[LIPSUS] Alzheimer Dianggap Asing: Ibu Saya Dibilang Gila
Dukungan keluarga paling penting untuk merawat ODD
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Denpasar, IDN Times - Masyarakat awam kerap menyederhanakan kondisi Demensia dengan sebutan "lupa atau pikun". Padahal, Demensia tidak melulu soal lupa karena juga memengaruhi kemandirian, produktivitas, hingga menimbulkan dampak sosial dan ekonomi. Demensia sesungguhnya istilah untuk menggambarkan penurunan fungsi pikir yang bisa disebabkan oleh berbagai macam penyakit, termasuk Alzheimer.
Mengingat minimnya data yang tersedia, jumlah Orang dengan Demensia (ODD) di Indonesia diprediksi jauh lebih besar dari perkiraan. Kementerian Kesehatan membeberkan pada 2015, jumlah ODD di Indonesia sebanyak 1,2 juta dan diperkirakan akan meningkat menjadi 4 juta pada tahun 2050.
Angka di atas mengacu pada World Alzheimer Report 2015 dan Dementia in the Asia Pacific yang diterbitkan oleh Alzheimer's Disease International. Pada 2022, laporan ini sudah berusia tujuh tahun dan masih sering dijadikan acuan.
"Tapi angka ini prediksi menghitung berdasarkan prevalensi demensia di dunia, terus dikaitkan dengan berapa jumlah lansia di Indonesia," ujar dr Tara P Sani MD Msc (Dementia), anggota Divisi Edukasi dan Sains di Alzheimer Indonesia (ALZI), organisasi non-profit yang memperhatikan kualitas hidup ODD.
Pada penelitian di Bali dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), ditemukan bahwa angka prevalensi di sana lebih tinggi dari angka global. "Di Indonesia angkanya selalu di atas 20 persen. Di Jogja 20,1 persen, Bali 32,6 persen," ungkapnya.
Sementara riset kerja sama antara Universitas Padjadjaran, Universitas Kristen Maranatha, dan Universitas Achmad Yani menemukan angka prevalensi sebesar 29,15 persen di Jatinangor, Jawa Barat.
Riset yang dilakukan Strengthening Responses to Dementia in Developing Countries (STRiDE) menunjukkan angka prevalensi gabungan sebesar 23,9 persen di Provinsi DKI Jakarta dan Sumatra Utara.
"Di tingkat global, biasanya [prevalensi] di atas 65 tahun adalah 1 dari 10 orang atau 10 persen. Di Indonesia, semuanya di atas 20 persen, bisa jadi angka real orang yang mengalami demensia di Indonesia lebih tinggi dari prediksi yang 1,2 juta itu," ujarnya.
Perhatian terhadap Demensia dan Alzheimer relatif baru meningkat di Indonesia jika dibanding penyakit kronis lain seperti diabetes dan hipertensi.
"Eropa pun baru memberi perhatian lebih sejak 10-15 tahun ke belakang," lanjutnya.
Berikut ini hasil liputan kolaborasi hyperlocal IDN Times yang tersebar di 13 provinsi.
Baca Juga: Sekitar 1,5 Persen Penduduk Surabaya Terkena Alzheimer
Baca Juga: Hari Alzheimer Sedunia, Benarkah Penyakit Alzheimer Berbahaya?
Hal itu juga dirasakan oleh Teta Zahara, yang mengurus pasien Alzheimer hingga tutup usia pada April 2022 lalu di Kabupaten Muara Enim, Sumatra Selatan (Sumsel).
"Masyarakat belum aware (mengetahui) soal Alzheimer. Mereka menganggap ibu saya gila. Alasannya karena ibu saya suka tidak fokus, kerap mengulang pertanyaan dan jawaban. Ini yang membuatnya sulit berkomunikasi dengan orang bahkan keluarga sendiri," kenang Teta Zahara kepada IDN Times, Sabtu (23/9/2022).
Teta menjelaskan, sang ibu pertama kali didiagnosis Alzheimer pada 2019 lalu. Mereka harus bolak-balik dari Muara Enim ke Prabumulih menempuh waktu sekitar satu jam untuk mengobati ibunya.
Awalnya keluarga menganggap sang ibu hanya mengalami sakit saraf biasa. Namun, dari waktu ke waktu perilaku ibunya semakin terasa aneh, mulai kesulitan untuk fokus dan sering lupa hingga melakukan aktivitas yang sama berulang-ulang.
"Awal-awal pasti denial kalau Alzheimer itu berpengaruh nian. Kami merasa lucu dengan tingkah ibuku yang tidak fokus. Namun seiring waktu kalau bisa memilih biarlah sakit fisik dari pada otak," ungkap dia.
Orang kampung menganggap Alzheimer tak berbeda dengan penyakit jiwa. Stigma buruk itu membuat keluarga sempat berkecil hati. Tapi mereka sadar Alzheimer memang cukup langka. Tidak semua orang memahami lantaran sedikitnya literasi dan edukasi yang membahas mengenai penyakit itu.
"Susah ngasih tahu orang-orang kalau Alzheimer tidak bisa disembuhkan. Keluarga malah disuruh bawa berobat ke dukun kata masyarakat," katanya.
Keluarga pertama kali memeriksa perubahan kondisi ibunya ke puskesmas. Saat itu, puskesmas memberikan rujukan untuk memeriksa ke rumah sakit di Kota Prabumulih dengan surat pengantar gejala Alzheimer. Pemeriksaan dilakukan oleh dokter saraf untuk proses MRI, CT Scan, dan cek darah.
"Mengurus pasien Alzheimer ini lelah luar biasa melelahkan. Karena yang diurus ini sehat dan bisa aktivitas biasa, tapi tidak fokus. Kondisi ini yang menguras emosi karena bikin kesel dengan pertanyaan yang berulang," beber dia.
Awalnya kondisi sang ibu sehat dan bugar, bisa beraktivitas seperti biasa. Sebelum didiagnosis terkena Alzheimer, ibunya pernah mengalami stroke dan sembuh pada tahun 2018. Namun dokter menyebut inilah yang menjadi ihwal titik balik kondisi sang ibu.
"Orang yang sembuh stroke, akan mengalami gangguan saraf di otak. Itu menjadi penyebab menurunnya fungsi otak," ujar dia.
Kenyataan bahwa Alzheimer tak bisa disembuhkan membuat keluarga pasrah. Obat-obatan yang rutin dikonsumsi hanya untuk membantu beristirahat.
"Kata dokter, penyebab lain Alzheimer ini karena ada emosi yang tidak bisa diungkapkan, mengendap di pikiran, dan lama-lama otak tidak sanggup menampung. Ibuku memang kalau marah diam dan nangis. Jarang meledak-meledak jadi emosi tidak tersalurkan dengan baik," terangnya.
Selain berkomunikasi dengan dokter, Teta juga tetap mencari referensi literasi dalam memahami Alzheimer. Ia membangun komunikasi dengan komunitas Alzheimer Indonesia (ALZI), berbagi keluh kesah. Sebab mengurus pasien Alzheimer membuat mental dan fisik terkuras.
"Tanpa dukungan moral pasti tidak kuat merawat pasien Alzheimer. Belum lagi Alzheimer bukanlah penyakit yang masuk dalam tanggungan BPJS," jelas dia.
Psikolog Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Provinsi Lampung, Retno Riani, mengatakan para ODD sangat membutuhkan perhatian dan bantuan orang-orang terdekat di sekeliling keluarga. Pasalnya, harus diakui merawat ODD membutuhkan tenaga ekstra dan dipastikan bakal merepotkan.
"Bukan cuma sekadar pikun, tapi psikologis mereka juga ikut mengalami perubahan. Jadi harus ekstra sabar, jangan mudah capek mengingatkan," terang Retno.
Dokter Spesialis Saraf Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), dr Herpan SpS, juga menyarankan ODD dirawat oleh anggota keluarganya, bukan dirawat di rumah sakit (RS). ODD perlu diajak berkomunikasi dan menjalankan aktivitas yang bisa menyibukkan dirinya untuk mencegah fungsi kognitif tidak cepat turun.
"Alzheimer ini tak bisa disembuhkan. Kalau terkena maka pasti menurun. Tapi kalau diintervensi lebih awal, maka bisa diperlambat sekian tahun," tandasnya.
Sementara itu Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Jateng, Yunita Dyah Suminar, ketika dihubungi IDN Times melalui sambungan telepon, Jumat (23/9/2022), mengungkapkan ada kecenderungan jumlah lansia yang mengalami Alzheimer terus bertambah walaupun tidak terlalu signifikan.
Berdasarkan catatan Dinkes Jateng, ada empat kabupaten/kota yang memiliki jumlah penderita Alzheimer tertinggi dengan total 289 orang.
Kota Solo berada di peringkat pertama dengan jumlah penderita alzheimer sebanyak 73 orang. Lalu diikuti Kota Semarang 72 orang, serta Kabupaten Magelang dan Kabupaten Boyolali dengan jumlah penderita masing-masing 28 orang.
"Karena sekarang di kota-kota banyak gaya masyarakat yang hedonisme dengan memandang semua hal dari materi. Jadinya itu yang memengaruhi kesehatan para lansia akhirnya kena alzheimer. Maka mereka perlu mengelola pikiran dan tubuhnya supaya gak gampang stres," terangnya.
Dokter Spesialis Neuro Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tabanan, dr I Made Domy Astika M Biomed SpN, menegaskan meskipun penyebab Alzheimer belum diketahui secara pasti, tapi ada beberapa faktor yang berhasil diidentifikasi. Faktor tersebut di antaranya faktor genetik yang berperan dalam timbulnya Alzheimer. Biasanya dalam penegakan diagniosis akan ditanyakan riwayat keluarga apakah ada yang mengalami gangguan yang sama atau tidak.
Pola hidup yang tidak sehat, mulai dari jarang berolahraga serta pola makanan yang tidak sehat, dan lingkungan yang penuh tekanan juga menyumbang seseorang mengalami Alzheimer.
1. Masyarakat banyak menghadapi pergulatan batin ketika keluarganya mengalami ODD
Faktor sumber daya manusia (SDM), di mana belum semua tenaga kesehatan mahir menggunakan instrumen untuk mendiagnosis, menjadi hambatan tersendiri. Kebiasaan masyarakat yang memaklumi pikun pada lanjut usia juga menjadi alasan mengapa data ODD tidak tercatat. Selama ini, Demensia tidak dianggap sebagai prioritas. Penyebabnya karena Demensia dilihat sebagai penyakit yang tidak mematikan, seperti penyakit jantung.
"Di sisi lain, Orang dengan Demensia akan lebih rentan kena berbagai penyakit. Yang tadinya mungkin bisa jadi kelihatannya sepele tapi sebetulnya juga ODD bisa berdampak lebih luas, tidak hanya kesehatan tapi juga sosial ekonomi," sambung dr Tara.
Seperti yang dialami Ketut Sudana (70) yang melihat secara langsung gejala-gejala itu dari istrinya, Ni Wayan S (70). Sekitar tahun 2018, warga Desa Lokasari, Kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali ini melihat istrinya mengalami perubahan signifikan. Istrinya kesulitan tidur pada malam hari. Ketika malam tiba, Ni Wayan S bisa tidak tidur sama sekali. Seiring waktu, Ibu 1 anak ini juga semakin pikun. Ia lupa nama anak dan cucunya. Tapi ia justru mengingat beberapa hal, seperti rumah saudara atau lokasi ke pemandian umum. Kadang istrinya lupa dengan aktivitas sehari-harinya, termasuk untuk makan.
"Kalau ke saya, masih ingat. Biasanya lupa nama cucu atau keponakan. Bahkan untuk makan saja lupa. Saya sempat perhatikan, istri saya belum makan. Tapi saat saya ingatkan untuk makan, ia selalu bilang sudah makan," ujar Sudana, Jumat (23/9/2022).
Sudana mengakui hari-harinya semakin berat. Istrinya tidak mau diam di satu tempat maupun rumah. Selalu ingin jalan kaki ke luar rumah tanpa tujuan yang pasti. Sudana sampai berada di titik tidak bisa lagi melarangnya dengan kata-kata. Karena apa yang selalu dia sampaikan, istrinya langsung lupa lagi.
"Kalau mau diam di rumah atau di rumah saudaranya kan bagus. Ini susahnya, dari rumah pergi ke rumah saudaranya. Saat di rumah saudaranya, minta balik lagi ke rumah. Saya tentu khawatir karena di jalanan banyak kendaraan dan ia sudah pikun. Sementara saya tidak mungkin mengawasinya 24 jam," ungkap Sudana.
Emosi Ni Wayan S yang awalnya terkontrol, lalu menjadi sering marah-marah. Pemicunya pun tidak jelas. Sudana dan istrinya jadi sering cekcok karena sesuatu yang tidak jelas. Sudana pernah berinisiatif mengunci gerbangnya. Namun sang istri mengamuk dan marah-marah. Saking tidak kuatnya, ia pernah mengajak sang istri agar tinggal bersama anaknya. Namun hal itu tidak membuat kondisinya semakin baik.
"Kalau masalah kadang ngompol di kamar, atau saya ambilkan makanan dan antar untuk buang air, itu masih bisa saya atasi. Ia jalan-jalan ke ke luar rumah tanpa tujuan jelas ini yang sulit saya atasi," katanya.
Kehidupan keluarga Sudana berubah. Istrinya diketahui mengalami Demensia Alzheimer setelah dibawa ke puskesmas dan dirujuk ke spesialis saraf. Selama 2 tahun belakangan sampai sekarang, Sudana memberikan obat setiap hari. Perubahannya mulai terlihat. Jarang marah, bisa diajak berkomunikasi, dan sudah bisa tidur meskipun tetap pikun. Sudana tinggal di rumah kampung halamannya bersama istri. Sedangkan anaknya sudah bekerja di Kota Denpasar.
Menjadi pendamping ODD bukan perkara mudah. Berat rasanya hati ini untuk lepas tangan begitu saja, apalagi mereka adalah keluarga sendiri. Sudana tidak kuat, kehidupannya banyak mengalami perubahan, namun berbesar hati dan sabar merawat istri tercintanya. Begitu pula Hasti (49). Warga Bumi Waras, Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung, Sumatra ini terkadang harus melawan pergulatan batin untuk merawat ibunya, Suryati (72), yang mengalami Demensia Alzheimer. Tak henti dan bosannya ia menegur tingkah laku ibunya. Selama 5 tahun terakhir, hari-harinya banyak dihabiskan di rumah untuk mengawasi dan mengurus keperluan sang ibu.
"Cuma saya sedihnya begini, saya kok seperti anak durhaka, dalam tanda kutip. Jadi harus atur-atur ibu, harus sering-sering mengingatkan, yang dianya sendiri tidak tahu kalau misalkan lagi sakit," ucap ibu 3 anak itu lirih.
Meski terdengar berat, namun tidak pernah sedikit terpikir untuk angkat tangan mengurus keperluan sehari-hari si Ibu. Apalagi membiarkan sisa-sisa hidupnya tak lebih baik semasa mengurusi Hasti bersama keempat adiknya sedari kecil.
Termasuk urusan pengobatan, sejak divonis mengidap Demensia Alzheimer, Hasti tak pernah bosan mengantarkan dan menemani ibunda menjalani pengobatan rawat jalan di rumah sakit. Alzheimer yang dialami Suryati tergolong tidak separah ODD lainnya.
"Kalau sekarang ya sudah tidak se-care (peduli) dulu, biasanya ibu orangnya ini itu diperhatikan semuanya, seperti selesai di tangannya. Sekarang lebih terlihat lempeng-lempeng aja, perubahan pribadinya jelas ada," kata Hasti.
Awal-awal didiagnosis dokter mengalami Alzheimer, Hasti dan suaminya cukup terkejut. Meskipun sebelumnya telah memperlihatkan gejala-gejala yang memengaruhi kerusakan pada otak tersebut.
"Pertama-tama ya memang seperti kebanyakan orang tualah ya. Hilang kunci itu sudah sering, lupa menaruh barang. Sedikit-sedikit bertanya yang padahal baru dilakukannya sendiri," ucap dia.
Sesuai prediksi dokter, lambat laun gejala yang diperlihatkan oleh ibu bakal lebih parah. Suryati layaknya orang baru di lingkungan keluarga. Bahkan ia lupa nama dari anak Hasti, yang notabene merupakan cucunya sendiri.
"Banyak, tiba-tiba dia tidak tahu. Jadi penyakit ini kita perlu sabar-sabar terus ingatin ibu mana yang boleh tidaknya, ya pokoknya macam-macam ulahnya," sambung Hasti.