[LIPSUS] Alzheimer Dianggap Asing: Ibu Saya Dibilang Gila

Dukungan keluarga paling penting untuk merawat ODD

Denpasar, IDN Times - Masyarakat awam kerap menyederhanakan kondisi Demensia dengan sebutan "lupa atau pikun". Padahal, Demensia tidak melulu soal lupa karena juga memengaruhi kemandirian, produktivitas, hingga menimbulkan dampak sosial dan ekonomi. Demensia sesungguhnya istilah untuk menggambarkan penurunan fungsi pikir yang bisa disebabkan oleh berbagai macam penyakit, termasuk Alzheimer.

Mengingat minimnya data yang tersedia, jumlah Orang dengan Demensia (ODD) di Indonesia diprediksi jauh lebih besar dari perkiraan. Kementerian Kesehatan membeberkan pada 2015, jumlah ODD di Indonesia sebanyak 1,2 juta dan diperkirakan akan meningkat menjadi 4 juta pada tahun 2050.

Angka di atas mengacu pada World Alzheimer Report 2015 dan Dementia in the Asia Pacific yang diterbitkan oleh Alzheimer's Disease International. Pada 2022, laporan ini sudah berusia tujuh tahun dan masih sering dijadikan acuan. 

"Tapi angka ini prediksi menghitung berdasarkan prevalensi demensia di dunia, terus dikaitkan dengan berapa jumlah lansia di Indonesia," ujar dr Tara P Sani MD Msc (Dementia), anggota Divisi Edukasi dan Sains di Alzheimer Indonesia (ALZI), organisasi non-profit yang memperhatikan kualitas hidup ODD.

Pada penelitian di Bali dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), ditemukan bahwa angka prevalensi di sana lebih tinggi dari angka global. "Di Indonesia angkanya selalu di atas 20 persen. Di Jogja 20,1 persen, Bali 32,6 persen," ungkapnya.

Sementara riset kerja sama antara Universitas Padjadjaran, Universitas Kristen Maranatha, dan Universitas Achmad Yani menemukan angka prevalensi sebesar 29,15 persen di Jatinangor, Jawa Barat.

Riset yang dilakukan Strengthening Responses to Dementia in Developing Countries (STRiDE) menunjukkan angka prevalensi gabungan sebesar 23,9 persen di Provinsi DKI Jakarta dan Sumatra Utara. 

"Di tingkat global, biasanya [prevalensi] di atas 65 tahun adalah 1 dari 10 orang atau 10 persen. Di Indonesia, semuanya di atas 20 persen, bisa jadi angka real orang yang mengalami demensia di Indonesia lebih tinggi dari prediksi yang 1,2 juta itu," ujarnya. 

Perhatian terhadap Demensia dan Alzheimer relatif baru meningkat di Indonesia jika dibanding penyakit kronis lain seperti diabetes dan hipertensi.

"Eropa pun baru memberi perhatian lebih sejak 10-15 tahun ke belakang," lanjutnya.

Berikut ini hasil liputan kolaborasi hyperlocal IDN Times yang tersebar di 13 provinsi.

Baca Juga: Sekitar 1,5 Persen Penduduk Surabaya Terkena Alzheimer

1. Masyarakat banyak menghadapi pergulatan batin ketika keluarganya mengalami ODD

[LIPSUS] Alzheimer Dianggap Asing: Ibu Saya Dibilang GilaFoto hanya ilustrasi. (Pixabay.com/coombesy)

Faktor sumber daya manusia (SDM), di mana belum semua tenaga kesehatan mahir menggunakan instrumen untuk mendiagnosis, menjadi hambatan tersendiri. Kebiasaan masyarakat yang memaklumi pikun pada lanjut usia juga menjadi alasan mengapa data ODD tidak tercatat. Selama ini, Demensia tidak dianggap sebagai prioritas. Penyebabnya karena Demensia dilihat sebagai penyakit yang tidak mematikan, seperti penyakit jantung.

"Di sisi lain, Orang dengan Demensia akan lebih rentan kena berbagai penyakit. Yang tadinya mungkin bisa jadi kelihatannya sepele tapi sebetulnya juga ODD bisa berdampak lebih luas, tidak hanya kesehatan tapi juga sosial ekonomi," sambung dr Tara.

Seperti yang dialami Ketut Sudana (70) yang melihat secara langsung gejala-gejala itu dari istrinya, Ni Wayan S (70). Sekitar tahun 2018, warga Desa Lokasari, Kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem,  Provinsi Bali ini melihat istrinya mengalami perubahan signifikan. Istrinya kesulitan tidur pada malam hari. Ketika malam tiba, Ni Wayan S bisa tidak tidur sama sekali. Seiring waktu, Ibu 1 anak ini juga semakin pikun. Ia lupa nama anak dan cucunya. Tapi ia justru mengingat beberapa hal, seperti rumah saudara atau lokasi ke pemandian umum. Kadang istrinya lupa dengan aktivitas sehari-harinya, termasuk untuk makan.

"Kalau ke saya, masih ingat. Biasanya lupa nama cucu atau keponakan. Bahkan untuk makan saja lupa. Saya sempat perhatikan, istri saya belum makan. Tapi saat saya ingatkan untuk makan, ia selalu bilang sudah makan," ujar Sudana, Jumat (23/9/2022).

Sudana mengakui hari-harinya semakin berat. Istrinya tidak mau diam di satu tempat maupun rumah. Selalu ingin jalan kaki ke luar rumah tanpa tujuan yang pasti. Sudana sampai berada di titik tidak bisa lagi melarangnya dengan kata-kata. Karena apa yang selalu dia sampaikan, istrinya langsung lupa lagi.

"Kalau mau diam di rumah atau di rumah saudaranya kan bagus. Ini susahnya, dari rumah pergi ke rumah saudaranya. Saat di rumah saudaranya, minta balik lagi ke rumah. Saya tentu khawatir karena di jalanan banyak kendaraan dan ia sudah pikun. Sementara saya tidak mungkin mengawasinya 24 jam," ungkap Sudana.

Emosi Ni Wayan S yang awalnya terkontrol, lalu menjadi sering marah-marah. Pemicunya pun tidak jelas. Sudana dan istrinya jadi sering cekcok karena sesuatu yang tidak jelas. Sudana pernah berinisiatif mengunci gerbangnya. Namun sang istri mengamuk dan marah-marah. Saking tidak kuatnya, ia pernah mengajak sang istri agar tinggal bersama anaknya. Namun hal itu tidak membuat kondisinya semakin baik.

"Kalau masalah kadang ngompol di kamar, atau saya ambilkan makanan dan antar untuk buang air, itu masih bisa saya atasi. Ia jalan-jalan ke ke luar rumah tanpa tujuan jelas ini yang sulit saya atasi," katanya.

Kehidupan keluarga Sudana berubah. Istrinya diketahui mengalami Demensia Alzheimer setelah dibawa ke puskesmas dan dirujuk ke spesialis saraf. Selama 2 tahun belakangan sampai sekarang, Sudana memberikan obat setiap hari. Perubahannya mulai terlihat. Jarang marah, bisa diajak berkomunikasi, dan sudah bisa tidur meskipun tetap pikun. Sudana tinggal di rumah kampung halamannya bersama istri. Sedangkan anaknya sudah bekerja di Kota Denpasar.

[LIPSUS] Alzheimer Dianggap Asing: Ibu Saya Dibilang GilaFoto hanya ilustrasi. (https://unsplash.com/@centelm)

Menjadi pendamping ODD bukan perkara mudah. Berat rasanya hati ini untuk lepas tangan begitu saja, apalagi mereka adalah keluarga sendiri. Sudana tidak kuat, kehidupannya banyak mengalami perubahan, namun berbesar hati dan sabar merawat istri tercintanya. Begitu pula Hasti (49). Warga Bumi Waras, Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung, Sumatra ini terkadang harus melawan pergulatan batin untuk merawat ibunya, Suryati (72), yang mengalami Demensia Alzheimer. Tak henti dan bosannya ia menegur tingkah laku ibunya. Selama 5 tahun terakhir, hari-harinya banyak dihabiskan di rumah untuk mengawasi dan mengurus keperluan sang ibu.

"Cuma saya sedihnya begini, saya kok seperti anak durhaka, dalam tanda kutip. Jadi harus atur-atur ibu, harus sering-sering mengingatkan, yang dianya sendiri tidak tahu kalau misalkan lagi sakit," ucap ibu 3 anak itu lirih.

Meski terdengar berat, namun tidak pernah sedikit terpikir untuk angkat tangan mengurus keperluan sehari-hari si Ibu. Apalagi membiarkan sisa-sisa hidupnya tak lebih baik semasa mengurusi Hasti bersama keempat adiknya sedari kecil.

Termasuk urusan pengobatan, sejak divonis mengidap Demensia Alzheimer, Hasti tak pernah bosan mengantarkan dan menemani ibunda menjalani pengobatan rawat jalan di rumah sakit. Alzheimer yang dialami Suryati tergolong tidak separah ODD lainnya.

"Kalau sekarang ya sudah tidak se-care (peduli) dulu, biasanya ibu orangnya ini itu diperhatikan semuanya, seperti selesai di tangannya. Sekarang lebih terlihat lempeng-lempeng aja, perubahan pribadinya jelas ada," kata Hasti.

Awal-awal didiagnosis dokter mengalami Alzheimer, Hasti dan suaminya cukup terkejut. Meskipun sebelumnya telah memperlihatkan gejala-gejala yang memengaruhi kerusakan pada otak tersebut.

"Pertama-tama ya memang seperti kebanyakan orang tualah ya. Hilang kunci itu sudah sering, lupa menaruh barang. Sedikit-sedikit bertanya yang padahal baru dilakukannya sendiri," ucap dia.

Sesuai prediksi dokter, lambat laun gejala yang diperlihatkan oleh ibu bakal lebih parah. Suryati layaknya orang baru di lingkungan keluarga. Bahkan ia lupa nama dari anak Hasti, yang notabene merupakan cucunya sendiri.

"Banyak, tiba-tiba dia tidak tahu. Jadi penyakit ini kita perlu sabar-sabar terus ingatin ibu mana yang boleh tidaknya, ya pokoknya macam-macam ulahnya," sambung Hasti.

Baca Juga: Hari Alzheimer Sedunia, Benarkah Penyakit Alzheimer Berbahaya?

[LIPSUS] Alzheimer Dianggap Asing: Ibu Saya Dibilang Gilahttps://unsplash.com/@rebelvisual

Hal itu juga dirasakan oleh Teta Zahara, yang mengurus pasien Alzheimer hingga tutup usia pada April 2022 lalu di Kabupaten Muara Enim, Sumatra Selatan (Sumsel).

"Masyarakat belum aware (mengetahui) soal Alzheimer. Mereka menganggap ibu saya gila. Alasannya karena ibu saya suka tidak fokus, kerap mengulang pertanyaan dan jawaban. Ini yang membuatnya sulit berkomunikasi dengan orang bahkan keluarga sendiri," kenang Teta Zahara kepada IDN Times, Sabtu (23/9/2022).

Teta menjelaskan, sang ibu pertama kali didiagnosis Alzheimer pada 2019 lalu. Mereka harus bolak-balik dari Muara Enim ke Prabumulih menempuh waktu sekitar satu jam untuk mengobati ibunya.

Awalnya keluarga menganggap sang ibu hanya mengalami sakit saraf biasa. Namun, dari waktu ke waktu perilaku ibunya semakin terasa aneh, mulai kesulitan untuk fokus dan sering lupa hingga melakukan aktivitas yang sama berulang-ulang.

"Awal-awal pasti denial kalau Alzheimer itu berpengaruh nian. Kami merasa lucu dengan tingkah ibuku yang tidak fokus. Namun seiring waktu kalau bisa memilih biarlah sakit fisik dari pada otak," ungkap dia.

Orang kampung menganggap Alzheimer tak berbeda dengan penyakit jiwa. Stigma buruk itu membuat keluarga sempat berkecil hati. Tapi mereka sadar Alzheimer memang cukup langka. Tidak semua orang memahami lantaran sedikitnya literasi dan edukasi yang membahas mengenai penyakit itu.

"Susah ngasih tahu orang-orang kalau Alzheimer tidak bisa disembuhkan. Keluarga malah disuruh bawa berobat ke dukun kata masyarakat," katanya.

Keluarga pertama kali memeriksa perubahan kondisi ibunya ke puskesmas. Saat itu, puskesmas memberikan rujukan untuk memeriksa ke rumah sakit di Kota Prabumulih dengan surat pengantar gejala Alzheimer. Pemeriksaan dilakukan oleh dokter saraf untuk proses MRI, CT Scan, dan cek darah.

"Mengurus pasien Alzheimer ini lelah luar biasa melelahkan. Karena yang diurus ini sehat dan bisa aktivitas biasa, tapi tidak fokus. Kondisi ini yang menguras emosi karena bikin kesel dengan pertanyaan yang berulang," beber dia.

Awalnya kondisi sang ibu sehat dan bugar, bisa beraktivitas seperti biasa. Sebelum didiagnosis terkena Alzheimer, ibunya pernah mengalami stroke dan sembuh pada tahun 2018. Namun dokter menyebut inilah yang menjadi ihwal titik balik kondisi sang ibu.

"Orang yang sembuh stroke, akan mengalami gangguan saraf di otak. Itu menjadi penyebab menurunnya fungsi otak," ujar dia.

Kenyataan bahwa Alzheimer tak bisa disembuhkan membuat keluarga pasrah. Obat-obatan yang rutin dikonsumsi hanya untuk membantu beristirahat.

"Kata dokter, penyebab lain Alzheimer ini karena ada emosi yang tidak bisa diungkapkan, mengendap di pikiran, dan lama-lama otak tidak sanggup menampung. Ibuku memang kalau marah diam dan nangis. Jarang meledak-meledak jadi emosi tidak tersalurkan dengan baik," terangnya.

Selain berkomunikasi dengan dokter, Teta juga tetap mencari referensi literasi dalam memahami Alzheimer. Ia membangun komunikasi dengan komunitas Alzheimer Indonesia (ALZI), berbagi keluh kesah. Sebab mengurus pasien Alzheimer membuat mental dan fisik terkuras.

"Tanpa dukungan moral pasti tidak kuat merawat pasien Alzheimer. Belum lagi Alzheimer bukanlah penyakit yang masuk dalam tanggungan BPJS," jelas dia.

[LIPSUS] Alzheimer Dianggap Asing: Ibu Saya Dibilang GilaFoto hanya ilustrasi. (Freepik/freepik)

Psikolog Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Provinsi Lampung, Retno Riani, mengatakan para ODD sangat membutuhkan perhatian dan bantuan orang-orang terdekat di sekeliling keluarga. Pasalnya, harus diakui merawat ODD membutuhkan tenaga ekstra dan dipastikan bakal merepotkan.

"Bukan cuma sekadar pikun, tapi psikologis mereka juga ikut mengalami perubahan. Jadi harus ekstra sabar, jangan mudah capek mengingatkan," terang Retno.

Dokter Spesialis Saraf Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), dr Herpan SpS, juga menyarankan ODD dirawat oleh anggota keluarganya, bukan dirawat di rumah sakit (RS). ODD perlu diajak berkomunikasi dan menjalankan aktivitas yang bisa menyibukkan dirinya untuk mencegah fungsi kognitif tidak cepat turun.

"Alzheimer ini tak bisa disembuhkan. Kalau terkena maka pasti menurun. Tapi kalau diintervensi lebih awal, maka bisa diperlambat sekian tahun," tandasnya.

Sementara itu Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Jateng, Yunita Dyah Suminar, ketika dihubungi IDN Times melalui sambungan telepon, Jumat (23/9/2022), mengungkapkan ada kecenderungan jumlah lansia yang mengalami Alzheimer terus bertambah walaupun tidak terlalu signifikan. 

Berdasarkan catatan Dinkes Jateng, ada empat kabupaten/kota yang memiliki jumlah penderita Alzheimer tertinggi dengan total 289 orang.

Kota Solo berada di peringkat pertama dengan jumlah penderita alzheimer sebanyak 73 orang. Lalu diikuti Kota Semarang 72 orang, serta Kabupaten Magelang dan Kabupaten Boyolali dengan jumlah penderita masing-masing 28 orang. 

"Karena sekarang di kota-kota banyak gaya masyarakat yang hedonisme dengan memandang semua hal dari materi. Jadinya itu yang memengaruhi kesehatan para lansia akhirnya kena alzheimer. Maka mereka perlu mengelola pikiran dan tubuhnya supaya gak gampang stres," terangnya.

Dokter Spesialis Neuro Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tabanan, dr I Made Domy Astika M Biomed SpN, menegaskan meskipun penyebab Alzheimer belum diketahui secara pasti, tapi ada beberapa faktor yang berhasil diidentifikasi. Faktor tersebut di antaranya faktor genetik yang berperan dalam timbulnya Alzheimer. Biasanya dalam penegakan diagniosis akan ditanyakan riwayat keluarga apakah ada yang mengalami gangguan yang sama atau tidak.

Pola hidup yang tidak sehat, mulai dari jarang berolahraga serta pola makanan yang tidak sehat, dan lingkungan yang penuh tekanan juga menyumbang seseorang mengalami Alzheimer.

2. Demensia Alzheimer disebut bukan penyakit berbahaya

[LIPSUS] Alzheimer Dianggap Asing: Ibu Saya Dibilang Gilailustrasi orangtua membaca (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Demensia Alzheimer dianggap penyakit yang tidak berbahaya, namun sebenarnya sangat berdampak pada penyesalan bagi keluarga. Baru menyesali setelah anggota keluarganya yang ODD meninggal dunia. Koordinator Wilayah ALZI (Alzheimer Indonesia) Medan, Provinsi Sumatra Utara, dr Fasihah Irfani Fitri, menceritakan ada seorang masyarakat yang sering memarahi ibunya sebelum meninggal dunia. Ibunya diminta mandi dan berulang kali disuruh makan, tapi tidak mau. Orang ini menjadi marah melihat ibunya seperti itu. 

"Setelah ibunya meninggal, dia hadir di salah satu edukasi kita. Selesai itu, dia datangi saya dan bercerita. Dia nangis. Cerita, ibunya sudah meninggal tetapi dia baru tahu bahwa di tahun-tahun terakhir mendekati (wafat), ibunya itu terkena demensia. Sekarang dia menyesal," kata Fasihah.

Momen itu menjadi spesial bagi Fasihah sebagai bentuk inspirasi bagi orang yang
telah sadar akan pentingnya Demensia Alzheimer. Ini menunjukkan fakta, bahwa Demensia Alzheimer belum familier di telinga masyarakat dan luput dari perhatian! Menurut Fasihah, penyakit ini merupakan prioritas bagi kesehatan masyarakat. Gak kalah berbahaya dari penyakit lainnya.

"Mungkin masyarakat kalau mendengar stroke dan jantung itu lebih aware (menyadari). Jadi ketika kita edukasi, animonya secara umum belum besar," ucapnya.

Alzheimer butuh penanganan yang khusus. Pemerintah perlu mengimplementasi regulasinya. Sehingga, lansia yang berusia 60 tahun bisa datang langsung ke puskesmas terdekat untuk diedukasi. Selain itu, bukan cuma obat saja yang dibutuhkan. Jika ada pasien yang mengkhawatirkan, maka dapat dirujuk ke RS untuk pemeriksaan lebih lanjut.

"Jadi sebenarnya regulasi sudah ada. Tinggal bagaimana kita mengimplementasikan. Fungsinya bagi saya edukasi menjadi prioritas," jelasnya.

Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) belum menerima laporan kasus Demensia Alzheimer. Jumlahnya, kata Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalsel, dr Diauddin, nyaris tidak ada. Ia menyebutkan, Alzheimer terbilang langka, dan bukan kategori penyakit yang berbahaya.

"Ini bukan penyakit yang aneh. Kasusnya tidak terekam oleh dinas kesehatan. Alasannya karena penyakit ini bukan penyakit yang menular dan tidak berbahaya. Namun tidak salahnya kita mengetahui ciri-ciri penyakit ini, yakni terganggu fungsi motorik otak dalam setiap pergerakan tubuh," katanya kepada IDN Times, Rabu (21/9/2022).

Sementara Pelaksana Tugas (Plt) Kadiskes Bandar Lampung, Desti Megaputri, mengatakan penyakit ini tergolong khusus dan membutuhkan rujukan tingkat lanjut. Para ODD harus ditangani secara serius melalui pengobatan medis.

Meskipun tidak memiliki angka kesakitan tinggi di tengah masyarakat, Pemkot Bandar Lampung tetap concern terhadap penanganan ODD dan telah mengoordinasikan tindak lanjut pengobatan di masing-masing rumah sakit.

"Penyakit Alzheimer membutuhkan penanganan dari dokter spesialis neurologi. Mereka bisa langsung mengunjungi rumah sakit, atau meminta rujukan dari masing-masing puskesmas terdekat," ungkap Desti.

3. Demensia dan Alzheimer berisiko menyerang usia di atas 30 tahun

[LIPSUS] Alzheimer Dianggap Asing: Ibu Saya Dibilang GilaIlustrasi seorang remaja (unsplash.com/Jesús Rodríguez)

Dokter Spesialis Saraf RSUD Provinsi NTB, dr Herpan SpS, menyebutkan prevalensi orang yang terkena demensia di Indonesia cukup tinggi. Pada 2016, prevalensi kasus demensia sebanyak 1,2 juta orang. Pada 2030, prevalensinya diperkirakan mencapai 3 juta orang.

"Usia harapan hidup di Indonesia sekarang 75,5 tahun. Dengan usia harapan hidup yang semakin tinggi, populasi lansia akan meningkat. Maka risiko lansia kena Demensia atau Alzheimer juga akan meningkat," kata dr Herpan kepada IDN Times di Mataram, Sabtu (24/9/2022).

Pada umumnya, orang yang terkena Demensia atau Alzheimer berusia di atas 65 tahun. Angka kejadiannya semakin tinggi seiring bertambahnya usia. Tetapi, kata dr Herpan, penyakit ini juga menyerang usia 30 tahun ke atas. Namun kejadiannya sangat jarang.

"Hanya sekitar 5 sampai 6 persen dari jumlah keseluruhan kasus demensia alzheimer. Biasanya demensia usia muda karena gangguan genetik," jelasnya.

Ketua Majelis Psikologi Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) Provinsi NTB, Drs Syamsul Buhari PSi MKes, menyatakan gaya hidup tidak sehat turut mempercepat seseorang terkena demensia. Selain itu, penggunaan gadget yang tidak terkontrol pada anak-anak juga memengaruhi fungsi otaknya.

"Usia tua memang berpengaruh terhadap demensia. Tetapi penggunaan gadget yang tidak terkontrol juga berpengaruh. Kan sarafnya rusak, mata rusak karena radiasi dari gadget, ke mata dan saraf otak. Memang pengaruhnya tidak langsung sekarang. Tapi dalam jangka panjang," kata Syamsul.

4. Gejala umum Alzheimer

[LIPSUS] Alzheimer Dianggap Asing: Ibu Saya Dibilang Gilailustrasi Alzheimer orang tua (abmcollege.com)

Dokter Spesialis Saraf RSUD Provinsi NTB, dr Herpan SpS, menjelaskan ada dua faktor yang menyebabkan Demensia. Yaitu, faktor yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor yang dapat dimodifikasi. Faktor yang tidak dapat dimodifikasi berkaitan dengan faktor genetik dan bertambahnya usia. Semakin bertambah usia terutama di atas 65 tahun, maka risiko terkena Demensia semakin tinggi. Sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi berkaitan dengan faktor risiko vaskuler. Seperti penyakit kencing manis, darah tinggi, kolesterol tinggi, obesitas, dan perokok.

Dr Herpan menyarankan agar ODD berolahraga dan menjalankan hobi untuk menurunkan risiko penyakit Demensia. Sebab aktivitas yang produktif seperti itu dapat memberikan stimulus pada otak.

Ia menganjurkan dilakukan upaya preventif dan promotif untuk mencegah penyakit demensia. Apabila mengalami gangguan kognitif ringan, harus segera dikenali dan dideteksi sejak awal.

"Kalau cepat dideteksi, maka bisa diperlambat supaya tidak cepat menurun fungsi kognitifnya. Kalau bisa deteksi dini, maka bisa diintervensi lebih awal," ucapnya.

Alzheimer Indonesia (ALZI) sendiri mencatat ada 10 gejala umum Alzheimer. Yaitu:

  1. Mengalami gangguan daya ingat. Misalnya, lupa dengan kejadian yang baru saja terjadi, sering menceritakan dan menanyakan hal yang sama secara berulang-ulang
  2. Kesulitan untuk fokus melakukan sesuatu yang sederhana sekalipun
  3. Kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari. Misalnya sering kesulitan merencanakan dan menyelesaikan tugas sehari-hari
  4. Disorientasi waktu dan tempat. Misalnya, tidak tahu jalan pulang
  5. Susah memahami visuospasial. Misalnya, tidak mengenali wajahnya di cermin, kesulitan mencari jalan keluar yang sebelumnya dilalui
  6. Mengalami gangguan komunikasi. Misalnya, sering bingung dan kesulitan mencari kata yang tepat dalam sebuah percakapan
  7. Meletakkan barang tidak pada tempatnya. Misalnya, menyimpan atau menyembunyikan barang sehingga berdampak poada orang-orang di sekitarnya
  8. Salah membuat keputusan yang meliputi bingung menentukan suatu hal, susah menghitung, berpakaian tidak serasi atau terbalik
  9. Menarik diri dari pergaulan tanpa alasan, tidak memiliki inisiatif untuk beraktivitas dari yang biasa dilakukan, cenderung diam dengan mata menerawang
  10. Perubahan perilaku dan kepribadian. Misalnya, mudah marah dengan hal kecil, mudah tersinggung, mudah kecewa, iritabilitas, depresi, dan putus asa.

5. Tips merawat orang dengan Alzheimer

[LIPSUS] Alzheimer Dianggap Asing: Ibu Saya Dibilang Gilailustrasi seorang pria pelupa (pixabay.com/Tumisu)

Seorang perawat berpengalaman sudah 15 tahun merawat 2 orang mertuanya yang mengalami Alzheimer. Ia adalah Ni Nyoman Ria Konitri. Secara umum, merawat pasien Alzheimer tidak jauh berbeda dengan merawat orangtua. Hanya saja jika pasiennya lansia dan disertai pikun, maka perawat harus lebih ekstra untuk menyiapkan komposisi makanan. Misalnya dengan menambahkan lebih banyak serat sehingga saat Buang Air Besar (BAB) menjadi lancar.

"Kebutuhan dasar itu ya paling makan. Jadi makan kami yang benar-benar menyiapkan. Memang harus ada seratnya biar gampang ke belakang. Nggak boleh terlalu pedas biar nggak diare. Kalau harus mau ngasih susu ya silakan menjaga tidak diare," jelasnya dikutip dari YouTube IDN Times yang berjudul Wawancara Khusus – Kisah Ria Konitri 15 Tahun Rawat Mertua Penderita Alzheimer di Bali.

Dalam pemberian makanan, perawat harus menunggui penderita Alzheimer agar makanan segera dihabiskan. Jika kesulitan maka bisa membantu menyuapinya. Selain itu, menjaga giginya agar tetap bersih untuk mencegah terjadinya infeksi.

Dalam menjaga kebersihan pasien Alzheimer, Koni lebih memilih menggunduli rambut sang mertua untuk menjaga penampilannya tetap bersih. Karena ia sering mendapati mertua laki-lakinya terus menggaruk bagian kepala karena gatal.

"Digundul. Dibersihi. Kumisnya, semua," jelasnya.

Selain persoalan rambut, juga penting untuk menjaga kebersihan kuku. Karena dapat menyebabkan luka jika tidak terawat. Kulit pasien Alzheimer juga membutuhkan pelembap. Mengapa begitu? Karena dengan kondisi kulit yang kering, akan terasa gatal sehingga penderita Alzheimer cenderung menggaruknya sampai terluka, yang kemudian berakibat pada risiko infeksi.

Kebersihan lingkungan tempat tinggal, kata Koni, juga sangat penting. Terutama kamar harus cukup sirkulasi udaranya. Lalu hal yang perlu diperhatikan adalah tidak menempelkan tempat tidur pada tembok kamar agar tidak kesulitan membersihkan kotoran yang menempel. Posisi tempat tidur di tengah-tengah ruang kamar adalah saran terbaik agar memudahkan dalam melakukan pembersihan.

"Kalau memang jendela nggak ada, berarti pintu kalau siang harus dibuka," sarannya.

Selain itu, disarankan tidak meletakkan barang-barang di bawah tempat tidur karena posisi tersebut merupakan pusat kotoran. Upayakan di dalam kamar dikosongkan dari barang-barang yang tidak terpakai.

Penulis: Wayan Antara, Tama Wiguna, Indah Permatasari, Sri Wibisono, Muhammad Nasir, Muhammad Rangga Erfizal, Fariz Fardianto, Yogie Fadila, Wira Sanjiwani, Ayu Afria. 

Topik:

  • Irma Yudistirani
  • Ni Ketut Sudiani

Berita Terkini Lainnya