Bisnis Kos-kosan di Bali Macet, Hingga Penghuni Memilih Pulang Kampung
Semoga pandemik ini cepat berlalu
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Badung, IDN Times – Pandemik COVID-19 yang berjalan lebih dari satu tahun ini membuat para pebisnis banyak yang gulung tikar. Terutama pebisnis properti dan hospitality di Provinsi Bali, yang sejak awal dapurnya memang mengepul karena sektor pariwisata. Aktivitas di Bali sebelum tahun 2020 lalu tidak pernah mati. Selalu diburu oleh pelancong maupun mereka yang mengadu nasib untuk mencari pekerjaan.
Sampai berita ini ditulis, Bali masih sepi kunjungan wisatawan asing (Wisman). Banyak club malam, hotel dan restoran tutup temporary alias sementara. Begitu pula bisnis kos-kosan, rumah sewa, dan lainnya juga ikut terdampak. Karena tutupnya aktivitas perekonomian tersebut, banyak pekerja yang dihentikan alias terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Tak ada sumber penghasilan lagi. Para pekerja pilih balik kampung.
Begitu juga aktivitas dunia pendidikan yang sudah ditetapkan melalui daring, membuat para mahasiswa juga berpikir ulang untuk tetap stay di kosannya saat ini. Apakah mereka memilih bertahan di Bali ataukah pulang kampung? Berikut ini hasil penelusuran IDN Times.
Baca Juga: Tanam Porang di Lahan Tidak Produktif Bisa Menghasilkan Uang Lho
1. Pebisnis kos-kosan di Banjar Padang memberikan potongan harga sewa kos-kosan
IDN Times mewawancarai seorang pebisnis kos-kosan di Banjar Padang, Kelurahan Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Selasa (16/2/2021) lalu. Namanya Bagus Putra. Ia memulai bisnis kos-kosan sejak tahun 2017, dan sampai sekarang memiliki 28 kamar kos di samping rumahnya. Harga sewanya Rp500 hingga Rp650 ribu per bulan.
Sejak pandemik COVID-19, tepatnya pada pertengahan tahun 2020 sekitar bulan Mei dan Juni, para penyewa kosnya mulai meminta keringanan harga sewa kos. Ada juga yang berhenti sewa kos karena kehilangan pekerjaan. Para penyewa tersebut merupakan pekerja di sektor pariwisata dan mengaku diberhentikan dari tempatnya bekerja.
“Iya betul, sejak pertengahan tahun 2020, banyak penyewa kos yang memilih berhenti karena sudah tidak bekerja lagi dan pulang ke kampung halamannya. Sampai hari ini masih ada beberapa kamar kos yang kosong. Yang terisi 12 kamar," ungkapnya.
Sebagai pemilik kos, ia kemudian memasang strategi dengan memberikan keringanan pembayaran uang sewa. Meski tidak mendapatkan bantuan subsidi dari pemerintah, namuan ia melakukan ini dengan alasan kemanusiaan.
“Kami berusaha memahami kondisi penyewa. Kami tidak dapat subsidi dari pemerintah. Saya mencoba untuk memberikan potongan harga, sesuai kemampuan penyewa kos. Ada juga yang meminta keringanan membayar kos dengan mencicil,” ujarnya.
Dari pihak desa dan kepala lingkungan diakuinya pernah melarang menerima penyewa kos baru, dengan alasan untuk mencegah penularan COVID-19. Namun sejak awal tahun 2021 ini, mereka kembali mengizinkan menerima penyewa kos baru. Meskipun begitu, ia tetap mengetatkan protokol kesehatan (Prokes) di area kos-kosannya. Yakni mulai pelaporan diri lebih awal ke Kepala Lingkungan sebelum menempati kos.