Menikmati pesona Gunung Agung dari Desa Dukuh. (IDN Times/Ayu Afria)
Sejak 4 bulan terakhir, telepon pintar saya berdering hampir setiap minggu, bapak dan ibu meminta agar sesekali pulang ke kampung halaman di Pulau Jawa. Mereka mengatakan memendam kerinduan kepada putrinya.
“Masak nggak ada cutinya? Ambillah cuti. Kamu tidak rindu ya?” itu suara ibu yang terngiang di telinga.
Pesan mereka pun tidak juga mampu merayu jiwa ini yang telah lelah. Saya masih enggan untuk pulang kampung. Maafkan anakmu! Saya sudah kekeuh untuk merantau.
**
Sebenarnya saya malu sama Tuhan. Tahun-tahun terberat bagi semua makhluk yang ada di bumi ini, termasuk juga saya. Pendemik COVID-19 yang menurut saya malah berhasil memaksa bumi ini pulih, nyatanya tidak benar-benar menyadarkan sikap manusia. Jenuh dengan fakta-fakta yang saya temukan di lapangan, mencatat peristiwa yang justru menempatkan saya seakan mengalaminya sendiri. Pernahkah kalian merasa hambar saat mendengar kedukaan?
Itulah yang saya alami, saya tidak bersedih dan tidak pula menangis mendengar kabar kematian. Prasangkaku sepertinya sudah melampaui batas. Saya memberanikan diri mengakui bahwa saya tidak baik-baik saja Tuhan.
Menikmati pesona Gunung Agung dari Desa Dukuh. (IDN Times/Ayu Afria)
Akhirnya saya memilih cuti pada 22 hingga 24 Desember 2021 lalu untuk menyentuh alam. Kali ini jiwa saya tergerak mengikuti ajakan Bli Mudi untuk menikmati keindahan Gunung Agung dari Desa Dukuh, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Cuti mendadak, trekking dan camping mendadak. Semuanya serba mendadak.
Berangkat lebih awal pada 21 Desember 2021 menjelang siang dari arah Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, menuju Candidasa di Kabupaten Karangasem. Sebelumnya saya sudah diwanti-wanti bahwa tidak boleh membawa makanan berbahan daging sapi dan babi saat ke Gunung Agung. Sebenarnya pikiran saya belum beranjak dari tragedi-tragedi yang terjadi di negeri ini. Ingatan saya menulis tentang Nanggala 402 on Eternal Patrol, Yunicee, Letusan Gunung Semeru, dan pecahan-pecahan peristiwa lainnya masih menganggu pikiran.
Belum lagi mengurus masalah pribadi, perpisahan, musibah, hingga ludesnya tabungan yang selama ini saya simpan. Tahun yang lumayan berat bagi saya. Peristiwa-peristiwa itu memenuhi seluruh isi kepala. Namun saya tetap patut bersyukur, saya melaluinya sebaik mungkin. Meskipun saya akui saya sangat kelelahan.
Saya berangkat ke Dukuh dengan membawa beban pikiran dan perasaan. Tidak ingin ribet, hanya menyiapkan keperluan sesederhana mungkin, seperti sleeping bag, satu pasang baju ganti, handuk, jaket, satu kotak kurma, dan uang Rp200 ribu. Hanya itu bekal saya camping.
Lalu berkendara dengan kecepatan tinggi menuju Karangasem. Saya mungkin terlihat baik-baik saja saat itu, tapi saya merasa sudah diambang kejenuhan. Saya ingin healing, itu saja.
Sementara Bli Mudi, persiapannya jauh lebih lengkap. Ia membawa carrier besar dan masih ditambah lagi satu tas dan barang bawaan lainnya. Saya mencoba membandingkan dengan barang bawaan saya yang hanya satu tas ransel kecil. Se-simple ini kah aku? Apakah ternyata aku tidak siap?
**
Dengan PeDe-nya saya bertanya apakah ada pasar rakyat di bawah lokasi camping? Bli Mudi hanya tersenyum tipis, yang menegaskan tidak ada harapan untuk menemukan pasar itu. Tahu saya salah persiapan, kemudian ia membelikan ikan asap untuk bekal selama camping tersebut dan kami menuju lokasi.