Deretan Konflik Agraria di Sekitar Ibu Kota Negara Baru Kalimantan

Pembangunan ini untuk siapakah sebenarnya?

Penulis: Ufiya Amirah

Pembangunan Ibu Kota Baru (IKN) di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur, menuai pro dan kontra. Di sisi lain, ternyata dalam kurun waktu yang cukup panjang juga telah terjadi konflik perebutan sumber-sumber penghidupan antara taipan dan warga setempat. Membangun Ibu Kota Baru bearti memerlukan ekspansi lahan baru dan tentunya akan muncul konflik baru pula.

Konflik agraria berbanding lurus dengan konflik sosial, berupa meningkatnya angka kemiskinan, kualitas pendidikan yang rendah, dan tingginya kriminalitas. Semakin luas lahan konflik, maka semakin besar kerugian masyarakat setempat. Berikut deretan konflik agraria di sekitar IKN, Kalimantan, sebagaimana laporan resmi sejumlah lembaga terkait.

Baca Juga: Menguak Perbudakan Buruh Sawit di Sumatra Utara

1. Ekspansi lahan oleh perusahaan milik asing

Deretan Konflik Agraria di Sekitar Ibu Kota Negara Baru KalimantanIlustrasi Perkebunan Kelapa Sawit (IDN Times/Sunariyah)

Konflik masyarakat Dayak, Kecamatan Kembang Janggut, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, dengan PT REA Kaltim, anak perusahaan REA Holdings PLC milik Inggris, sudah berlangsung sejak kepemimpinan Presiden Soeharto di Indonesia yakni pada tahun 1994.

Dalam laporan resmi Environmental Justice Atlas (EJA) pada 17 April 2017, PT REA Kaltim disebut mengelola 1,2 juta hektare tanah untuk perkebunan sawit. Sejak tahun 2005 hingga tahun 2012, perusahaan telah melakukan ekspansi lahan sebesar 30 persen. Akumulasi tanah oleh taipan sawit di Kaltim telah menyebabkan konflik yang melibatkan 620.000 penduduk.

Dalam laporan tersebut, dituliskan juga bahwa sejumlah aparat turut serta mengamankan perusahaan sehingga tetap beroperasi dan terhindar dari protes-protes warga Dayak. Walaupun penolakan masyarakat cukup keras atas PT REA Kaltim, namun pihak pemerintah disebut juga terlibat mempermudah perizinan operasionalisasi perusahaan.

2. Monopoli tambang di Kalimantan Timur dan minimnya akses listrik untuk warga

Deretan Konflik Agraria di Sekitar Ibu Kota Negara Baru KalimantanIlustrasi galian tambang batu bara ilegal di Waduk Samboja, Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara. IDN Times/Surya Aditya

Down to Earth (DTE), sebuah organisasi yang bermitra dengan berbagai lembaga di Indonesia dan internasional dalam mengampanyekan keadilan iklim dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, pada Agustus 2010, mengeluarkan laporan penelusuran dampak perusahaan tambang terhadap masyarakat Kalimantan. 

Dalam laporan yang berjudul Deadly Coal: Coal Exploitation and Kalimantans Blighted Generation itu, disebutkan bahwa dari 6 perusahaan yang memonopoli tambang di Kalimantan Timur, PT Berau Coal merupakan perusahaan terbesar yang mendominasi pengelolaan tambang dengan luas lahan 120.000 hektare per 2008.

PT Armadian Tritunggal (Indonesia) memiliki 51 persen Saham PT Berau Coal, Rognar Holding B.V (Belanda) sebanyak 39 persen, dan Sojitz Corporation (Jepang) sejumlah 10 persen.

Dijabarkan dalam laporan itu bahwa PT Berau Coal memproduksi 37,5 juta ton batu bara dan 85 persen (per 2008) di antaranya digunakan untuk ekspor. Namun, di tengah tingginya produksi tambang batu bara, persentase pengguna listrik warga Berau justru masih minim.

Dari 475 desa di kabupaten Kutai Barat, Kutai Timur, dan Berau, Kalimantan Timur, hanya sepertiga penduduk saja yang mendapatkan akses listrik. Selain itu, tidak sedikit juga warga sekitar tambang yang mengalami gangguan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). 

3. Pembelian lahan warga dengan harga yang sangat murah

Deretan Konflik Agraria di Sekitar Ibu Kota Negara Baru KalimantanIlustrasi Perkebunan Kelapa Sawit (IDN Times/Sunariyah)

Pada tahun 1996, berdiri sebuah perusahaan bernama Golden Agri Resources (GAR) milik Singapura yang merupakan perusahaan sawit kedua terbesar di dunia dengan kepemilikan luas lahan sebesar 463.400 hektare (per 2012) di Indonesia. GAR menggandeng perusahaan Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (PT SMART Tbk) untuk memasifkan akumulasi kapitalnya di Indonesia, khususnya di Sumatra dan Kalimantan.

Fokus produksi GAR dan PT SMART adalah Crude Palm Oil (CPO) untuk bahan bakar minyak dan Palm Kernel Oil (PKO) dan turunan bernilai tambah lainnya seperti margarin, minyak goreng, dan shortening, dengan total target produksi 10,6 juta per tahun.

Berdasarkan penelusuran Forest Peoples Programme (FFI) dan Transformasi Untuk Keadilan (TUK) Indonesia tentang Tinjauan Independen atas Dampak Sosial dari Kebijakan Konservasi Hutan GAR di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat pada Januari 2014 lalu, ditemukan bahwa walaupun operasionalisasi GAR telah berlangsung lama, namun warga Dayak Bayak, Kapuas, tidak banyak yang mengetahui tentang Hight Conservation Values Assessment (HCV) atau Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) perusahaan.

Seorang suku Melayu menuturkan bahwa pihak perusahaan membeli tanah mereka dengan harga 30 dolar Amerika Serikat per hektare. Jumah itu setara dengan penyewaan harga tanah antar warga setempat. Dalam perjanjiannya, perusahaan dapat mengelola tanah yang sudah dibayar selama 30 tahun dan dapat diperpanjang hingga 120 tahun.

Namun apabila warga tidak mendapatkan kesejahteraan atas pengelolaan tanah, maka tanah dapat dikembalikan. Sayangnya, perjanjian tersebut bersifat verbal dan tidak memiliki kekuatan hukum. Akibatnya, pihak perusahaan dapat dengan mudah melanggar perjanjian.

4. Penurunan kualitas sungai akibat galian tambang

Deretan Konflik Agraria di Sekitar Ibu Kota Negara Baru KalimantanIlustrasi lubang bekas galian tambang (IDN Times/Surya Aditya)

‘Membunuh Sungai’ menjadi tajuk utama laporan hasil pemantauan operasi tambang oleh Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur yang diterbitkan pada tahun 2020. Dalam temuannya, PT Indominco Mandiri (IMM) asal Thailand diduga melakukan pelanggaran Peraturan Daerah Kalimantan Timur No.02 Tahun 2011 dan Peraturan Pemerintah No.82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pencemaran Air.

Sebagai Pemegang Kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) sejak tahun 1998, PT IMM berhak atas konsesi lahan seluas 24.121 hektare. Menurut JATAM Kaltim, hingga 2028 pada masa berakhirnya PKP2B PT IMM, akan ada 53 lubang galian tambang dengan luas 2.823,73 hektare.

Lubang tersebut berisi air racun di Pit L11N1 seluas 53.05 hektare. Walaupun lubang galian tersebut berbahaya, diduga tetap terbuka menganga tanpa ada reklamasi yang dapat difungsikan dengan baik oleh warga setempat.

Dalam kesaksian warga Santan, Arbaim (65) kepada JATAM Kaltim, operasionalisasi PT IMM berdampak pada penurunan kualitas sungai Santan yang merupakan sumber air untuk menunjang kebutuhan domestik warga di sana. Tercemarnya sungai tersebut berdampak pula terhadap ekosistem hewan di Santan. Buaya buas sudah memakan 10 korban karena habitatnya dicemari limbah tambang.

Pada 29 Mei 2020, warga Desa Santan Hilir melakukan protes untuk memperingati Hari Anti Tambang dengan menerbangkan layang-layang raksasa.

Topik:

  • Ni Ketut Sudiani
  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya