Potret Terbaru Pasar Seni Ubud: Beli Nak Satu Saja, Buat Bekal Makan

Sunyi, bangunan kosong kini jadi pemandangan yang wajar

Gianyar, IDN Times – Ubud, tempat ini dulunya ramai dikunjungi oleh wisatawan asing. Selain menawarkan ketenangan dan menjamurnya fasilitas-fasilitas yoga hingga restoran makanan sehat, kawasan wisata di wilayah Kabupaten Gianyar ini ramai karena menyajikan destinasi yang adem, apik, dan berkelas.

Tipe wisatawan yang memilih tinggal di sana pun dianggap berbeda. Lebih banyak wisatawan dari Eropa dan orang-orang yang punya selera seni tinggi. Itulah yang saya gambarkan tentang Ubud.

Namun melihat kondisinya dua tahun belakangan ini, Ubud menjadi sunyi. Banyak toko suvenir hingga restoran yang tutup. Ini gambaran yang jelas dan nyata, bahwa pandemik telah memorakporandakan sendi-sendi perekonomian masyarakat Bali secara perlahan-lahan. Sampai kapankah ini?

Berikut potret terbaru kawasan wisata Ubud yang diabadikan oleh tim IDN Times pada tanggal 7 Mei 2021:

1. Bangunan kosong jadi pemandangan yang 'wajar'

Potret Terbaru Pasar Seni Ubud: Beli Nak Satu Saja, Buat Bekal MakanSuasana Pasar Seni Ubud selama pandemik. (IDN Times/Ni Ketut Sudiani)

Pukul 14.48 Wita, dua orang dari tim IDN Times, termasuk saya, melipir ke kawasan wisata Ubud setelah sowan dari Kantor Kepolisian Resor (Polres) Gianyar sejak pagi. Rencana kami saat itu hanya mencari suasana baru agar pikiran kembali fresh dan tidak stagnan. Sudah 1,5 tahun berjalan pandemik tak kunjung selesai. Tutupnya toko, restoran hingga tempat usaha lain kini menjadi pemandangan yang 'wajar'.

Kondisi ini sama seperti di wilayah Kuta. Kami pernah menyusuri jalan, memandangi bangunan-bangunan hotel yang bagus dan berdiri kokoh dalam kekosongan. Kamarnya tak berpenghuni, berharap ada 'isinya' (Tamu atau wisatawan).

Semuanya nyaris kembali bergeliat ketika Pemerintah Pusat membuka keran bagi wisatawan untuk mengunjungi Pulau Seribu Pura ini. Tetapi lagi-lagi, pemerintah belum menemukan cara jitu untuk menghidupkan obor perekonomian Bali. Kami bisa katakan bangunan-bangunan ini beruntung. Mereka hanya benda mati yang tidak dapat mengeluh dan merasakan lapar. Lalu bagaimana masyarakatnya?

Baca Juga: Kumpulan Potret Lawas: Kami Merindukan Pantai Kuta!

2. Wow, tidak ada kemacetan di Ubud!

Potret Terbaru Pasar Seni Ubud: Beli Nak Satu Saja, Buat Bekal MakanSuasana Pasar Seni Ubud selama pandemik. (IDN Times/Ni Ketut Sudiani)

Kalau kamu dulunya (Sebelum pandemik) pernah mengunjungi wisata Ubud, pasti sudah tahu bagaimana kondisi jalan di sana. Tidak begitu lebar, sempit, padat kendaraan yang berlalu lalang dan parkir. Hingga beberapa ruas persimpangan jalan dipasangi road barrier. Berkendara pun tidak begitu leluasa dan harus pelan-pelan. Macetlah pokoknya.

Sekarang, pemandangan yang seperti itu tidak ada. Lengang. Sedikit sekali kendaraan yang wara-wiri. Ubud menjadi lebih tenang. Kami hanya menemui beberapa orang asing saja. Tidak sebanyak dulu.

Baca Juga: THR Jadi Isu Sensitif di Bali, Pengusahanya Ngos-ngosan Bayar

3. Mereka tak punya pembeli, apalagi uang untuk kembalian

Potret Terbaru Pasar Seni Ubud: Beli Nak Satu Saja, Buat Bekal MakanSuasana Pasar Seni Ubud selama pandemik. (IDN Times/Ni Ketut Sudiani)

Mata kami justru terbelalak ketika masuk ke dalam Pasar Seni Ubud. Parkirannya super lengang. Hanya terlihat beberapa orang tua yang memajang dagangannya. Gestur dan tatapan matanya mengisyaratkan harapan ingin dihampiri oleh wisatawan.

Lantai dua pasar ini juga tidak ada aktivitas. Kalau kamu mendatangi satu pedagang saja di sana, maka pedagang yang lain juga akan memohon-mohon kepadamu agar membeli dagangannya. Kalimat-kalimat itu sebelumnya memang akrab di telinga. Namun sekarang semakin intens diucapkan berkali-kali oleh para pedagang:

“Beli nak, satu saja. Buat bekal makan.”

Dagangannya beragam, tetapi hanya dikunjungi oleh segelintir calon pembeli. Karena tak tega, satu orang dari tim IDN Times membeli beberapa item dari dagangan mereka. Sedangkan saya pada saat itu hanya membawa uang tunai pas-pasan. Karena sebetulnya hanya ingin membeli sebuah sandal bohemian gypsy.

Di luar dugaan, pukul 15.20 Wita, ternyata kami adalah pelanggan pertama mereka. Padahal mereka buka sedari pagi. Kondisi ini sudah berlangsung selama pandemik.

Mereka menawarkan barang dengan mengambil keuntungan yang tipis, yang penting laku, dan bisa dipakai untuk membeli beras. Ada juga yang banting harga. Seperti pedagang yang biasanya menjual satu set sumpit ukiran seharga Rp250 ribu, ia pasrah menjualnya Rp140 ribu kepada kami.

“Beli dagangan saya mbak. Nggak apa-apa harganya. Mbaknya punya uang berapa? Sisa kembalian berapa? Nggak apa-apa. Saya ikhlas, yang penting terjual,” ucap pedagang itu menawarkan kepada kami.

Dari satu pedagang ke pedagang lain yang kami temui, semuanya sama. Mereka sulit mendapatkan pembeli dan mencari uang untuk kembalian. Bahkan uang kembalian Rp5 ribu saja, mereka harus wara-wiri untuk menukar uang ke sesama pembeli lainnya.

Sementara uang hasil dagangan yang mereka terima dari kami, langsung dikibas-kibaskan ke barang dagangannya sambil bersyukur. Ini adalah tanda khas pedagang yang baru mendapatkan pelanggan pertama.

Kami hanya sebentar menikmati suasana Ubud. Setelah itu, kami kembali ke Kota Denpasar.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya