- Mendesak Polda Bali segera membebaskan seluruh peserta aksi yang ditangkap secara profesional dan sesuai ketentuan HAM dan perundang-undangan yang berlaku, serta Kapolda Bali melakukan evaluasi menyeluruh atas penanganan aksi dan pemeriksaan terhadap personel yang melakukan pelanggaran
- Mendesak Gubernur, DPRD, dan DPD Bali untuk mendesak kepolisian agar menjamin hak kebebasan menyampaikan pendapat dari setiap warga negara, dan mendesak Polda Bali agar segera membebaskan seluruh peserta aksi yang ditangkap serta memberikan pemulihan atas dampak yang dirasakan oleh masyarakat dari kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian
- Mendesak Komnas HAM, KPAI, Komnas Perempuan dan Ombudsman RI agar melakukan pemeriksaan dan pemantauan terhadap tindakan kepolisian, serta ikut mendesak Polda Bali membebaskan seluruh peserta aksi yang ditangkap
- Meminta masyarakat luas saling bersolidaritas dan mengawasi tindakan kepolisian dalam menangani jalannya hak penyampaian pendapat di muka umum
- Meminta masyarakat luas terus mendesak Pemerintah dan DPR bertanggungjawab terhadap situasi dengan mendengar tuntutan rakyat, dan menghentikan segala bentuk sikap antikritik dan kebijakan yang menyengsarakan rakyat.
Malam Mencekam di Niti Mandala, Teriakan Minta Tolong Menggema

Denpasar, IDN Times - Malam kian mencekam pada Sabtu, 30 Agustus 2025 di Lapangan Niti Mandala Renon, Kota Denpasar. Aparat kepolisian menembakkan gas air mata, water canon, memukul mundur sekelompok orang, sesekali sebagian dari mereka melemparkan batu dan kembang api hingga tengah malam. Di tengah saling balas gas air mata dan kembang api itu, terdengar suara laki-laki meneriakkan “tangkap, tangkap, tangkap.” Suara itu terdengar sekitar pukul 21.53 Wita di tengah gelapnya langit Denpasar.
Teriakan itu membuat sekelompok laki-laki tegap berbaju biasa (seperti warga sipil) berlarian mengejar massa. Massa yang berhamburan karena dilempar gas air mata, berlarian tak tentu arah. Sebagian dari mereka ikut berlari semakin kencang setelah suara tangkap itu. Teriakan minta tolong menggema dari berbagai arah, mereka yang tak kuat lagi berlari ditangkap oleh sekelompok laki-laki itu.
Sebelumnya, berdasarkan rilis dari Koalisi Advokasi Bali untuk Demokrasi pada 30 Agustus 2025, sekitar 56 orang ditangkap dalam aksi Bali Tidak Diam. Aksi itu dilakukan di depan Markas Kepolisian Daerah (Polda) Bali, tujuah di antaranya merupakan anak atau pelajar. Lalu Instagram resmi LBH Bali pada Minggu, 31 Agustus 2025 hingga pukul 02.53 Wita, ada 132 orang yang masih ditahan di Polda Bal, tujuh anak sudah dibebaskan. Setidaknya ada 10 orang mengalami luka-luka akibat tindakan kekerasan aparat.
1. Penangkapan massa aksi di Polda Bali sekitar pukul 16.00 Wita

Massa aksi ditangkap secara acak oleh personel Polda Bali sekitar pukul 16.00 Wita. Kejadian ini tepat setelah pembacaan tuntutan aksi dan massa akan membubarkan diri. Polisi masih menyisir lokasi aksi sekitar pukul 19.00 Wita untuk mencari peserta aksi. Peserta aksi di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bali, sebut saja namanya Jingga, melihat penangkapan hingga kekerasan fisik, dan sejumlah orang mengalami luka-luka. Polisi menembakkan gas air mata ke arah massa aksi, posko medis, dan ke arah sekolah. Tim medis ditangkap, ambulans dan satu kendaraan ditahan, bantuan hukum kepada korban yang ditangkap dihalang-halangi.
“Cuma di awal itu polisi belum ada culik-culik. Terakhir tadi kabur, aku gak tahu itu gas air mata atau bukan pokoknya asap, di belakang mulai intel maju dari belakang culikin satu-satu,” kata Jingga saat ditemui IDN Times di minimarket daerah Jalan Raya Puputan sekitar pukul 19.00 Wita Sabtu kemarin, 30 Agustus 2025.
2. Jingga mengaku diintimidasi aparat, dan dipaksa menunjukkan KTP

Jingga saat sedang duduk dan menenangkan diri bersama massa aksi lainnya, Ia diintimidasi oleh aparat. Ia mengaku bentuk intimidasi yang dialaminya menyinggung rasial.
“Orang Bali bukan, orang Bali bukan? Orang Bali itu gak mau ricuh-ricuh kayak gini. Padahal saya sendiri orang Bali, dan mengerti bahwa hak-hak warga sedang dirampas,” ujarnya.
Jingga juga melihat orang terbaring lemas di parkiran minimarket. Orang itu terluka setelah berusaha kabur dari kejaran aparat. Jingga menyayangkan tindakan aparat, yang dipaksa menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP).
“Aku gak mau tunjukkan KTP-ku, mereka (aparat) akhirnya marah-marah dan aku pergi sambi jalan sama yang lain,” tuturnya.
Ia berharap aksi berikutnya dapat berlangsung lebih aman, dan aparat memerhatikan warga dengan tidak melemparkan gas air mata secara membabi buta. Bunga juga menyayangkan kenaikan anggaran Polri tahun 2026 menjadi sebesar Rp145,7 miliar. Baginya, anggaran besar itu lebih layak untuk tenaga pendidik maupun guru honorer yang diupah rendah.
“Lebih baik anggarannya ke pendidikan dan daerah-daerah terpencil.”
Sementara itu, Koalisi Advokasi Bali menegaskan kekerasan pada massa aksi adalah pelanggaran terhadap hak kebebasan berpendapat yang dijamin Pasal 28E ayat 3 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Kovenan Hak Sipil dan Politik. Ketentuan itu telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, hingga Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Sementara, tindakan penangkapan sewenang-wenang dengan dalil pengamanan adalah pelanggaran terhadap Hukum Acara Pidana dan menyalahi Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM. Selanjutnya terdapat kewajiban kepolisian untuk memberikan perlindungan keamanan kepada massa aksi, serta menjaga kebebasan penyampaian pendapat sebagaimana diatur Perkap Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum.
3. Ada lima poin pernyataan sikap Koalisi Advokasi Bali untuk Demokrasi Bali

Koalisi Advokasi Bali untuk Demokrasi Bali juga menyatakan, penghalang-halangan pemberian akses bantuan hukum yang dilakukan kepolisian adalah pelanggaran UU Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, UU Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP), dan UU Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Ada lima poin pernyataan sikap dari Koalisi Advokasi Bali untuk Demokrasi Bali, di antaranya:
4. Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Bali dan Gubernur Bali menyatakan massa aksi anarkis tersebut sengaja didatangkan dari luar Bali

Menanggapi massa aksi di dua titik Kota Denpasar, pihak Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali mengumpulkan para pemuka agama se-Bali, seperti majelis umat beragama dari Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Pertemuan itu juga dihadiri oleh Pangdam IX/Udayana, Kajati Bali, Ketua DPRD Provinsi Bali, Danlanal, Danlanud, Danrem, Majelis Desa Adat Provinsi Bali, dan majelis desa adat se-Kabupaten/Kota di Bali. Pertemuan yang berlangsung di Gedung Kertha Sabha, Kota Denpasar itu menghasilkan enam poin yang dituliskan sebagai imbauan untuk masyarakat Bali, pada Minggu (31/8/2025).
Mengutip rilis imbauan dari Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Bali, poin pertama tertulis:
"Berdasarkan informasi bahwa massa yang melakukan aksi demo anarkis di Tanah Gumi Bali sengaja didatangkan dari luar Bali. Kami menolak segala bentuk demo anarkis di Tanah Gumi Bali."
Poin pertama itu juga ditegaskan oleh Gubernur Bali, Wayan Koster, dalam keterangan resminya. Koster mengatakan, pihaknya langsung berkoordinasi dengan Forkopimda kemarin malam, 30 Agustus 2025, saat aksi berlangsung di beberapa titik.
“Kami juga menerima perwakilan peserta demo, termasuk driver ojol dan BEM, yang telah berkomitmen tidak melanjutkan aksi. Karena itu, aksi anarkis yang terjadi diduga dilakukan oleh pihak luar yang datang ke Bali,” kata Koster dalam rilis.
Koster juga mengumumkan pada Senin, 1 September 2025, akan dilaksanakan apel pecalang di Lapangan Niti Mandala. Kata Koster, apel itu adalah bentuk kesiapan menjaga keamanan daerah. Ia berharap adanya dukungan dari pemuka agama dan pecalang untuk menjaga keamanan di Bali.
“Kami berharap situasi di Bali segera kondusif, meski di daerah lain masih terjadi demonstrasi. Keamanan dan ketenangan Bali adalah tanggung jawab kita bersama,” katanya.
5. Polda Bali mengamankan 138 orang dalam aksi

Sementara itu Kabid Humas Polda Bali, Kombes Pol Ariasandy, menyatakan pihaknya membubarkan paksa aksi karena dinilai anarkis, sangat membahayakan atau mengancam petugas, warga sekitar, dan merusak fasilitas umum dengan cara melempari dengan batu, kembang api, hingga alat membahayakan lainnya. Ia menyebutkan, pembubaran sekelompok orang di sekitar Lapangan Niti Mandala itu berlangsung dari pukul 11.00 Wita tanggal 30 Agustus 2025 hingga subuh sekitar pukul 05.00 Wita tanggal 31 Agustus 2025.
"Dari kejadian tersebut, Polda Bali mengamankan 138 orang yang dianggap membahayakan saat aksi demo berlangsung. Dari hasil investigasi kepolisian, mayoritas yang diamankan adalah warga pendatang luar Bali. Kami tidak melarang orang melakukan unjuk rasa karena itu hak semua warga negara. Namun dalam pelaksanaan semua ada aturan, tidak boleh berbuat anarkis yang merugikan orang lain maupun diri sendiri," kata Ariasandy dalam rilisnya.