Suka Duka Owner Kopi Leo Jatiluwih, Digemari Turis Jerman

Tabanan, IDN Times - Sugina Ariyasa (45) tidak menyangka jika kopi bubuk buatannya sendiri menjadi primadona turis (wisatawan) Jerman yang datang ke Daya Tarik Wisata (DTW) Jatiluwih. Namun pria disabilitas fisik di bagian kaki sejak kecil ini juga mengalami pasang surut selama pandemik. Ia banting setir menjadi karyawan toko mebel.
Berikut ini kisah warga Banjar Jatiluwih Kangin, Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan.
1. Membuat kopi bubuk sejak 20 tahun lalu

Ariyasa membuat kopi bubuk 20 tahun lalu. Bahan bakunya berasal dari kebunnya sendiri. Ia menanam kopi arabika di atas kebun 60 are yang dimilikinya. Awalnya, Ariyasa berjualan kopi seduh di rumahnya. Lambat laun wisatawan Jerman mendatangi rumahnya untuk meminum kopi, dan lama-lama membeli kopi bubuk buatannya.
"Katanya kopi bubuk buatan saya asli. Memang tidak ada campuran apa pun. Murni kopi arabika," ujarnya.
Kini dalam satu kali produksi, ia membutuhkan 20 kilogram kopi. Namun produksinya tidak setiap hari. Ariyasa baru akan memproduksi jika kopinya mulai habis
"Paling lama setelah 20 hari baru produksi lagi," kata Ariyasa.
2. Usaha kopinya sempat berhenti karena pandemik

Pandemik COVID-19 membuat wisatawan tidak ada yang datang berkunjung ke DTW Jatiluwih. Hal itu berimbas pada usaha kopi bubuk Ariyasa yang mandek. Sebab pembeli kopi bubuknya didominasi oleh wisatawan Jerman. Karena mandek, Ariyasa bekerja di toko mebel dekat rumahnya.
Sebelum pandemik, wisatawan Jerman yang datang berkunjung ke rumahnya untuk minum dan membeli kopi bubuk rata-rata 15 orang, namun tidak setiap hari.
"Beda-beda orangnya. Tergantung guide yang bawa. Kadang seminggu sekali datang. Sekali kunjungan itu 15 orang," jelasnya.
3. Selain kopi, juga memproduksi teh beras merah dan teh beras hitam

Setelah pemerintah melonggarkan aturan perjalanan, membuat kunjungan ke DTW Jatiluwih perlahan mulai membaik. Begitu juga wisatawan Jerman yang menyukai kopi bubuk buatan Ariyasa. Namun memang tak sebanyak sebelumnya. Hanya 2 sampai 4 orang saja yang datang ke rumahnya.
Kini, dalam sekali kunjungan pendapatannya Rp500 ribu, masih jauh dari pemasukannya yang dulu, yaitu Rp2 jutaan per sekali kunjungan. Selain kopi bubuk, Ariyasa juga membuat teh beras merah dan teh beras hitam.
Satu kemasan kopi bubuk arabika kemasan 200 gram ia jual seharga Rp25 ribu. Sementara teh beras merah dan hitam kemasan 200 gram dijual Rp15 ribu. Kopi, teh beras merah, dan hitamnya diberi label merek Leo, sesuai nama anaknya.
Supaya kopi dan teh buatannya dikenal oleh pasar domestik, Ariyasa didorong untuk mengikuti pameran.
"Pertama kali ikut pameran UMKM di acara Jatiluwih Cultural Week. Kalau diminta ikut pameran lagi, saya siap," terangnya.