak.
Ambil saja satu contoh penelitian retrospektif (Studi berdasarkan catatan medis) Desak Putu Kunti Wedayanti untuk Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana (Unud); dan I Gusti Ayu Trisna Windiani, Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP Sanglah ini. Judul penelitiannya adalah "Prevalens Gangguan Tidur Pada Anak dengan Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) di Poliklinik Tumbuh Kembang RSUP Sanglah". Mereka meneliti para orangtua anak dengan GPPH (responden) di Poliklinik Tumbuh Kembang RSUP Sanglah Denpasar (Sekarang berubah nama menjadi RSUP Prof Ngoerah) sebanyak 33 orang, pada periode Juni-Oktober 2016. Metode untuk mendeteksi gangguan tidur ini menggunakan Sleep Disturbance Scale for Children (SDSC).
Hasilnya, angka prevalensi gangguan tidur pada anak dengan GPPH sebanyak 22 orang (66,7 persen). Jenis-jenis gangguan tidur yang mereka alami berdasarkan SDSC adalah:
- Gangguan memulai dan mempertahankan tidur: 16 orang (72,7 persen)
- Gangguan pernapasan saat tidur: 5 orang (22,7 persen)
- Gangguan kesadaran: 12 orang (54,5 persen)
- Gangguan transisi tidur-bangun: 13 orang (59,1 persen)
- Gangguan somnolen berlebihan: 2 orang (9,1 persen)
- Hiperhidrosis saat tidur: 12 orang (54,5 persen).
Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), dr Nurhandini Eka Dewi SpA MPH, mengakui belum ada data pasti mengenai jumlah anak yang mengalami ADHD di NTB setelah dikonfirmasi IDN Times di Mataram, Jumat (10/3/2023) lalu. Jadi angka-angka ini fenomena gunung es. Faktanya, orangtua baru mengetahui anaknya mengalami ADHD setelah datang ke pusat terapi tumbuh kembang anak, yayasan atau sekolah anak berkebutuhan khusus, hingga psikolog ataupun psikiater. Atau seperti Retno yang baru mengetahui dirinya ADHD setelah dewasa.
Sebenarnya penyakit ADHD dapat dideteksi sejak dini dengan melihat tumbuh kembang anak lewat buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Buku KIA menyantumkan perkembangan pertumbuhan anak setiap bulan dan tahun.
"Kalau tidak mencapai poin-poin dalam buku KIA, dia harus dirujuk. Itu yang sekarang belum jalan. Sehingga terjadi keterlambatan deteksi anak yang mengalami ADHD sejak dini," kata Eka.
Perubahan perilaku orang ADHD bahkan sering dilabeli sebagai anak yang hiperaktif, dan nakal karena tidak bisa diatur. Artikel kolaborasi hyperlocal IDN Times yang tersebar di 13 provinsi ini akan menyajikan bagaimana fakta-faktanya di lapangan.
Baca Juga: 5 Mitos Seputar ADHD, Benarkah Hanya Pada Anak Laki-laki?
Baca Juga: Penderita ADHD di Bali Ungkap Sering Menghadapi Ilusi Waktu
1. Punya kebiasaan melamun, tidak mengenali bahaya, dan mengalami speech delay
Retno menghadapi beragam gangguan selama menjalani aktivitas kesehariannya. Ia mengalami regulasi perasaan, pola tidurnya tidak teratur, bertindak impulsif, memiliki kebiasaan suka menunda dan menyepelekan waktu. Waktunya banyak dia habiskan untuk melamun atau terlalu banyak berpikir (predominantly inattentive ADHD). Bahkan ia mengalami mimpi yang terasa benar-benar nyata (vivid dream). Ia juga suka menuntut kesempurnaan untuk dirinya sendiri demi mewujudkan sesuatu (idealis), malas mengerjakan hal yang tidak menarik dan tidak menantang, hingga kemudian semuanya mengakibatkan kerugian finansial.
Retno tidak mengikuti terapi khusus, apalagi pergi rutin ke dokter untuk melakukan konseling. Ia kurang percaya dengan tenaga medis mental dan otak di Indonesia. Ditambah lagi kurangnya perhatian Pemerintah Indonesia terhadap isu neurodivergent dan kesehatan mental. Jadi semenjak didiagnosis itu dan tanpa mengikuti terapi khusus, ia hanya belajar dari para ahli otak serta mental yang progresif melalui internet. Lantas bagaimana ia mengatasi perubahan perilaku tersebut?
“Cara mengatasinya, ya, dinikmati saja kekacauan dan adrenalinnya. Karena semua strategi manajemen waktu sudah dilakukan, tapi tidak ada yang berhasil,” ungkapnya.
Ia juga mengonsumsi tontonan yang datar sebelum tidur atau menyederhanakan hal. Upaya ini diakui efektif untuk mendapatkan durasi tidur yang cukup.
Kabid Rehsos Dinsos Jateng, Sugondo, mengatakan kesehatan mental belakangan banyak ditemukan di Jawa Tengah. Berkaitan dengan penanganan ADHD, Dinsos bersama Dinkes mengaku rutin memberi pelayanan kesehatan bagi pengidapnya namun tidak bisa 100 persen.
"Karena yang kita fokuskan pada layanan penyandang disabilitas mental khusus buat yang telantar. Persoalannya adalah seluruh panti rehabilitasi sosial sekarang over kapasitas. Semua full. Akhirnya kita limpahkan ke panti swasta yang dapat subsidi makanan dari Pemprov Jateng," kata Sugondo.
Mustika Nuraini, seorang ibu di Kecamatan Natar, Lampung Selatan, harus ekstra perhatian pada anak perempuannya ketika berusia 2 tahun. Ia sangat hiperaktif dan tidak bisa diam. Ada saja yang dikerjakannya. Bosan dengan mainan A, ganti mainan B. Bosan mainan B, ganti lagi dengan yang lain. Begitu seterusnya.
“Terus dia juga kurang bisa melihat situasi di sekitarnya. Misalnya dia bermain, itu tidak akan memedulikan anak lain menangis karena mainannya direbut,” kata Mustika, Sabtu (11/3/2023).
Anaknya tidak mengenali rasa takut, dan bahaya. Pernah suatu ketika Mustika kaget melihat dia duduk di pinggiran sumur pendek dekat rumahnya. Arah kakinya menghadap ke dalam sumur, dan tampak senang sambil mengayun-ayunkan kakinya. Dia juga hanya akan menangis jika merasa sakit saja. Jadi meskipun terluka karena jatuh, selama itu tidak terasa sakit, anaknya tidak bakalan menangis.
Ceritanya tak berhenti sampai di situ. Anaknya pernah hilang dalam pengawasan Mustika, padahal biasa bermain di depan rumah bersama anak-anak lain. Setelah dicari-cari, Mustika menerima telepon dari seseorang yang kenal dengan dirinya, dan memberitahu bahwa anaknya jalan sendiri, sudah jauh dari rumahnya sekitar setengah kilometer. Mustika lalu mengorek cerita dari orang itu: apa yang terjadi pada anaknya selama di sana. Ia berkata, anaknya terlihat kebingungan dan seperti berusaha ingin pulang tapi tidak bisa.
Sekarang anaknya berusia 5 tahun. Namun bicaranya masih belum jelas karena didiagnosis speech delay. Padahal anak umumnya mulai bisa berbicara di usia 12-18 bulan, dan berbicara lancar pada usia 2-3 tahun.
“Dia sudah mengerti apa yang diucapkan orang lain, dia juga tahu apa yang mau dia sampaikan tapi tidak jelas. Lalu dia juga agak sulit kalau diomongin. Misalnya pas dipanggil, dia gak akan peduli padahal sebenarnya dia itu mendengar, dia gak tuli. Tapi mungkin karena asyik dengan dunianya, jadi dia akan terus fokus pada yang disukainya itu,” jelas Mustika.
Dari perilaku di luar kebiasaan itulah Mustika memutuskan untuk memeriksakan anaknya ke dokter anak. Selama di sana, ia melihat dokter memberikan beberapa simulasi seperti menanyakan nama, memerhatikan fokus, dan perilaku anaknya.
“Jadi saya semakin yakin kalau anak saya spesial. Jadi memang saya yang harus beri treatment lebih kepadanya dibanding saudaranya yang lain. Karena tadi itu, dia gak ada rasa takut jadi bisa membahayakan dirinya sendiri,” ujarnya.
Sedangkan Isa masih kebingungan mencari penyebab Athaya didiagonis ADHD. Padahal proses kehamilan dan persalinannya berjalan normal, serta tidak ada riwayat ADHD di keluarga. Dokter yang memeriksanya menyarankan agar speech delay Athaya ditangani dulu. Isa lalu mencari tempat terapi di Malang. Namun tidak ada yang cocok dengan mood Athaya.
Akhirnya Isa menemukan lokasi terapi yang cocok untuk anaknya di Cinta Ananda Araya, Kota Malang. Speech delay Athaya membaik setelah terapi bertahun-tahun di sana. Ia sudah bisa mengucapkan huruf-huruf konsonan.
"Terapi tetap dilakukan bertahun-tahun, karena untuk pengenalan warna dan angka sangat sulit sekali. Karena memang posisi intelektualnya di bawah dari hasil tesnya. Tapi kita tidak boleh putus asa, harus tetap memberikan stimulus," ucapnya.
Selain terapi di atas, Athaya dilatih meniup peluit untuk memperkuat otot rahang dan otot bibir. Tujuannya untuk memperlancar berbicara dan tidak mudah meneteskan air liur. Isa harus bekerja sama dengan pihak sekolah agar memberikan kesempatan Athaya untuk memimpin barisan, dan mengomandoi para murid menggunakan peluit saat akan masuk kelas.
Lain cerita pengalamannya dengan Pendiri Yayasan Anak Unik sekaligus guru pembimbing anak-anak Tunagrahita di Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali, Ni Gusti Putu Parmiti. Tiga anak didiknya mengalami ADHD. Pada awal-awal mendidik mereka, Parmiti biasa digigit dan dikencingi karena memang belum bisa bicara. Mereka bisa kencing di mana saja tanpa pemisi.
Ciri yang paling mudah untuk mengenali ADHD adalah anak sangat sulit memfokuskan perhatiannya pada sesuatu. Termasuk kesulitan diajak kontak mata, dan sangat mustahil untuk diajak berkomunikasi. Perilaku anak-anak ADHD juga biasanya impulsif dan sangat aktif. Termasuk di saat makan dan tidur, mereka tetap bergerak.
"Jam tidur pun rasanya hanya beberapa menit, lalu terjaga, dan itu berlangsung bertahun-tahun. Itu ciri anak ADHD yang ada di yayasan kami," ungkap Parmiti saat dihubungi, Sabtu (11/3/2023).