Mengenal Arak Salak Dhadi San dari Bali, Rasanya Segar dan Fruity
Bisnis ini menyerap salak dari petani saat harganya anjlok
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Karangasem, IDN Times - Desa Sibetan, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem termasuk daerah penghasil salak bali. Namun ketika panen raya, harga salak bali di petani justru anjlok hingga mencapai Rp1000 per kilogram. Bahkan terkadang ada petani yang membiarkan saja buah salaknya tidak dipanen. Karena biaya untuk panen lebih besar dibandingkan harga jualnya.
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Karangasem sendiri mendorong agar petani mau berinovasi untuk membuat produk turunan dari salak. Entah itu berupa minuman atau makanan untuk mendongkrak harga jual, serta menambah penghasilan para petani.
Seorang warga Desa Ulakan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, I Wayan Sudartama, kemudian berinovasi. Ia membuat arak dari bahan dasar salak. Setelah sukses dipasarkan secara lokal, Sudartama mulai memasarkan arak salak dengan merek Dhadi San ke pasar modern dan hotel.
Baca Juga: Cara Membedakan Arak Gula dan Arak Karangasem Menurut Penikmat di Bali
1. Pembuatan arak awalnya untuk menyerap panen raya salak
Ide pembuatan arak salak ini muncul sekitar lima tahun lalu. Awalnya, Sudartama berniat untuk menyerap salak petani ketika panen raya. Sebab harga jualnya bisa mencapai Rp1000 per kilogram.
"Dengan menyerap produk salak saat panen raya sebagai bahan baku arak, harga diharapkan bisa dijaga di kisaran Rp3 ribu sampai 5 ribu per kilogram saat panen raya, dan Rp8 ribu pada saat tidak panen raya," ujar Sudartama, Rabu (15/12/2021)
Sudartama memproduksi arak salak secara tradisional, dan penjualannya menyasar pasar lokal. Ia menjual arak salak sebesar Rp25 ribu per 600 mililiter.
"Respon masyarakat ternyata bagus. Banyak yang suka rasa arak salak yang masih ada rasa fruity dan segarnya ketika diminum," katanya.
Baca Juga: Jeritan Petani Arak Tradisional di Bali: Arak Fermentasi Membunuh Kami