Saya Memang Lelah, Tapi Alam Kembali Menghidupkan Jiwa Ini
Catatan perjalanan menyusuri keindahan Gunung Agung Bali
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Sejak lama saya mendamba suasana ini, sepi yang hijau di tengah hembusan angin pegunungan yang tandus. Bau tanah kering yang harum saat tersiram tetesan air minum. Juga tajamnya bebatuan yang terbalut debu-debu lembut sepanjang kaki menapak. Langkah saya saat itu terasa berat, jantung juga berdetak kencang. Ini kali pertama saya menempuh perjalanan mengikuti jejak seorang pemandu yang menjadi narasumber beberapa minggu sebelumnya. Namun saya yakin, saya akan baik-baik saja.
Karangasem, IDN Times – Berawal dari perkenalan pertengahan Desember, Kamis (16/12/2021) lalu. Saya menghubungi seorang pemandu pendakian asal Karangasem yang bernama I Ketut Mudiada. Nomor pendaki tersebut sebenarnya sudah saya simpan sejak 2 tahun sebelumnya. Namun baru saya hubungi saat itu karena saya mencari seorang relawan di Bali untuk sebuah artikel tulisan human story.
Perbincangan di telepon lebih kurang hampir 1 jam. Jujur saya terpukau dengan kisahnya yang mengevakuasi mayat korban pendaki muda asal Swedia, Erick Daniel Peterson (25), pada 31 Maret 2010 silam. Kisah itu kemudian saya rangkaikan menjadi artikel terbit di IDN Times dengan judul Kisah Relawan di Bali, Evakuasi Korban di Kawah Sedalam 150 Meter. Kalian bisa membacanya!
Bli Mudi begitu saya memanggilnya. Pemandu senior itu menyambut hangat keinginan saya untuk berkunjung ke Karangasem. Kunjungan itu direncanakan saat saya mengambil cuti. Rupanya niat berkunjung hanya untuk beberapa jam sebatas bertegur sapa malah berubah menjadi rencana trekking Gunung Agung. Bagaimana rasanya trekking dan camping di 6 kilometer dari puncak Gunung Agung?
Baca Juga: Sejarah Gunung Batukaru, Gunung yang Dikeramatkan di Tabanan Bali
1. Diri ini memerlukan sesuatu yang lebih luas dari pikiran
Sejak 4 bulan terakhir, telepon pintar saya berdering hampir setiap minggu, bapak dan ibu meminta agar sesekali pulang ke kampung halaman di Pulau Jawa. Mereka mengatakan memendam kerinduan kepada putrinya.
“Masak nggak ada cutinya? Ambillah cuti. Kamu tidak rindu ya?” itu suara ibu yang terngiang di telinga.
Pesan mereka pun tidak juga mampu merayu jiwa ini yang telah lelah. Saya masih enggan untuk pulang kampung. Maafkan anakmu! Saya sudah kekeuh untuk merantau.
**
Sebenarnya saya malu sama Tuhan. Tahun-tahun terberat bagi semua makhluk yang ada di bumi ini, termasuk juga saya. Pendemik COVID-19 yang menurut saya malah berhasil memaksa bumi ini pulih, nyatanya tidak benar-benar menyadarkan sikap manusia. Jenuh dengan fakta-fakta yang saya temukan di lapangan, mencatat peristiwa yang justru menempatkan saya seakan mengalaminya sendiri. Pernahkah kalian merasa hambar saat mendengar kedukaan?
Itulah yang saya alami, saya tidak bersedih dan tidak pula menangis mendengar kabar kematian. Prasangkaku sepertinya sudah melampaui batas. Saya memberanikan diri mengakui bahwa saya tidak baik-baik saja Tuhan.
Akhirnya saya memilih cuti pada 22 hingga 24 Desember 2021 lalu untuk menyentuh alam. Kali ini jiwa saya tergerak mengikuti ajakan Bli Mudi untuk menikmati keindahan Gunung Agung dari Desa Dukuh, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Cuti mendadak, trekking dan camping mendadak. Semuanya serba mendadak.
Berangkat lebih awal pada 21 Desember 2021 menjelang siang dari arah Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, menuju Candidasa di Kabupaten Karangasem. Sebelumnya saya sudah diwanti-wanti bahwa tidak boleh membawa makanan berbahan daging sapi dan babi saat ke Gunung Agung. Sebenarnya pikiran saya belum beranjak dari tragedi-tragedi yang terjadi di negeri ini. Ingatan saya menulis tentang Nanggala 402 on Eternal Patrol, Yunicee, Letusan Gunung Semeru, dan pecahan-pecahan peristiwa lainnya masih menganggu pikiran.
Belum lagi mengurus masalah pribadi, perpisahan, musibah, hingga ludesnya tabungan yang selama ini saya simpan. Tahun yang lumayan berat bagi saya. Peristiwa-peristiwa itu memenuhi seluruh isi kepala. Namun saya tetap patut bersyukur, saya melaluinya sebaik mungkin. Meskipun saya akui saya sangat kelelahan.
Saya berangkat ke Dukuh dengan membawa beban pikiran dan perasaan. Tidak ingin ribet, hanya menyiapkan keperluan sesederhana mungkin, seperti sleeping bag, satu pasang baju ganti, handuk, jaket, satu kotak kurma, dan uang Rp200 ribu. Hanya itu bekal saya camping.
Lalu berkendara dengan kecepatan tinggi menuju Karangasem. Saya mungkin terlihat baik-baik saja saat itu, tapi saya merasa sudah diambang kejenuhan. Saya ingin healing, itu saja.
Sementara Bli Mudi, persiapannya jauh lebih lengkap. Ia membawa carrier besar dan masih ditambah lagi satu tas dan barang bawaan lainnya. Saya mencoba membandingkan dengan barang bawaan saya yang hanya satu tas ransel kecil. Se-simple ini kah aku? Apakah ternyata aku tidak siap?
**
Dengan PeDe-nya saya bertanya apakah ada pasar rakyat di bawah lokasi camping? Bli Mudi hanya tersenyum tipis, yang menegaskan tidak ada harapan untuk menemukan pasar itu. Tahu saya salah persiapan, kemudian ia membelikan ikan asap untuk bekal selama camping tersebut dan kami menuju lokasi.