Tahun 2022, Kasus Kekerasan Psikis Anak dan Perempuan Mendominasi

Anak yang mengalami kekerasan seksual bisa terkena depresi

Badung, IDN Times – Kepala Unit Pelayanan Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi Bali, Luh Hety Vironika mengungkap, kekerasan psikis pada anak dan perempuan mendominasi kasus-kasus kekerasan di Bali. 

“Susah-susah gampang menangani kasus-kasus kekerasan itu karena yang akan berdampak panjang. Dan ini yang terapinya cukup lama,” ungkap Hety, dalam Lokakarya bersama Grab Indonesia dan Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak Provinsi Bali pada Jumat (15/9/2023).

Baca Juga: Anak 7 Tahun di Buleleng Diperkosa Kakek, Paman dan Tetangga

1. Hingga September 2023, kasus kekerasan psikis mendominasi di Bali

Tahun 2022, Kasus Kekerasan Psikis Anak dan Perempuan MendominasiIlustrasi kekerasan anak (IDN Times/Sukma Shakti)

Luh Hety Vironika juga menjabarkan data kasus kekerasan di Bali. Pada 2021, ada 439 kasus kekerasan yang dilaporkan. Rinciannya, 105 kasus kekerasan fisik, 155 kasus kekerasan psikis, dan 83 kasus kekerasan seksual.

Tahun 2022, angkanya meningkat dengan total 516 kasus kekerasan yang dilaporkan. Rinciannya, 108 kasus kekerasan fisik, 176 kasus kekerasan psikis, dan 116 kasus kekerasan seksual.

"Ini top 3, paling banyak di tahun 2022 adalah kekerasan psikis," imbuhnya. 

Sedangkan per September 2023 kasus kekerasan yang dilaporkan sebanyak 185 kasus terdiri dari 80 kasus kekerasan fisik, 83 kasus kekerasan psikis, dan 45 kasus kekerasan seksual.

2. Anak yang mengalami kekerasan seksual bisa terkena penurunan mood, depresi, hingga keinginan untuk mengakhiri hidup

Tahun 2022, Kasus Kekerasan Psikis Anak dan Perempuan MendominasiIlustrasi kekerasan seksual terhadap perempuan (IDN Times/Arief Rahmat)

Psikolog Klinis dari UPTD PPA Provinsi Bali, Ni Ketut Mila Puspitasari menyampaikan data kekerasan seksual di Bali lebih spesifik. Pada 2020, kata dia, ada 17 kasus kekerasan seksual pada anak, dan 6 kasus kekerasan seksual pada perempuan.

Tahun 2021, angkanya meningkat menjadi 54 kasus kekerasan anak dan 15 kasus kekerasan perempuan. Tahun 2022, sebanyak 87 kasus kekerasan anak, dan 29 kasus kekerasan seksual.

Sementara itu, per September 2023, kekerasan anak sebanyak 37 kasus, dan pada perempuan sebanyak 8 kasus.

“Anak-anak belum paham kekerasan seksual. Yang paling banyak itu memang kasus kekerasan seksual kepada anak. Itu yang banyak terjadi,” ungkapnya.

Dampak kekerasan seksual pada anak, kata dia, bisa sangat berbahaya. Anak-anak bisa terkena penurunan mood, depresi, hingga muncul keinginan untuk mengakhiri hidup. Dalam seperti itu, kata dia, para korban sangat membutuhkan pendampingan psikologi. 

Selain itu, orangtua korban pun perlu mendapatkan konseling agar bisa mendampingi anak-anak mereka yang sudah terkena kekerasan seksual. Pemulihan pascatrauma, ungkap Ni Ketut Mila Puspitasari, juga memakan waktu yang lama.

"Karena gejalanya akan berulang, muncul - hilang. Gangguan ini memerlukan terapi selama beberapa bulan untuk memulihkan kembali kondisi psikologis sang anak," kata dia.

3. Kekerasan pada anak juga bisa dipicu permasalahan dalam keluarga

Tahun 2022, Kasus Kekerasan Psikis Anak dan Perempuan MendominasiIlustrasi tindak kekerasan anak. (IDN Times/Sukma Shakti)

Luh Hety Vironika juga membeberkan sejumlah penanganan kasus kekerasan anak. Salah satunya, anak yang menjadi korban Tindak Pidana Perdagaangan Orang (TPPO) di Jalan Bypass Ngurah Rai.

Salah satu korban, anak berusia 12 tahun dari Kabupaten Karangasem, memiliki latar belakang keluarga yang cuek. Hal ini berdasarkan penelusuran petugas terhadap latar belakang keluarga korban. 

Luh Hety Vironika mengungkap, korban sudah terbiasa membiayai hidupnya sendiri sejak kecil. "Kepada korban, UPTD PPA Provinsi Bali telah melakukan konseling kepada korban, Kemudian menitipkan ke rumah aman, dan menyekolahkannya secara kejar paket," jelasnya.

Kasus lain, imbuhnya, mengenai seorang anak yang menjadi korban kekerasan orangtuanya di Bali. Dalam kasus itu, sang ibu kandung sudah berstatus tersangka dan menjalani proses hukum. Ketika sang ibu bebas, sang anak meminta perlindungan UPTD PPA Provinsi Bali karena tidak mau bertemu dengan orangtuanya.

Kondisi yang sama juga banyak ia temui pada anak korban perceraian, yang tidak disadari fenomena ini telah terjadi.

“Pemerintah melindungi perempuan, dan anak sebagai kelompok yang rentan.  Saat ini konsennya pemerintah adalah perempuan dan anak,” ungkapnya.

Baca Juga: Petugas Imigrasi Ngurah Rai Terlibat Jual Beli Ginjal

Topik:

  • Ita Lismawati F Malau

Berita Terkini Lainnya