Belajar dari Kasus Sulinggih, Kenapa Korban Pelecehan Sulit Berteriak?

Semoga peristiwa ini tidak terjadi lagi

Denpasar, IDN Times – Mengalami pelecehan seksual adalah mimpi buruk bagi semua orang. Banyak korban yang akhirnya memilih diam karena malu dan takut disalahkan. Sampai saat ini, bahkan masih sering muncul pertanyaan, mengapa korban pelecehan seksual tidak berteriak atau melawan saat kejadian? 

Pertanyaan ini pun banyak dilontarkan saat ramai pemberitaan kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum sulinggih (Figure yang dimuliakan) berinisial IBRASM, dengan nama welaka (Asli), I Wayan M (38). Pelaku I Wayan M pun sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Bali.

Berdasarkan kronologi kejadian yang disampaikan pihak korban kepada IDN Times, peristiwa tersebut terjadi di kawasan Pura Campuhan Pakerisan, Desa Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, pada 4 Juli 2020. Pelaku nekat melakukan tindakan asusila tersebut dengan dalih melukat (Pembersihan diri). 

Pada saat kejadian, selain pelaku dan korban, sesungguhnya suami korban, Ajik, juga berada di lokasi. Namun posisi Ajik dan istrinya terpisah, dengan jarak sekitar 10 meter. Oleh tersangka, tubuh korban ditutupi dengan kain. Kemudian muncul pertanyaan, mengapa korban tidak langsung berteriak dan meminta tolong kepada suaminya saat oknum sulinggih itu melakukan pelecehan? 

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari kita simak penjelasan dari Staf Sub Bagian Psikologi Instalasi Rehabilitasi Medik Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar, Lyly Puspa Palupi, saat dihubungi pada Senin (22/2/2021). Lyly mengungkap penyebab sebagian besar korban sulit berteriak saat mereka mengalami pelecehan seksual. 

Baca Juga: [LIPSUS] Berkedok Pembersihan, Sulinggih di Bali Tersangka Pelecehan

1. Kondisi psikis korban saat kejadian tertekan

Belajar dari Kasus Sulinggih, Kenapa Korban Pelecehan Sulit Berteriak?Ilustrasi Pelecehan (IDN Times/Mardya Shakti)

Lyly menyampaikan bahwa pada saat kejadian pelecehan seksual, biasanya kondisi psikis korban dalam keadaan tertekan karena terancam. Apalagi bila disadari bahwa pelaku lebih dominan, baik dalam hal jumlah pelaku, status atau relasi dengan korban. Pada kasus lainnya, kemungkinan korban menyadari bahwa tidak ada orang lain yang bisa menolong dirinya.

Dalam keadaan seperti itu, korban merasa tidak berdaya. Maka salah satu kemungkinan respons korban adalah freeze atau terdiam. Karena korban tidak melihat ada kemungkinan untuk lari atau melawan. 

Baca Juga: PHDI Bali Buka Suara Soal Oknum Sulinggih Tersangka Pelecehan Seksual

2. Ada tiga respons yang kemungkinan terjadi pada korban

Belajar dari Kasus Sulinggih, Kenapa Korban Pelecehan Sulit Berteriak?Ilustrasi (IDN Times/Mardya Shakti)

Ketika mendapat perlakukan pelecehan seksual, ada tiga respons yang kemungkinan terjadi pada korban. “Jadi secara teori, saat seseorang menghadapi situasi sulit, menantang, bahkan mengancam dirinya, ada 3 kemungkinan respona yang ditampilkan,” ungkap Lyly.

Tiga kemungkinan tersebut di antaranya, pertama, fight yakni respons melawan, menghadapi langsung hingga mencari cara untuk menyelesaikan masalah. Kedua, flight yakni lari atau menghindari masalah. Dan yang ketiga, freeze yakni respons diam, tidak bisa melakukan langkah menghadapi atau menghindari.

Baca Juga: Trik Memastikan Sulinggih Memiliki Track Record Baik di Bali

3. Seringkali pelaku memperlakukan korban sedemikian rupa sehingga ia merasa bersalah

Belajar dari Kasus Sulinggih, Kenapa Korban Pelecehan Sulit Berteriak?Ilustrasi pelecehan wanita (ANTARAnews)

Menurut Lyly, berikut beberapa bentuk tindakan pelecehan seksual:

  • Pelecehan secara fisik yakni tindakan yang mengarah ke perbuatan seksual seperti mencium, menepuk, memeluk, mencubit, mengelus dan lain-lain
  • Pelecehan secara verbal atau lisan, berupa ucapan verbal atau komentar yang tidak diinginkan tentang kehidupan pribadi, bagian tubuh atau penampilan seseorang. Termasuk lelucon dan komentar bermuatan seksual
  • Pelecehan nonverbal, berupa bahasa tubuh atau gerakan tubuh bernada seksual. Contohnya kerlingan mata berulang-ulang, menatap tubuh penuh nafsu, melempar isyarat dengan jari tangan, menjilat bibir, dan lain-lain
  • Pelecehan secara psikologis, berupa permintaan dan ajakan terus-menerus yang tidak diinginkan. Seperti ajakan kencan yang tidak diharapkan, dan penghinaan atau celaan bersifat seksual
  • Pelecehan secara visual yaitu dengan memperlihatkan materi pornografi berupa foto, poster, gambar kartun, screensaver atau lainnya. Juga pelecehan melalui email, SMS, WhatsApp, dan lain sebagainya
  • Pelecehan paling ekstrem adalah kekerasan seksual berupa penyerangan secara seksual.

Lyly mengungkapkan bahwa respons korban tentu tergantung bentuk pelecehannya. Pada tindakan pelecehan di mana ada kesempatan bagi korban untuk melawan, mengatakan ketidaknyamanan atas tindakan tersebut, maka sebaiknya hal itu dilakukan.

“Kemudian yang perlu juga disadari bahwa tindakan tersebut terjadi bukan karena kesalahan si korban. Seringkali pelaku memperlakukan korban sedemikian rupa sehingga ia merasa bersalah,” ungkapnya.

Apabila tindakan pelecehan ini berkelanjutan, maka sebaiknya korban mencatat kronologis kejadian, menyimpan bukti-bukti, misalnya screenshoot percakapan di media sosial yang mengarah ke pelecehan dan lain-lain. Sehingga data-data tersebut dapat dijadikan bukti saat akan melapor ke pihak berwenang.

Baca Juga: Penyebab Korban Tidak Memberontak Ketika Mendapatkan Pelecehan Seksual

4. Berani bicara merupakan langkah besar dan sangat penting

Belajar dari Kasus Sulinggih, Kenapa Korban Pelecehan Sulit Berteriak?Ilustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Mardya Shakti)

Korban juga perlu bicara kepada orang yang dapat ia percaya, seperti keluarga, sahabat, atau pasangan. Sehingga nantinya bisa ditindaklanjuti dengan melakukan pengaduan ke lembaga terkait yang bisa membantu. Misalnya ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak yang ada di setiap kabupaten.

“Berani bicara kepada orang lain yang dapat dipercaya merupakan langkah besar dan sangat penting bagi korban untuk menghindari dampak psikologis yang lebih serius seperti trauma. Korban disarankan untuk berkonsultasi dengan tenaga kesehatan mental, seperti Psikolog atau Psikiater jika membutuhkan pendampingan lebih lanjut,” jelasnya.

5. Korban dapat menghubungi nomor-nomor penting ini

Belajar dari Kasus Sulinggih, Kenapa Korban Pelecehan Sulit Berteriak?IDN Times/Sukma Shakti

Apabila mengalami kekerasan, khususnya terhadap perempuan dan anak, masyarakat diimbau untuk berani melapor dan membantunya. Berikut nomor kontak maupun narahubung yang dapat dihubungi:

Komnas Perempuan

  • Telepon: 021-3903963
  • Fax: 021-3903922
  • Tautan: https://s.id/6Tsdx
  • Email: petugaspengaduan@komnasperempuan.go.id
  • Facebook: www.facebook.com/stopktpsekarang/
  • Twitter: @komnasperempuan

LBH APIK

  • WhatsApp: 0813-8882-2669 (WA only) mulai pukul 09.00-21.00 WIB
  • Email: PengaduanLBHAPIK@gmail.com.

6. Nomor kontak Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) di Jajaran Polda Bali

Belajar dari Kasus Sulinggih, Kenapa Korban Pelecehan Sulit Berteriak?IDN Times/Sukma Shakti

7. Nomor kontak Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA/P2TP2A) Provinsi Bali

Belajar dari Kasus Sulinggih, Kenapa Korban Pelecehan Sulit Berteriak?IDN Times/Sukma Shakti

8. Nomor kontak Jejaring Pemerhati Perempuan dan Anak di Provinsi Bali

Belajar dari Kasus Sulinggih, Kenapa Korban Pelecehan Sulit Berteriak?IDN Times/Sukma Shakti

Topik:

  • Ni Ketut Sudiani
  • Septi Riyani
  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya