Maestro Suling Gus Teja, Menebar Karma Baik Tanpa Menerima Royalti

Gianyar, IDN Times - Tumbuh bersama musik tradisional Bali di Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Agus Teja Sentosa beranjak dewasa sebagai pemain suling yang mendunia. Alat musik tiup tradisional, suling, telah menjadi sahabat lelaki yang karib dengan sapaan Gus Teja ini. Gus Teja mengatakan, sejak kecil Ia bergabung dalam sebuah grup gamelan di Desa Peliatan sebagai pemain suling.
“Jadi sebelum bergabung dengan grup gamelan itu pun saya sudah bisa sedikit-sedikit ya bermain suling,” kata Gus Teja kepada IDN Times Senin, 18 Agustus 2025.
Geliat seniman karawitan di Peliatan yang begitu pesat, membuat Gus Teja kecil menyaksikan berbagai pertunjukan gamelan dan tarian setiap malam. Selain menonton, Gus Teja kecil belajar dari para pemain suling yang sudah tua dalam memainkan suling. Selain memainkan suling, sejak kecil Ia telah membuat sulingnya sendiri. Tontonan adalah tuntunan. Begitu Gus Teja melihat dan belajar dari sekitarnya.
Bagaimana sepak terjang perjalanan bermusik Gus Teja, dan apa tanggapannya tentang isu royalti yang kembali menguat? Berikut kisah selengkapnya.
Selain suling, Gus Teja bereksperimen membuat alat musik lainnya semasa belia

Mengasah bakatnya sejak usia muda, Gus Teja bersemangat membuat alat musiknya sendiri. Bahkan sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 3 Denpasar, banyak mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Bali yang membeli suling padanya. Ia juga membuat alat musik lainnya berbahan dasar bambu.
Ia menguasai cara memainkan alat musik tradisional Bali, kunci dasar gitar, membuat alat musik sendiri, hingga membentuk grup band musik sejak SMA. Semua Gus Teja lakoni dengan penuh suka cita. Baginya, semua pengalaman itu menuntunnya ke jenjang karier musisi profesional.
“Kemudian tahun 2008 saya membentuk sebuah band Gus Teja World Music, yang kesemuanya alat-alat musik itu (yang dibuat sendiri) yang kami pakai,” tuturnya.
Alat musik buatan sendiri itu terbuat dari bambu seperti suling, tingklik, dan sebagainya. Hanya gitar saja yang bukan buatannya. Alunan khas dan meneduhkan dari alat musik berbahan dasar bambu itu hadir dalam album perdananya Rhythm of Paradise. Album itu terdiri dari delapan lagu, satu di antaranya bertajuk Morning Happiness yang hit hingga ke mancanegara.
“Album Rhythm of Paradise di dalamnya itu ada lagu Morning Happiness yang cukup populer ya di Bali karena banyak hotel dan spa yang memutarnya itu,” ucapnya.
Meskipun telah mengurus hak cipta atas karya-karyanya, Gus Teja kerap menemukan pelanggaran

Ketika IDN Times menanyakan isu royalti di kalangan musisi, Gus Teja berkata, jauh sebelum isu ini kembali viral, Ia lebih dulu bersuara lantang.
“Sebenarnya sebelum isu ini muncul, saya sudah wanti-wanti, jauh-jauh hari sebelum isu ini muncul bertahun-tahun yang lalu. Saya sudah pernah mengalami bagaimana karya kita (Gus Teja World Music) itu dipakai oleh orang lain tanpa izin,” kata Gus Teja.
Karya-karyanya kerap diputar tanpa izin, bahkan oleh sebuah merek fesyen ternama di dunia. Kasus itu terjadi sekitar enam tahun lalu, tapi Gus Teja tak ingin membahasnya lebih lanjut, karena kasus ini telah selesai. Namun, dari kasus itu, semua sertifikat hak cipta yang dimilikinya, tak menutup berbagai pelanggaran hak cipta atas karyanya.
“Walaupun sertifikat hak cipta sudah saya pegang ada juga pelanggaran-pelanggaran masih terjadi.”
Gus Teja memandang, tak banyak yang dapat diharapkan atas regulasi yang mengatur tentang masalah royalti pemutaran lagu musisi. Beberapa kali, Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) mengajaknya bergabung. Namun, Ia mendengar dari beberapa rekan musisi di Jakarta atas sistem yang tak berjalan baikm dan tidak adil untuk pencipta lagu. Sehingga Gus Teja memutuskan tidak bergabung.
Ia bercerita, ada banyak usaha pariwisata yang memutar karyanya. Termasuk Airport Ngurah Rai, hingga sejumlah rumah sakit di Bali. Namun, Gus Teja memilih legowo karena Ia meyakini adanya karma baik, dan rezeki telah ada yang mengatur.
“Jalan menuju good karma (karma baik) saya bilang. Karena saya tidak bisa berharap banyak dari pemerintah sebenarnya. Dari Pemerintah Indonesia, saya bilang ya karena ini terkait ke pusat sebenarnya,” jelas musisi kelahiran tahun 1982 ini.
Karya dan prinsip hidup yang meneduhkan, bukan berarti tanpa ketegasan, Gus Teja mendesak sistem yang adil

Gus Teja membandingkan testimoni rekannya dari luar negeri. Temannya pernah berkata, jika musiknya dimainkan di banyak hotel dan restoran luar negeri, Gus Teja tak perlu bekerja lagi. Meskipun demikian, satu yang tetap diyakini Gus Teja adalah jalan menuju karma baik. Bukan berarti di balik karya dan prinsip hidupnya yang meneduhkan, Gus Teja tak menggugat.
Ia tegas mengatakan sistem royalti ini masih tak adil bagi musisi dan pihak terkait lainnya. Sistem tak adil ini misalnya kejelasan regulasi, transparansi, penagihan, dan distribusi royalti ke pencipta lagu.
“Saya rasa tidak ya (tidak adil), karena ketika dulu saya diajak rapat, saya sudah menduga ini hanya omong kosong saja gitu. Jadi, hasil dari sistem yang mereka jelaskan, itu menurut saya sangat tidak adil banget,” ujarnya.
Kasus Ari Lasso jadi gambaran nyata atas masalah distribusi royalti. Ari Lasso mengeluhkan salah transfer royalti. Seharusnya Ia menerima Rp60 juta, tapi hanya dapat Rp700 ribu. Setelah keluhannya viral, Wahana Musik Indonesia (WAMI) sebagai penyalur royalti dari LMKN mengaku ada human error dalam sistem distribusi. Memilih tak bergabung LMKN, berimbas pada nasib Gus Teja yang tidak menerima royalti atas karya-karyanya.
“Dari apa yang hotel putar, restoran putar, spa di Bali itu banyak yang putar, sama sekali (tidak menerima royalti) ya. Selama puluhan tahun saya belum pernah menerima royalti sepeser pun. Karena ya memang saya tidak bergabung ke LMK,” kata dia.
Kecewa sudah pasti, tapi Gus Teja pilih untuk merelakan itu semua, dan berjalan apa adanya. Ia hanya berharap ramainya isu royalti jadi pembelajaran semua pihak. Mulai dari regulator, musisi, hingga pendengar.
Tak menerima royalti, Gus Teja harap pemilik usaha membuka hati dengan mengundang musisi

Selama puluhan tahun berkarya, tak sepeser pun royalti diterimanya. Namun, Gus Teja menekankan kepada seluruh pemilik hotel, restoran, spa, dan siapa pun yang memutar lagunya agar membuka hati. Maksudnya, dengan mengundang Gus Teja pentas.
“Jadi kita bisa bertumbuh bersama. Jangan hanya memutar musik saya, tetapi ketika ada event (acara) yang diundang malah orang lain. Atau mungkin artis-artis internasional ya,” terang Gus Teja sabar.
Alih-alih meributkan isu royalti, Gus Teja memberikan jalan tengah bagi musisi sepertinya yang tidak mendaftar LMKN, tapi karyanya sering diputar tempat usaha. Yakni mengundang musisi tampil langsung. Undangan tampil langsung ini akan berdampak baik terhadap hubungan profesional antara musisi dengan pemilik usaha.
“Karena di sini bisa terjalin kerja sama, atau kita bisa bertumbuh bersama. Jadi secara etika, saya kira itu lebih baik,” kata dia.
Benahi sistem dan orang yang terlibat dalam aturan royalti, gak boleh ada dusta

Gus Teja menegaskan, karut-marut sistem royalti ini harus dibenahi dari sistemnya. Jika sistemnya tidak benar, artinya pembuat aturan dan orang di dalamnya harus berbenah. Termasuk membenahi orang-orang di pusat. Ia menyarankan agar LMKN menaruh orang-orang yang tepat dan profesional di bidangnya. Sehingga para pihak ini dapat berembuk dengan musisi, pengusaha, dan lainnya. Menurutnya, hal itu dapat didahulukan.
“Saya kira itu yang perlu dilakukan. Jadi gak asal keluarin aturan, dan semua terkejut hingga akhirnya menjadi polemik seperti ini,” katanya.
Transparansi menjadi kata kunci terakhir dari Gus Teja untuk menegaskan sarannya atas sengkarut royalti ini. Sistem pengumpulan dana royalti, hingga distribusi dan pembagiannya harus transparan.
“Gak boleh sembunyi-sembunyi. Jadi, gak boleh ada dusta. Semua orang tahu, masyarakat juga wajib tahu.”