Praktik Kekerasan Berbasis Gender di Indonesia, dari Aceh hingga Papua

Apakah negara berperan dalam pelanggengan kekerasan ini?

Penulis: Ufiya Amirah

Setiap kali negara mengalami chaos, maka perempuanlah yang paling rentan terhadap eksploitasi seksual. Mengapa demikian? Perempuan adalah simbol reproduksi suatu bangsa. Maka penistaan terhadap tubuh perempuan dapat diartikan sebagai penistaan terhadap suatu bangsa.

Hal itu diungkapkan oleh Saskia E. Wieringa, pada Sejarah Telah Membersihkanmu, yang dilansir dalam tulisan Anna Mariana berjudul Perbudakan Seksual: Perbandingan antara Masa Fasisme Jepang dan Neofasisme Orba (2015)

Bangsa Indonesia tidak hanya pernah menjadi korban penjajahan, namun juga pernah menjadi pelaku penjajahan. Apabila ditelaah ulang bagaimana upaya pendokumentasian sejarah atas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia, khususnya penindasan berbasis gender, Indonesia berulang kali telah melakukan operandi militer yang mengorbankan perempuan.

Lebih dalam terkait persoalan itu, berikut 5 hal yang perlu kamu ketahui tentang praktik kekerasan berbasis gender yang terjadi di Indonesia, dari Aceh hingga Papua:

Baca Juga: 5 Hal Soal Penindasan dan Gerakan Pembebasan Perempuan di Indonesia 

1. Jugun Ianfu pada masa fasisme Jepang

Praktik Kekerasan Berbasis Gender di Indonesia, dari Aceh hingga PapuaPerbudakan masa Fasisme Jepang (buletinpillar.org)

Mengutip Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah, dalam Anna Mariana, Perbudakan Seksual: Perbandingan antara Masa Fasisme Jepang dan Neofasisme Orba (2015), diperlukan penjelasan sejarah yang paralel vertikal untuk mengetahui motif keterulangan yang sama pada suatu peristiwa. Maka pengkajian terhadap praktik kekerasan seksual yang dilakukan secara massal oleh negara sangatlah urgen. Menimbang pula motif kekerasan ini telah dilakukan berulang kali di daerah yang berbeda dengan tensi politik yang sama.

Setelah lepas dari koloni Belanda, Indonesia mengalami babak baru penjajahan. Tahun 1942-1945 adalah masa Jepang berkuasa dengan fasisnya atas bangsa Indonesia. Jepang mengerahkan militer untuk mempertahankan kekuasaannya. Di tengah pendudukan militer di Indonesia, karena jauh dari keluarga, para serdadu membutuhkan pemenuhan kebutuhan seks. Akhirnya, Jepang mengeksploitasi perempuan untuk jadi pemuas hasrat seks serdadu. Perempuan yang diperbudak inilah disebut Jugun Ianfu.

Intan Soerweno, Menteri Sosial Indonesia, pada tahun 1997, menyatakan bahwa Jugun Ianfu adalah aib bangsa sehingga tak patut untuk dipersoalkan. Mengamini pernyataan Intan, pada 2 Maret 2007, Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, menegaskan bahwa Jugun Ianfu pada masa kekuasan Jepang adalah pekerja prostitusi, bukan korban eksploitasi seksual oleh tentara Jepang. Menurut Abe, keberadaan mereka atas dasar konsesualitas, kemauan Jugun Ianfu sendiri. Pernyataan tersebut semakin memperlemah suara korban kekerasan seksual yang mencoba bersuara.

Tuntutan keadilan bagi korban praktik kekerasan Jugun Ianfu berawal sejak Mardiyem bersuara ke publik melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Sebanyak 1.156 Jugun Ianfu mendaftarkan diri ke posko aduan yang dibuka oleh beberapa organisasi seperti LBH Yogyakarta dan Forum Cabang Komunikasi (Forcabsi) sejak tanggal 26 April hingga 14 September 1996. Para korban kemudian diadvokasikan kepada negara mengenai hak keadilan yang seharusnya mereka dapatkan. Hanya saja pernyataan Intan Soerweno sebagai pihak pemerintah Indonesia telah mengamputasi harapan para penyintas Jugun Ianfu.

2. Teror seksual neofasisme Orde Baru: kisah para perempuan tahanan politik 65

Praktik Kekerasan Berbasis Gender di Indonesia, dari Aceh hingga PapuaFilm G30SPKI (Youtube.com/Apple Win)

Ita F Nadia, dalam bukunya Suara Perempuan Korban Tragedi '65 (2009), menjelaskan bahwa rezim Soeharto telah menciptakan kekerasan berbasis gender seperti perkosaan massal, penyiksaan seksual, perbudakan seksual, hingga pembunuhan sipil secara masif, sistematis, dan terorganisir, hampir di seluruh wilayah Indonesia, khususnya di Jawa dan Bali.

Perempuan yang diopresi umumnya memiliki kekhususan tipologi. Perempuan yang dicap komunis dan/atau Soekarnois, seolah layak untuk diperkosa dan/atau disiksa secara seksual, menimbang mereka dituduh telah terlibat dalam penculikan dan pembunuhan tujuh Jenderal di Lubang Buaya, Jakarta, pada 1 Oktober 1965.

Jumlah korban opresi '65 tidak diketahui secara pasti. Namun, berdasarkan Laporan Komnas Perempuan, Kejahatan terhadap Kemanusiaan Berbasis Gender: Mendengarkan Suara Perempuan Korban Peristiwa 1965 (2007), terdapat 122 perempuan korban '65 yang mengalami pelanggaran HAM dengan pola kekerasan seperti perkosaan, perbudakan seksual, penculikan, penyiksaan, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), dan pemaksaan aborsi, yang dilakukan oleh aparatus negara.

Dalam antologi kisah pengalaman kekerasan penyintas '65 tulisan F Nadia, Yanti yang merupakan penyintas '65 asal Jakarta, menceritakan penyiksaan seksual yang dialaminya ketika ditangkap paksa oleh TNI. Ia dipaksa telanjang, dipukuli, dan digiring ke tanah lapang. Selama dua hari, Yanti dibiarkan telanjang di lapangan tanpa makan dan minum. Tak jarang, para tentara mondar-mandir dan memperlakukan Yanti secara tidak senonoh. 

3. Perkosaan massal Mei 1998 terhadap etnis Tionghoa di Jakarta

Praktik Kekerasan Berbasis Gender di Indonesia, dari Aceh hingga PapuaIlustrasi refleksi Tragedi Mei 1998. (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)

Bara Mei 1998 telah melahirkan luka tak berkesudahan, khususnya bagi warga etnis Tionghoa. Tak hanya luka fisik, namun juga luka batin yang traumatis. Pembunuhan Ita Marthadinata adalah simbol kejahatan Mei 1998. Julia Suryakusuma, dalam Agama, Seks, dan Kekuasaan (2012), menegaskan bahwa peristiwa Mei 98 adalah titik frustasi sipil paling ekstrem dan titik terendah kemanusiaan bangsa Indonesia.

Etnis Tionghoa menjadi sasaran yang disebabkan oleh penerimaan hak istimewa ekonomi pada masa Orba. Secara historis kolonial, kaum Tionghoa adalah komprador. Di sisi lain, rezim Soeharto telah mengkonstruksi etnis Tionghoa sebagai warga yang rakus dan tamak akibat dugaan dukungan Partai Komunis Cina atas kudeta 65.

Dengan tidak mengenyampingkan pertimbangan ekonomi, menurut Julia, perempuan etnis Tionghoa menjadi objek kerusuhan dan perkosaan massal lantaran penyakit rasialisme dan seksisme, tentunya juga tak lepas dari polemik struktural situasi politik di Indonesia. Setelah diperkosa, perempuan dibuang ke dalam gedung yang terbakar.

Perkosaan massal yang terjadi pada 13-15 Mei 1998 terfokus di Jakarta Barat dan Utara, sedangkan kerusuhan merata seantero Jakarta. Menurut hasil investigasi Tim Relawan Kekerasan terhadap Perempuan (TRKP), peristiwa Mei 98 merupakan tindakan teror yang dilakukan secara terorganisir, sistematis, dan profesional. Setiap aksi brutal berdasarkan pada komando. Terdapat pimpinan kelompok yang memberikan instruksi dalam aksi. Melalui peristiwa ini, Indonesia dicap sebagai Republik Teror dan Ketakutan.

4. Pelanggaran HAM berbasis gender di Aceh dan Timor Leste

Praktik Kekerasan Berbasis Gender di Indonesia, dari Aceh hingga Papuailustrasi wilayah Timor Leste setelah pisah dari Indonesia (cdc.gov)

Kejatuhan Soeharto pada 1998 telah mengobarkan konflik berdarah di Aceh dan Timor Timur (resmi berpisah dan merdeka dari Indonesia pada tahun 2002 dan kini bernama negara Timor Leste). Asia Justice and Rights (AJAR) menerbitkan laporan pemantauan kekerasan di dua wilayah tersebut yang bertajuk Mengenang yang Tercinta, Menghapus Luka: Upaya Para Korban Kekerasan Mengumpulkan Foto dan Cerita Demi Perubahan (2013).

Laporan tersebut merupakan hasil kerja sama antara AJAR dengan K2HAU (Keluarga Korban Pelanggaran HAM Aceh Utara), Keluarga Ureung Gadoh atau Keluarga Orang Hilang (Kagundah) di Aceh, dan Asosiasi Nasional Korban di Timor-Leste (ANV).

Pada saat referendum berlangsung untuk penentuan nasib sendiri rakyat Timor Timur, tepatnya 30 Agustus 1999, di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), pemerintah Indonesia memasifkan opresi militer, baik secara klandestin di perkotaan dan/atau mempersenjatai sipil di setiap distrik. Operandi tersebut dilakukan agar masyarakat Timor Timur tetap menyatu dengan Indonesia. Akibatnya, lebih dari 1.400 warga sipil terbunuh.

Sejalan dengan tuntutan kemerdekaan Timor Leste atas Indonesia, tahun 1975, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menuntut independensi wilayah Aceh. Pada tahun 1989, pemerintahan Soeharto menetapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Komisi Independen untuk Penyelidikan mengenai Kekerasan di Aceh (KPTKA), DOM dan Tragedi Kemanusiaan di Aceh: Portret Tindak Kekerasan di Provinsi Daerah Istimewa Aceh: Ringkasan Eksekutif, (2000), sedikitnya terdapat 7.000 pelanggaran HAM selama DOM berlangsung. Pasca bencana tsunami Aceh di tahun 2004, GAM dan pemerintah Indonesia menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki.

Beatriz Miranda, penyintas perbudakan seksual, memberikan kesaksian kepada Commission for Reception, Truth and Reconciliation in East Timor (CAVR) pada tahun 2003. Pada tahun 1990, Beatriz dipaksa untuk menikahi tiga tentara. Dari tiga pernikahan tersebut, Beatriz melahirkan dua orang anak.

Sementara Mariana, perempuan Aceh yang dijadikan objek seksual oleh serdadu Indonesia selama bertahun-tahun. Bahkan saat dia sedang merawat sang anak, tentara memaksa Mariana datang ke pos militer dan diperkosa secara bergilir. Selama perbudakan seksual berlangsung, ia juga tak jarang mengalami kekerasan fisik seperti disetrum dan dipukul.

5. Kekerasan terhadap perempuan Papua

Praktik Kekerasan Berbasis Gender di Indonesia, dari Aceh hingga Papua(Ilustrasi situasi pelanggaran HAM di Papua) IDN Times/Helmi Shemi

Irian Jaya yang kini dikenal dengan sebutan Papua, sejak tahun 2003 telah dipecah menjadi dua bagian, yakni Provinsi Papua di wilayah Tengah Papua, dan Provinsi Papua Barat di wilayah Barat Papua. Pemecahan wilayah Papua, berdasarkan pertimbangan pemerintah, guna mempermudah administrasi daerah sehubungan Papua adalah wilayah terbesar di Indonesia dengan luas 312.224,37 km2.

Pada masa kolonialisme Belanda, rakyat Papua telah menuntut atas independensi wilayahnya. Pasca transisi kekuasaan, keabsahan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 telah memasifkan pergolakan rakyat Papua menuntut kemerdekaan atas Indonesia.

Hingga saat ini, pemerintah Indonesia telah melakukan operasi militer di beberapa titik wilayah Papua dan Papua Barat seperti Pegunungan Bintang, Wamena, dan Intan Jaya. Jika dilihat menggunakan pendekatan historis, setiap daerah konflik terdapat kekerasan berbasis gender dan bersifat massal.

Laporan Komnas Perempuan yang bertajuk Stop Sudah !: Kesaksian Perempuan Korban Kekerasan dan Pelanggaran HAM (1963-2009) yang diterbitkan pada tahun 2010, menunjukkan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berbasis gender di Papua yang juga diaktori oleh negara.

Terdapat 138 perempuan mengalami perkosaan, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. Selain itu, 98 perempuan mengalami kekerasan fisik, psikis, dan seksual berupa penelantaran ekonomi, penganiyaan, dan pemaksaan kawin. Di sisi lain, 14 perempuan telah menjadi korban kekerasan akibat konflik agraria dan perang suku.

Topik:

  • Ni Ketut Sudiani
  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya