Jadi Google Doodle, 5 Fakta Subak Bali dan Polemiknya

Bali emang mantap!

Kalau pernah ke Tegallalang Rice Terrace di Kabupaten Gianyar atau persawahan di Kabupaten Tabanan, kamu pasti tertegun melihat keindahannya ya. Para petani juga sepertinya tidak asal membuat sawah. Bahkan di setiap sawah selalu ada pelinggih (Tempat persembahyangan umat Hindu). Mereka memohon kepada Tuhan dalam manifestasinya yang berwujud Dewi Sri, untuk kemakmuran.

Asal kamu ketahui, sistem pengairan sawah di Bali ini diatur oleh Subak. Tepat pada tanggal 29 Juni 2012, subak secara sah diakui sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO, dalam sidang ke-36 Komite Warisan Dunia UNESCO di Kota Saint Peterburg, Rusia.

Untuk itulah subak dijadikan sebagai Google Doodle hari ini. Apa sih sebenarnya subak itu? Berikut fakta-fakta tentang subak di Bali:

Baca Juga: 4 Pesan Bijak Tetua Bali yang Tidak Boleh Kamu Lupakan

1. Subak ada kaitannya dengan filosofi kehidupan masyarakat Bali (Tri Hita Karana)

Jadi Google Doodle, 5 Fakta Subak Bali dan PolemiknyaIDN Times/Irma Yudistirani

Subak merupakan organisasi milik masyarakat petani di Bali, yang memang secara khusus mengatur manajemen atau sistem pengairan (Irigasi) sawah secara tradisional, dan sudah ada sejak zaman dulu. Bahkan kata subak sendiri pertama kali ditemukan dalam prasasti Pandak Bandung tahun 1072 M.

Bagi masyarakat Bali, subak bukan sekadar sistem irigasi. Tetapi juga bagian dari filosofi kehidupan masyarakat Bali itu sendiri. Yaitu Tri Hita Karana. Tri yang berarti tiga, Hita yang berarti kebahagiaan (kesejahteraan), dan Karana yang berarti penyebab. Jadi kalau diartikan, Tri Hita Karana adalah tiga penyebab terciptanya kebahagiaan.

Kalau diilansir dari situs buleleng.bulelengkab.go.id, ketiga penyebab tersebut antara lain:

  • Parahyangan: hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan (Wujudnya pelinggih)
  • Pawongan: hubungan yang harmonis antara manusia dengan sesama (Sesama anggota subak)
  • Palemahan: hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam dan lingkungannya (Wujudnya irigasi, dan lainnya).

Baca Juga: 5 Fakta Mengagumkan Desa Jatiluwih Bali, Barack Obama Sampai Terpikat

2. Butuh waktu 18 tahun Pemerintah Indonesia memperjuangkan subak sebagai warisan budaya dunia

Jadi Google Doodle, 5 Fakta Subak Bali dan PolemiknyaIDN Times/Irma Yudistirani

Pemerintah Indonesia butuh waktu 18 tahun untuk memperjuangkan pengakuan subak sebagai warisan budaya dunia. Prosesnya memang tidak panjang. Karena juga dilakukan penelitian dengan pendekatan berbagai ilmu pengetahuan. Mulai dari arkeologi, geografi, ilmu lingkungan, antropologi, arsitektur lansekap, dan ilmu pengetahuan terkait lainnya.

Subak di Bali tersebar di lima kabupaten, di antaranya Kabupaten Badung, Tabanan, Gianyar, Bangli, dan Buleleng. Kalau penasaran, sebaiknya kamu datang ke Jatiluwih, Kabupaten Tabanan saja. Sebab lokasi ini dijadikan sebagai museum subak.

3. Dari mana sumber air untuk mengairi sawah di Bali?

Jadi Google Doodle, 5 Fakta Subak Bali dan PolemiknyaIDN Times/Wayan Antara

Subak adalah metode budaya asli para petani Bali. Segala proses pembuatan, pemeliharaan, dan pengelolaannya diatur bersama oleh anggota subak. Kalau orang Bali biasa menyebutnya krama (Anggota) subak. Lalu dari manakah sumber air yang mereka pakai sebagai sistem pengairannya? Kalau diurut berdasarkan sumber air, maka inilah asalnya:

  • Empangan sebagai sumber aliran air/bendungan
  • Bungas/buka adalah sebagai pemasukan (in take)
  • Aungan adalah saluran air yang tertutup atau terowongan
  • Telabah aya (gede) adalah saluran utama
  • Tembuku aya (gede) adalah bangunan untuk pembagian air utama
  • Telabah tempek (munduk/dahanan/kanca), adalah sebagai saluran air cabang
  • Telabah cerik, sebagai saluran air ranting
  • Telabah panyacah (tali kunda), di beberapa tempat dikenal dengan istilah Penasan (Untuk 10 bagian), Panca (Untuk 5 orang), dan Pamijian (Untuk 1 orang).

Baca Juga: 7 Doa Agama Hindu Agar Mendapat Kedamaian Hidup

4. Ada usulan untuk mencabut status WBD Jatiluwih

Jadi Google Doodle, 5 Fakta Subak Bali dan PolemiknyaIDN Times/I Made Argawa

Namun pada tanggal 10 Mei 2019, IDN Times pernah menulis soal wacana usulan untuk mencabut status Warisan Budaya Dunia (WBD) tersebut. Wacana itu muncul dari pernyataan Guru Besar Universitas Udayana, Prof I Wayan Windia. Menurut Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana (Unud) ini, hingga sekarang Pemkab Tabanan belum membentuk Badan Pengelola WBD. Pemkab justru membentuk Badan Pengelola Daerah Tujuan Wisata (DTW) Jatiluwih.

Badan ini akan membangun landasan helipad di lokasi persawahan Jatiluwih, yang dikhawatirkan tidak berpedoman pada filosofi Tri Hita Karana.

Hal ini membuat gerah Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tabanan. Kepala Dinas Kebudayaan Tabanan, I Gusti Ngurah Supanji, menyebutkan WBD bukan hanya untuk kawasan Subak Jatiluwih saja, tetapi juga sistem subak yang berada di sembilan desa dinas dan 11 desa adat sekitar kawasan Gunung Batukaru, Kecamatan Penebel. Supanji menyayangkan sikap guru besar tersebut.

“Total luasnya sekitar 17.663 hektare. Kami tidak terima dengan apa yang disampaikan itu. Harusnya ada dialog dengan kami di Pemkab Tabanan,” katanya kala itu.

Pemkab Tabanan selama ini, menurut Supanji, telah menjalankan filosofi Tri Hita Karana dalam pengelolaan subak, khususnya di kawasan WBD Jatiluwih. Mulai dari mendak toya, mulang pekelem, memelihara hubungan antar manusia dan lingkungannya.

Selain itu, Supanji menyebut tidak pernah ada komunikasi antara pihaknya dengan Prof I Wayan Windia. “Jika ada dialog kami bisa berbenah,” ungkapnya.

5. Faedah status sebagai WBD belum dirasakan secara langsung

Jadi Google Doodle, 5 Fakta Subak Bali dan PolemiknyaIDN Times/I Made Argawa

Supanji mengaku, pemeliharaan kawasan WBD Subak Jatiluwih tidak ada dana yang diberikan oleh UNESCO sebagai pemberi status WBD.

“Tidak ada dana dari UNESCO. Tolong dicatat itu,” tegasnya.

Selain itu, menurut Undang-undang Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Cagar Budaya poin 22, bahwa pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan cagar budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan dan memanfaatkannya.

Dalam poin 33 menyebutkan, pemanfaatan adalah pendayagunaan cagar budaya untuk kepentingan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dengan tetap mempertahankan kelestariannya.

“Artinya harus kita manfaatkan untuk bisa melindungi kawasan itu. Kalau tidak dimanfaatkan kan jadinya rusak,” ujar Supanji.

Dalam siaran pers yang dikeluarkan oleh Pemkab Tabanan, disebutkan bahwa warga asli Jatiluwih belum merasakan dampak langsung dari status WBD yang ditetapkan oleh UNESCO.

Seorang warga Jatiluwih, I Gede Eka Wiguna, saat ditemui tim Humas Pemkab Tabanan di Kantor Perbekel Jatiluwih, Rabu (8/5) lalu, menyebutkan, dirinya kurang paham tentang WBD dan orang-orangnya seperti apa, serta apa imbas dari predikat tersebut.

“Tetapi kami yakin bila lembaga dunia (UNESCO) mengakui sistem subak di Jatiluwih, tentu karena ada keistimewaan tersendiri, meski secara langsung faedah status sebagai WBD belum dirasakan,” ujarnya.

Warga Banjar Jatiluwih Kangin, I Nengah Wirata, juga menyebutkan petani di Jatiluwih sudah menjaga lahan pertanian dengan sistem subak. Para petani di sana hanya meminta untuk dibantu pemeliharaan saluran air sehingga tidak bocor, dan sawah tetap mempunyai air.

“Kalau bisa digratiskan pajak PBB (Pajak Bumi dan Bangunan)-nya sehingga beban kami makin ringan. Tolong jangan berpolemik tentang Jatiluwih bila memang belum melihat dan mendengar keadaan kami. Jangan hanya mendengarkan dari sumber yang kurang jelas,” ungkapnya.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya