TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Wajib Diingat! Susu Kental Manis Adalah Toping Makanan, Bukan Minuman

Sampai sekarang masih ada yang beranggapan SKM ini susu

IDN Times/Ayu Afria

Denpasar, IDN Times - SKM atau Susu Kental Manis selama ini dikenal sebagai minuman bernutrisi yang aman untuk dikonsumsi oleh seluruh anggota keluarga. Namun pada tahun 2018 lalu, masyarakat Indonesia merasa ditipu oleh sejumlah iklan kalau SKM mengandung susu. Masyarakat justru menilai SKM tidak mengandung susu murni.

Namun nyatanya, 20 persen dari kandungan yang ada di SKM adalah susu. Hal dijelaskan dalam akun Twitter-nya Kemenkes.

“#Tahukah kami jika SKM dibuat dengan cara menguapkan sebagian air dari susu segar (50 persen) dan ditambah dengan gula 45-50 persen,” tulis @KemenkesRI tanggal 30 April 2018 lalu.

Dalam unggahan kemenkes lainnya di Twitter, tertera SKM mengandung KH dan gula yang jauh lebih tinggi serta protein yang jauh lebih rendah dari susu bubuk full cream.

“Meskipun SKM jadi campuran terlezat untuk makanan manis, tapi SKM tidak cocok untuk anak di bawah usia 3 tahun yang masih membutuhkan lemah dan protein tinggi untuk pertumbuhan dan perkembangan,” lanjut @KemenkesRI.

Pendapat ini justru berbeda dengan  YAICI (Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI). Menurut Ketua YAICI, Arif Hidayat, SKM tidak cocok dikatakan sebagai susu. Karena bagaimanapun itu adalah gula yang beraroma susu. Bahkan SKM sendiri sesungguhnya tidak layak sebagai minuman, hanya sebagai toping makanan saja. Seperti perasa untuk martabak dan toping kue lainnya.

“Sangat tidak cocok sebenarnya,sebenarnya itu gula beraroma susu. Jadi tidak lebih dari gula, karena kandungan gula di SKM itu dalam satu gelas itu kandungan gulanya sekitar 50 persen,” terangnya, Sabtu (7/12) lalu di Renon.

Kondisi ini banyak tidak disadari oleh masyarakat yang sudah termakan iklan–iklan SKM sebelumnya. Hingga saat ini minat masyarakat terhadap SKM ini masih tinggi.

“Cuma yang kami harapkan ada perubahan. Yang tadi dikonsumsi secara langsung sebagai cairan minuman. Ya sekarang cukuplah digunakan sebagai toping gitu. Jangan lagi diberikan kepada anak dengan tumbuh kembang, balita atau bayi,” terangnya.

1. Iklan SKM yang keliru tertanam kuat dalam ingatan masyarakat

IDN Times/Ayu Afria

Arif Hidayat menyampaikan, bahwa tayangan iklan ada perubahan semenjak pertengahan akhir tahun 2018. Perubahan tersebut tidak menampilkan secara terang-terangan untuk diminum.

“Yang sebelumnya iklan mereka dari 100 tahun yang lalu selalu menampilkan bayi kecil yang didampingi dengan satu gelas susu, seperti itu. Dan iklannya juga terang-terangan diminum oleh satu keluarga. Bahkan ditegaskan bahwa diminumnya dua kali sehari, minimal yang bergizi katanya,” kata Arif.

Hal itulah yang memengaruhi masyarakat dan menganggap SKM adalah susu. Sementara iklan SKM saat ini mulai ada perubahan dengan menampilkan sebagai toping. Tetapi ujung-ujungnya tetap segelas susu.

“Jadi intinya produsen tetap mempertahankan itu adalah minuman yang bisa diminum langsung. Padahal tidak. Itu sebagai toping makanan dan penambah rasa minuman sebenarnya,” jelasnya.

Terkait tayangan iklan ini, pihak YAICI sudah berusaha mengontak KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) dan BPOM (Badan Pengawasan Obat dan Makanan). Hingga akhirnya keluar perkab BPOM.

“Sudah agar KPI segera menghentikan tayangan-tayangan yang ada,” ujar Arif.

Baca Juga: Mengapa 'Susu Kental Manis' bukan Susu? Ini Dia Jawabannya

2. Orangtua cenderung lebih percaya branding kandungan susu dalam SKM. Padahal mengonsumsi SKM bisa menyebabkan obesitas dan lainnya

innovatemedtec.com

YAICI kemudian membeberkan kasus konsumsi SKM yang keliru. Selama ini menemukan banyak penderita kurang gizi dan gizi buruk adalah mereka yang mengonsumsi SKM. Dampaknya adalah kegemukan atau obesitas, caries, sakit gigi, hingga diabetes. Meski tidak menyebutkan jumlah pasti, angka dampak dari kesalahan mengonsumsi ini semakin tahun semakin tinggi.

“Jadi kami cari relevansinya gizi buruk dan SKM bagaimana. Ternyata banyak anak-anak yang gizi buruk itu ternyata mengonsumsi SKM. Karena gulanya tinggi,” jelas Arif.

Pihaknya membuat perbandingan sederhana antara mengonsumsi SKM produk lain berupa sirup. Orangtua cenderung mengonsumsi SKM dua kali sehari daripada sirup yang tidak menggunakan label susu. Orangtua lebih memilih branding SKM karena hanya mempertimbangkan kata susunya saja. Anggapan yang keliru itu kemudian menjadi kebiasaan, dengan  memberikan SKM kepada anak secara sembarangan.

“Produk lain kan jujur, mengatakan kandungan gula tinggi dengan sirup. Sekarang kebohongan publik dan penyesatan informasi kan adanya di SKM. Padahal kandungan susunya tidak lebih dari 5 persen. Kandungan gulanya 50 persen. Sehingga seharusnya Gula Kental Manis. Sekarang produsen berani gak (Menyebut produknya sebagai Gula Kental Manis)? Gak berani,” jelasnya.

Sementara itu Wakil Ketua IV Pimpinan Pusat Muslimat NU, Aniroh Slamet Yusuf, mengatakan selama ini terjadi salah perspesi di masyarakat terkait penggunaan SKM.

“Konsumsi SKM yang salah telah menimbulkan korban gizi buruk di Batam dan Kendari”, terang Aniroh pada acara "Edukasi Gizi untuk Menyikapi Iklan Pangan Menyesatkan dalam Upaya Melindungi & Mewujudkan Generasi Sehat, Indonesia Unggul" yang diselenggarakan PP Muslimat bekerja sama dengan YAICI.

3. Iklan SKM harus berubah. Tampilkan tayangan ajakan, bahwa SKM tidak dikonsumsi sebagai minuman yang diseduh dengan air seperti yang selama ini terus berlangsung

IDN Times/ Ayu Afria

Terkait persepsi masyarakat terhadap SKM, YAICI pada tahun 2018 dan 2019 telah melakukan penelitian pada 12 kabupaten dan kota di enam Provinsi. Yaitu Kepulauan Riau, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Aceh, Sulawesi Utara, dan Kalimantan Tengah. Salah satu temuan penting dari penelitian ini adalah tingginya persentasi responden yang menganggap, bahwa SKM adalah susu yang bisa dikonsumsi oleh balita mereka.

Selain itu penelitian 2018 menemukan empat kasus gizi buruk pada anak rentang usia 0–23 bulan yang disebabkan oleh konsumsi SKM sejak bayi di Batam, Kendari dan Sulawesi Selatan. Satu orang di antaranya meninggal pada usia 10 bulan. Diketahui, orangtua tersebut memberikan SKM untuk anak karena beranggapan produk tersebut adalah susu yang dapat memenuhi gizi anak, harga yang ekonomis, dan kemasan iklan yang menampilkan SKM sebagai minuman susu.

Untuk mengubah mindset masyarakat terhadap SKM ini, YAICI menggandeng beberapa pihak untuk terlibat dalam sosialisasi. Di antaranya bekerja sama dengan para ibu-ibu muslimat. Pihaknya berharap pengetahuan ini nantinya dapat disebarluaskan di kalangan masyarakat sehingga tidak lagi salah mengonsumsi SKM.

“Kami mengimbau pemerintah untuk melarang pemberian SKM bagi anak di bawah 3 tahun, bukan bayi di bawah 12 bulan seperti sekarang ini. Karena anak di bawah 3 tahun rentan terhadap konsumsi gula berlebih sebagaimana yang selama ini direkomendasikan oleh Ikatan Dokter Indonesia,” ujar Arif.

Terlebih kepada pihak pemerintah dan produsen diharapkan agar segera meluruskan persepsi yang telah dibangun bertahun-tahun, bahwa SKM adalah sebagai toping bukan minuman.

“Kami juga mendesak pemerintah meningkatkan pengawasan terhadap penerapan peraturan Kepala BPOM nomor 31 tahun 2018, agar produsen tidak mengiklankan SKM sebagai minuman berenergi yang dapat dikonsumsi secara tunggal. SKM tidak boleh dikonsumsi sebagai minuman yang diseduh dengan air seperti yang selama ini terus berlangsung,” lanjutnya.

Berita Terkini Lainnya