Ubud Food and Festival 2024 (IDN Times/Febrianti Diah)
Apa yang terlihat selama ini dari sebuah makanan, ternyata tak sesederhana yang terlihat. Ada begitu banyak proses yang terlibat di dalamnya dan ada nilai-nilai tradisional yang juga terkandung dari makanan yang kita konsumsi sehari-hari. Untuk itu upaya pelestarian makanan Indonesia memang wajib jadi agenda utama dalam mempertahankan budaya Indonesia.
“Street food begitu dekat dengan masyarakat. Street food mudah ditemui di jalanan, layaknya pom bensin. Oleh karena itu terms street food memang bermula dari lokal. It has to be connected with the local and has direct economic impact for the vendors,” terang Chef Ragil.
“Namun sayangnya saat ini di stall street food yang bermunculan di pasar-pasar malam atau di sebuah keriaan adalah makanan nonIndonesia. Ambil contoh jajanan khas Korea yakni tteokbokki. Sepertinya orang Indonesia lebih familiar dengan makanan ini. Atau dengan gochujang yang menyertai. Padahal kita tahu bahwa harga gochujang asli itu tidak murah. Jika ada masyarakat lokal yang menjualnya dalam bentuk makanan yang terjangkau, I wouldn’t even want to say apa yang terkandung di dalamnya.”
Menyikapi kondisi street food Indonesia yang seperti ini, begitu juga dengan kualitas sanitasi yang menyertai, baik Chef Ragil maupun Kevindra sama-sama meminta pemerintah untuk menerapkan regulasi yang jelas dalam penjualan street food.
“Kita harus punya standarisasi yang jelas tentang kualitas dan kebersihan makanan yang dijual masyarakat. Sebab dari street food pula, kita bisa berperan untuk menjaga kekayaan kuliner Indonesia,” ujar Chef Ragil.
Kevindra Soemantri pun menambahkan, “Hal yang sebenarnya sedang terjadi adalah cultural economic world alias mereka yang lebih powerful punya kekuatan untuk mengekspor budayanya dan masuk ke budaya lain. Jika kita tidak menjaga apa yang sudah kita punya, maka yang terjadi adalah soft colonization food culture. Untuk itu pemerintah seyogyanya punya program untuk memperkenalkan budaya dan makanan baik itu ke dalam negeri maupun ke luar negeri dengan massive blueprint alias ketika terjadi pergantian pemimpin, program tersebut masih berjalan dengan baik.”
Tidak ada yang ingin dunia gastronomi Indonesia mati perlahan dan jadi legenda yang hanya bisa diceritakan kepada anak cucu beberapa tahun ke depan. Untuk itu diperlukan kerja sama dari berbagai pihak mulai dari stakeholder, komunitas, dan masyarakat dalam unit terkecil untuk melestarikan kuliner Indonesia yang jadi kekayaan negara ini.
Dokumentasi adalah hal termudah yang bisa dilakukan oleh anak muda untuk membantu dalam pelestarian kuliner. Datangi tempat yang menyajikan kuliner lezat itu, rasakan, telaah dengan detail komponen dan rasa apa saja yang berpadu di dalamnya, catat atau tuliskan, dan bagikan menggunakan platform media sosial yang kamu punya. Jika memungkinkan, dokumentasikan pula bagaimana proses membuat hidangan tersebut from the scratch hingga bisa tersaji di hadapanmu.
Sebab jika bukan kita sendiri orang asli Indonesia yang melakukannya, maka siapa lagi? Jika Presiden Sukarno bisa mengarsipkan ratusan resep masakan khas Indonesia dalam buku berjudul Mustika Rasa, maka kita sebagai anak muda yang tumbuh dengan berbagai macam kemudahan teknologi, tentu bisa melakukan hal serupa dan bahkan lebih baik.
“Kuasailah satu menu makanan dan jadilah ahli di makanan tersebut sehingga ketika orang lain sedang mencari informasi tentang makanan itu, maka mereka akan menghubungimu. Trust me, jika kamu tidak fokus di satu makanan alias semua makanan ingin kamu bahas, you’ll be overwhelmed,” pungkas Uni Reno.