Kesakralan Wayang Wong di Klungkung, Berdialog Pakai Jawa Kuno

Topeng yang dipakai juga berumur ratusan tahun

Pementasan Wayang Wong (Parwa), sampai saat ini sudah cukup sulit ditemukan di Bali. Setelah vakum beberapa waktu, krama di Desa Adat Sangkanbuana, Kabupaten Klungkung, kembali membangkitkan tradisi seni leluhur mereka. Wayang Wong tersebut dipentaskan setiap Hari Raya Kuningan, di jaba sisi Pura Puseh.

Uniknya, Wayang Wong ini diiringi oleh tabuh gong anak-anak, dan sejumlah remaja menari memerankan tokoh pewayangan, dengan memakai tapel (Topeng) sakral berusia ratusan tahun.

1. Penari memakai topeng berusia ratusan tahun, dan berdialog Jawa kuno

Kesakralan Wayang Wong di Klungkung, Berdialog Pakai Jawa KunoIDN Times/Wayan Antara

Bendesa Adat Sangkanbuana, Ketut Tinggal, mengungkapkan topeng yang dipakai para penari Wayang Wong bukanlah topeng biasa. Melainkan topeng yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Ada berbagai tokoh seperti Topeng Malen, Merdah, Rahwana, Anoman, Jatayu, Dalem, Sangut, Subali, dan Sugriwa, hingga burung garuda.

Uniknya, meski sudah berusia ratusan tahun dan tak pernah dirawat secara khusus, topeng-topeng yang selalu diupacarai sebelum dipentaskan tersebut masih nampak baru. Walaupun berbahan dasar dari kayu, kondisinya tetap bagus dan berkilau. Selama ini puluhan topeng sakral tersebut disimpan di dalam rak kaca di Pura Pucak Desa Adat Sangkanbuana. Selain itu dalam dialognya, para penari masih menggunakan bahasa Jawa kuno.

"Topengnya terbuat dari kayu pule, sampai sekarang masih bagus. Kalau rusak ada beberapa, tapi paling hanya hiasan gelungan yang lepas. Jadi kami cuma nyambung yang lepas-lepas saja," ungkapnya.

2. Kesulitan mencari penari Wayang Wong dari kalangan muda

Kesakralan Wayang Wong di Klungkung, Berdialog Pakai Jawa KunoIDN Times/Wayan Antara

Di balik gelak tawa para krama yang setia menonton banyolan para penari, rupanya tersimpan 'keresahan' dari tokoh masyarakat setempat. Lantaran merawat tradisi Wayang Wong ini tidaklah mudah. Pada zaman yang serba canggih ini, tokoh masyarakat mulai kesulitan mencari bibit-bibit penari muda. Apalagi mayoritas penarinya adalah laki-laki dan dialognya juga menggunakan Bahasa Jawa kuno (Kawi).

"Kami sangat sulit mencari sekaa (Pemuda) untuk pementasan Wayang Wong ini. Karena kebanyakan laki-laki dan memakai Bahasa Kawi. Kalau untuk tabuhnya kami tidak ada masalah, dengan latihan anak-anak di sini semua bisa," tutur Ketut Tinggal.

3. Untuk mementaskan tarian ini, mereka harus mencari pemain dari desa sebelah yang menguasai Bahasa Kawi

Kesakralan Wayang Wong di Klungkung, Berdialog Pakai Jawa KunoIDN Times/Wayan Antara

Dalam setahun, Wayang Wong tersebut dipentaskan dua kali. Yaitu setiap Hari Raya Kuningan dan Purnama Kapat. Perlu persiapan panjang, terutama untuk memilih penari yang diseleksi dari pemuda-pemuda setempat.

Ketut Tinggal mengatakan, kali ini dirinya terpaksa melibatkan penari dari desa lain yang berasal dari Manduang dan Losan. Lantaran penari yang sanggup mengusai Bahasa Kawi sangat terbatas. Tahap selanjutnya adalah menyusun dialog yang dikoordinasi oleh seniman lokal, Wayan Bawa.

"Semua penari baru belajar dan kami latihan di balai banjar. Selama ini kami juga terbentur dana. Utamanya kami perlu anggaran ratusan juta untuk beli pakaian untuk pementasan," imbuhnya.

Baca Juga: Fenomena Pernikahan Beda Kasta di Bali & Perawan Tua, Diskriminasikah?

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya