TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Asyiknya Belajar Nyurat di Museum Pustaka Lontar Karangasem

Kamu akan belajar nulis lontar di Bali Timur ini

Museum Pustaka Lontar. (IDN Times/Ayu Afria)

Suasana asri pedesaan khas Bali menambah segarnya perjalanan wisata menuju Desa Adat Dukuh Penaban, Kelurahan Karangasem, Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem. Menurut legenda, Desa Adat Dukuh Penaban diberkahi oleh kekayaan nilai budaya seperti tulisan tradisional, dan tarian yang unik. Semenarik apakah wisata budaya desa ini?

Karangasem, IDN Times - Tengah hari tidak begitu terasa panas di Desa Penaban. Banyak pepohonan dan angin semilir mendinginkan suasana yang sedang terik dalam perjalanan menuju Museum Pustaka Lontar. Sepanjang perjalanan wisata budaya tersebut, kami juga menikmati pemandangan megahnya Gunung Agung dari kejauhan, serta bukit-bukit yang memesona, ditambah pemandangan laut di Bukit Ngandang.

Baca Juga: Memotret Keindahan Puncak Gunung Agung dari Langit Bali

Baca Juga: Jalan-Jalan ke Hutan Pinusnya Bali, Sangat Instagramable

Museum Pustaka Lontar. (IDN Times/Ayu Afria)

Perjalanan wisata ini kami tempuh dari Amed, Kabupaten Karangasem, pada 7 April 2023 lalu. Jika kamu berangkat dari Kota Denpasar, perjalanan menuju desa ini membutuhkan waktu sekitar 2 jam 45 menit dari Pelabuhan Padang Bay, 35 menit dari Candi Dasa, dan 20 menit dari Kota Amlapura.

Apa menariknya wisata budaya di desa ini? Hal yang paling unik yang bisa dipelajari adalah falsafah hidup, ritual, dan tradisi yang tertulis dalam lontar. Bahkan diungkap ada lontar yang sudah berusia 400 tahun. Kamu bisa menikmati pengalaman menulis aksara Bali di media lontar.

1. Masuk area wajib memakai kamen hitam dan selendang poleng, dijamu minuman yang keampuhannya tertulis dalam lontar

Museum Pustaka Lontar. (IDN Times/Ayu Afria)

Sebelum memasuki area Bale Sangkul Putih, kamu akan disuguhi pemandangan pepohonan Nyuh (Bahasa Bali) atau pohon kelapa. Kemudian berjalan sekitar beberapa ratus meter akan disambut oleh staf pemandu tepat di depan Angkul-angkul (bahasa Bali) atau pintu masuk. Untuk bisa masuk ke area, kamu diwajibkan mengenakan kamen berwarna hitam, dan selendang poleng.

Setelah mengenakan pakaian adat tersebut, kamu akan dipersilakan masuk ke area Bale Pasraman untuk belajar menulis lontar. Kamu diminta untuk mengisi buku tamu, dan dijamu dengan minuman sambutan “Teh Bawang Adas”, yang terbuat dari tanaman bawang adas. Resep minuman tersebut tertulis dalam lontar.

“Setiap yang berkunjung kami berikan (Teh Bawang Adas). Manfaatnya ada banyak, salah satunya yang tercatat di Lontar Usadha yaitu untuk penurun panas atau demam,” ungkap staf pemandu wisata di Museum Pustaka Lontar, Kadek Angga Ari Wedana.

Minuman dalam Lontar Usada yang diberikan ke tamu di Museum Pustaka Lontar. (IDN Times/Ayu Afria)

Untuk diketahui, Museum Pustaka Lontar ini berdiri di tanah milik desa. Dasar bangunannya telah berdiri sejak tahun 1968. Pada 3 Januari 2018, Museum Pustaka Lontar menjadi tempat wisata dan dibuka untuk umum.

2. Belajar menulis di lontar semudah belajar menulis biasa

Belajar Nyurat di Museum Pustaka Lontar. (IDN Times/Ayu Afria)

Wisata budaya ini memberikan pengalaman nyurat (Bahasa Bali) atau menulis aksara Bali di atas lontar. Kamu akan diajarkan menulis nama sendiri di atas lontar, dan boleh membawanya pulang sebagai kenang-kenangan.

“Rata-rata untuk pengunjung bisa menulis namanya di lontar perlu waktu sekitar 30 menit. Tapi itu untuk nama mereka saja yang sudah translate ke aksara Bali. Kalau untuk tahu lebih lagi (belajar menulis aksara di lontar) mungkin bertahun tahun,” kata Kadek Angga.

Sebelum menulis, staf akan menjelaskan secara singkat tentang lontar itu sendiri dan manfaatnya sebagai sarana menulis, juga mengenalkan aksara Bali, dan cara penulisannya. Setelah beberapa menit menerima arahan, kamu akan menerima peralatan yang digunakan untuk nyurat. Yaitu dulang atau meja, kertas lontar, pengrupa (pisau khusus untuk menulis di lontar), kemiri yang dibakar untuk pewarna guratan atau tulisan, kain atau tisu untuk membersihkan sisa-sisa kemiri, dan lungke-lungke atau bantalan untuk menulis.

Berita Terkini Lainnya