TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Produk Pangan Olahan Bali Kalah di Pasar Lokal

Harus segera berinovasi dan transformasi

Foto hanya ilustrasi. (IDN Times/Ayu Afria)

Badung, IDN Times – Provinsi Bali menjadi contoh wilayah pemulihan dan transformasi ekonomi pasca pandemik COVID-19 di Indonesia. Apa indikatornya? Membidik diversifikasi ekonomi dan mengembangkan sektor industri berbasis keunggulan lokal untuk melengkapi sektor pariwisata.

Hal tersebut diungkapkan dalam diskusi Indonesia Development Forum (IDF) IDEA Series: Innovate yang diselenggarakan pada Jumat, (3/6/2022) di Kuta, Kabupaten Badung. Apa saja yang dibahas dalam forum tersebut? Masa depan industri Bali, implementasi Peta Jalan Ekonomi Kerthi Bali, dan kontribusinya untuk Transformasi Ekonomi Indonesia. 

Baca Juga: Perekonomian Terpuruk, Bali Luncurkan 6 Konsep Ekonomi Kerthi Bali

1. Bali tidak bisa terus bergantung pada pariwisata, perlu bertranformasi

Ilustrasi sektor kerajinan di Pasar Seni Ubud. (IDN Times/Ayu Afria)

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Bali, I Wayan Wiasthana Ika Putra, menyampaikan bahwa Pemerintah Pusat melalui Bappenas telah menyiapkan konsep transformasi ekonomi untuk Provinsi Bali.

Adapun konsep ekonomi dalam jangka pendek adalah bangkitnya sektor pariwisata Bali setelah pandemik COVID-19. Sedangkan konsep ekonomi jangka panjang, ekonomi Bali harus bertransformasi, terutama potensi sektor pertaniannya dan Industri Menengah Kecil (IMK).

“Bali memang selamanya akan menjadi daerah pariwisata, tapi tidak boleh kita tergantung selamanya oleh pariwisata. Oleh karena itu, sektor lain, di pertanian dan Industri Kecil Menengah, harus kita perkuat terus,” ujarnya.

Perwakilan PT Bali Chocolate dan Sunsri House Jewelry juga membeberkan tantangan dan target masa depan industri pertanian dan industri pengolahan di Bali. 

2. Produk lokal Bali belum mampu kuasai pasar lokal

Industri kerajinan di Bali. (IDN Times/Ayu Afria)

Sementara itu, Kepala Dinas Perindustrian, dan Perdagangan Provinsi Bali, I Wayan Jarta, mengungkapkan Bappenas mencari solusi dari permasalahan yang dihadapi para pelaku usaha di Bali melalui kegiatan diskusi tersebut. Terutama bagaimana pelaku usaha bisa menghasilkan produk yang berdaya saing di pasar lokal, nasional, maupun internasional.

Pelaku usaha kerajinan di Bali masih dihadapkan dengan persoalan ketersedian bahan baku. Bagi perusahaan skala besar, bahan baku bisa distok. Namun berbeda bagi pelaku usaha kecil yang tergantung dengan perubahan harga bahan baku. Misalnya untuk emas dan perak, para pelaku usaha dalam menjalankan produksinya, harus bergantung pada harga bahan tersebut. Jarta mengungkapkan bahwa hasil diskusi ini nantinya bisa direkomendasikan sebagai acuan pengembangan industri kerajinan di Bali.

Pohon coklat di Bali. (IDN Times/Ayu Afria)

Contoh bahan baku lain adalah coklat. Bahan baku kakao tergantung dengan keberhasilan di hulu. Menurutnya, konsep bahan baku khusus di sektor pertanian ini tidak bisa dipikirkan sepotong-sepotong. Artinya, harus ada pembenahan dari hulu hingga hilirnya.

“Kita jangan terlalu berpikir pasar internasional lah. Bagaimana kita bisa membangun pasar lokal dulu. Pasar nasional dulu kita rambah. Baru setelah itu kita ekspor juga,” terang Jarta.

Pentingnya penguasaan pasar lokal ini, harus didukung dengan kecintaan masyarakat Bali terhadap produk-produk lokal. Apalagi terkait dengan produk pangan olahan Bali, diakuinya kalah di pasar lokal. Kalahnya produk pangan lokal ini disebabkan beberapa hal, termasuk kurangnya inovasi.

“Kita terlanjur ditimpa pasar luar kan. Pasar luar yang junkfood-lah. Ya makanan-makanan yang itu. Nah, mengembalikan ini, kembali ke produk lokal kan perlu edukasi. Perlu sosialisai supaya mayoritas masyarakat Bali ini mengkonsumsi produk lokal ini,” terangnya.

Berita Terkini Lainnya