Sejarah 6 Pura di Tabanan yang Ditetapkan Sebagai Cagar Budaya

Dijadikan tempat memohon kemakmuran hingga kesuburan

Kamu tahu gak sih, ada enam pura yang kini telah ditetapkan sebagai cagar budaya peringkat Kabupaten Tabanan. Yaitu Pura Luhur Batukau, Pura Luhur Tamba Waras, Pura Luhur Muncak Sari, Pura Luhur Besi Kalung, Pura Luhur Petali, dan Pura Luhur Sekartaji. 

Kepala Dinas Kebudayaan Tabanan, IGN Supanji, pada 15 Februari 2021 lalu menyebutkan ada beberapa kriteria supaya benda, bangunan, atau struktur dapat diusulkan sebagai benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, atau struktur cagar budaya. Berikut ini di antaranya:

  • Berusia 50 tahun atau lebih
  • Mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 tahun
  • Memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan.
  • Memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.

Untuk mengenal lebih dekat, berikut ini sejarah enam pura cagar budaya di Tabanan yang dihimpun IDN Times dari catatan di Dinas Kebudayaan Kabupaten Tabanan.

Baca Juga: Mengenal Ilmu Leak, Paling Ditakuti di Bali Tapi Diminati Orang Eropa

1. Pura Luhur Batukau, sebagai tempat memohon keselamatan dan kemakmuran hidup

Sejarah 6 Pura di Tabanan yang Ditetapkan Sebagai Cagar BudayaPura Luhur Batukau (kebudayaan.kemdikbud.go.id)

Berdasarkan catatan di Dinas Kebudayaan Kabupaten Tabanan, secara administrasi Pura Luhur Batukau berada di Desa Wongaya Gede, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan. Secara geografis terletak pada titik koordinat 50 L 0291058, 9074070 UTM (Akurasi 3 meter). Pura Luhur Batukau berada pada ketinggian 833 meter dari permukaan laut, memiliki luas lahan 2600 meter persegi termasuk laba pura. Pura Luhur Batukau ini milik dan dikelola oleh masyarakat Desa Pekraman Wongaya Gede.

Pura Luhur Batukaru atau Pura Luhur Watukaru memiliki sebutan dan makna yang sama. Dalam beberapa sumber sastra menyebutkan Watukaru, tetapi masyarakat umum lumrah menyebutnya dengan Batukau.

Kata Watukaru atau Batukau terdiri dari dua suku kata, yakni batu/batu dan karu/kau. Batu dalam Bahasa Bali berarti batu biasa. Sedangkan menurut Agama mengandung makna kekuatan, ataupun sumber energi. Karu/kau bermakna bentuk seperti tempurung kelapa.  Sehingga dapat disimpulkan, Batukau bermakna kekuatan penutup (Penangkeb dalam Bahasa Bali).

Berdasarkan data-data tertulis (Babad), epigrafi Pura Batukau didirikan oleh Mpu Kuturan pada masa pemerintahan Raja Bali Kuna dinasti Warmadewa, yaitu Raja Masula Masuli yang menganut ajaran Siwa-Budha sekitar abad 12 masehi.  

Pura ini adalah zenith atau pusat dari Catur Angga Pura Sad Kahyangan Jagat Bali Luhur Batukaru. Pura ini dikenal sebagai tempat beberapa pura subak untuk memohon keselamatan dan kemakmuran hidup, dengan melaksanakan upacara keberhasilan bercocok tanam. Selain itu juga dijadikan sebagai tempat suci untuk memohon keselamatan hidup dari berbagai pekerjaan umat se-dharma.

2. Pura Luhur Tamba Waras, tempat memohon kesehatan lahir batin

Sejarah 6 Pura di Tabanan yang Ditetapkan Sebagai Cagar BudayaPura Luhur Tamba Waras. (Dok.IDN Times/Humas Tabanan)

Pura Luhur Tamba Waras secara administrasi berlokasi di Desa Sangketan, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan. Secara geografis terletak di titik koordinat 50 L 0289803, 9069770 UTM.

Pura Luhur Tamba Waras berdiri di atas tanah kering dan tengah-tengah tanah palaba pura seluas 15 hektare. Lokasi Pura Luhur Tamba Waras mengambil area kurang lebih 1 hektare. Pura Luhur Tambawaras ini milik dan dikelola oleh masyarakat Desa Adat Sangketan.

Nama Pura Luhur Tamba Waras berasal dari Bahasa Bali yang terdiri dari dua kata dasar  tamba dan waras. Tamba adalah menunjukkan kata benda yang berarti obat. Sedangkan waras adalah kata sifat yang berarti sembuh.

Dalam sebuah kajian, kata tamba waras berarti obat penyembuh. Jadi penamaan Pura Luhur Tamba Waras ini berdasarkan filosofi manifestasi Ida Sanghyang Widhi dalam penjabarannya, karakter dan fungsi Pura secara umum maupun khusus. Sementara di dalam struktur Weda tidak ada yang menyebutkan tentang Ida Bhatara Tamba Waras. Namun hal ini muncul sebagai akibat dari kepentingan kehidupan umat manusia dalam penjabaran sakti Dewa Mahadewa.

Menurut keterangan cerita masyarakat setempat, Pura Luhur Tamba Waras dibangun pada zaman berdaulatnya Kerajaan Tabanan. Menurut Ucap Kundalini, bahwa Pura Luhur Tambawaras merupakan pesanakan Dimade. Istilah Dimade merupakan bagian kekuatan penyangga Pura Sad Kahyangan Jagat Bali Luhur Batukau.

Kekuatan tersebut memegang peranan penting terutama di bidang keamanan, ketenangan jiwa dan kewarasan yang meliputi kehidupan penduduk Kabupaten Tabanan.

Pura Luhur Tamba Waras ini awal mulanya dibangun ketika Raja Tabanan dalam keadaan sakit. Bhagawanta memberikan nasihat untuk mencari obat di atas tanah yang sedang berasap. Raja kemudian mengutus abdinya untuk mencari lokasi tanah berasap yang dimaksud.

Abdi kerajaan berjalan menelusuri daerah pegunungan ke utara tanpa arah, hingga melewati Munduk Tegayang Babakan, Sangketan, dan kemudian sampai di Kayu Puring. Di tengah-tengah rumpun bambu, sang abdi melihat kukus (Asap) yang mengepul dari tanah. Abdi berpikir mungkin inilah lokasi yang dimaksud Rajanya. Tanpa berpikir panjang abdi raja memohon obat guna kesembuhan di tempat tersebut. Setelah mendapatkan bahan obat-obatan, raja lambat laun menjadi Waras (sembuh) kembali seperti sediakala.

Seluruh kerabat kerajaan, abdi, dan masyarakat tenang setelah mendengar rajanya sembuh. Lokasi untuk mendapatkan obat penyembuh itu sangat penting dihormati, supaya penyakit yang sangat mengenaskan itu tidak kambuh lagi di masa mendatang. Untuk itu Raja mengajak seluruh masyarakat untuk menghormati manifestasi Tuhan, sebagai pemberi anugerah menyembuhkan segala macam penyakit secara lahir dan batin.

Raja Tabanan juga memerintahkan seluruh abdinya untuk membangun Kahyangan di tengah-tengah rumpun bambu tersebut, dan diberi nama Pura Luhur Tamba Waras. Sampai sekarang, banyak masyarakat yang sakit disarankan untuk memohon restu Ida Bhatara Luhur Tamba Waras.

Baca Juga: 4 Pesan Bijak Tetua Bali yang Tidak Boleh Kamu Lupakan

3. Pura Luhur Muncak Sari, tempat memohon kesuburan

Sejarah 6 Pura di Tabanan yang Ditetapkan Sebagai Cagar BudayaPura Luhur Muncak Sari (Dok.IDN Times/Dinas Kebudayaan Tabanan)

Secara administrasi Pura Luhur Muncak Sari berlokasi di Banjar Anyar, Desa Sangketan, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan. Secara geografis terletak di titik koordinat 50 L 0289341, 9072567 UTM dengan ketinggian 760 meter dari permukaan laut. Pura Luhur Muncak Sari memiliki luas lahan 4,4 hektare.

Status kepemilikan pura dimiliki dan dikelola oleh masyarakat Desa Adat Sangketan. Pangempon Pura terdiri atas empat Banjar Adat. Yaitu Banjar Adat Anyar, Banjar Adat Puring, Banjar Adat Tingkih Karep, Banjar Adat Puluk-puluk, dan seluruh subak yang berada di wilayah Penebel.

Asal asul nama Pura Muncak Sari, bermula ketika pura tersebut masih berupa tumpukan bebatuan (Bebaturan). Masyarakat setempat menamakannya sebagai Pura Bedugul Gumi, karena yang distanakan dan dipuja di tempat ini adalah manifestasi Tuhan (Ida Sanghyang Widhi) dalam wujud Sedahan Agung (Penguasa Kesuburan).

Setelah Pura Bedugul Gumi dipelihara oleh keluarga Pekak Rumrum (Kakek Rumrum) dari Desa Puluk-puluk, kemudian atas petunjuk dari alam niskala maka pura ini diberi nama Pura Muncak Sari.

Pura Muncak Sari berfungsi sebagai penguasa kehidupan segala makhluk hidup (sarwa prani), penguasa penentuan hari baik-buruk untuk bercocok tanam (Sedahan Agung) di lahan basah maupun kering, tempat memohon hujan, dan tempat memohon kesuburan.

4. Pura Luhur Besi Kalung, tempat memohon keselamatan

Sejarah 6 Pura di Tabanan yang Ditetapkan Sebagai Cagar BudayaPura Luhur Besi Kalung (Dok.IDN Times/Humas Tabanan)

Pura ini berada di tengah hutan lindung Desa Babahan, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan. Pura ini berada di tengah hutan lindung. Pura ini milik dan dikelola oleh masyarakat Desa Adat Babahan.

Kata Besi Kalung diambil dari kata yang mengiaskan keberadaan prelingga di Pura tersebut, yakni Lingga Yoni. Secara lingusitik, istilah Besikalung berasal dari Bahasa Bali, yang terdiri dari dua suku kata. Yaitu besi dan kalung.

Berdasarkan etimologi, kata besi dalam Bahasa Bali memiliki arti yang sama seperti Bahasa Indonesia, yaitu benda keras. Istilah kalung sendiri adalah rantai hiasan yang saling terhubung, di mana ujung maupun pangkalnya tidak bisa dilihat.

Jika diartikan dalam persepektif makna, besi menunjukkan suku kata yang dapat mengeraskan atau menguatkan. Sedangkan kata kalung merujuk pemaknaan fungsi ataupun peran dari pura  tersebut, yaitu sebagai penghubung.

Selain analisis tersebut, sebutan Besikalung juga banyak ditafsirkan atas dasar keberadaan peninggalan lingga yang terdapat di Pelinggih Agung (Pelinggih Pokok/Pelinggih Utama).

Menurut pemangku Gede Pura Luhur Besi Kalung, lingga tersebut ketika dipukul akan mengeluarkan suara nyaring seperti suara besi. Bentuknya bulat panjang dan dihiasi rantai (Kalung) di bagian atasnya.

Pura Besi Kalung termasuk cukup tua, dengan bukti sejarah berupa bangunan pelinggih pokok berbentuk Punden Berundak. Itu merupakan ciri khas dari zaman megalitikum. Diperkirakan berdiri sejak abad IX sampai XII masehi.

Karakteristik pemujaan di periode itu biasanya memadukan pemujaan roh suci leluhur atau mereka yang dihormati. Pura Besi Kalung merupakan bagian dari Catur Angga Sad Kahyangan jagat Bali Luhur Batukaru. Sehingga fungsinya sebagai penyiwian beberapa subak dalam memohon keselamatan dan kemakmuran bercocok tanam, serta sebagai tempat suci memohon keselamatan hidup masyarakat.

5. Pura Luhur Petali, tempat memohon keadilan

Sejarah 6 Pura di Tabanan yang Ditetapkan Sebagai Cagar BudayaPura Luhur Pucak Petali (Dok.IDN Times/HumasTabanan)

Pura Luhur Petali berada di lereng sebelah tenggara Gunung Batukaru, tepatnya di wilayah Desa Pakraman Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan. Lokasi tersebut berada di ketinggian 815 meter dari atas permukaan air laut.

Berdasarkan catatan sejarah, Pura Luhur Petali dibangun oleh Bhagawan Rsi Canggu bersama Arya Wangbang pada zaman pemerintahan Adhipati Samprangan Sri Kresna Kepakisan, sekitar saka warsa 1272 atau 1350 masehi. Satu sumber yang dijadikan rujukannya adalah Bhuana Tattwa Maharsi Markandya, yang ditulis oleh I Ketut Ginarsa.

Dalam rujukan itu menyebutkan, pembangunan pura ini berhubungan dengan kisah Ida Bagus Angker, putra dari Rsi Wesnawa Mustika. Setelah Rsi Mustika wafat di Besakih karena bertapa cukup lama untuk memohon kestabilan negara, Bagus Angker pindah dari Sengguhan Klungkung ke Giri Kusuma untuk melakukan yoga samadhi. Tempat untuk beryoga akhirnya dinamakan Gunung Sari, sementara tempat tinggal Ida Bagus Angker dinamakan Jatiluwih, sebab sudah melakukan dwijati kemudian beliau bergelar Ida Bhujangga Rsi Canggu.

Bagus Angker bersama Arya Wangbang dan dibantu oleh masyarakat sekitar membangun khayangan yang diberi nama Pura Petali. Dari segi arti kata tersebut, Pura Petali bermakna memuja atau pemujaan kekuatan manifestasi Ida sang Hyang Widhi Wasa, dalam fungsi Bagus Angker sebagai pengikat atau pengendali alam semesta (Bhuwana agung) dan kendali tali persatuan serta kesatuan berbangsa dan bernegara (Bhuwana Alit).

Menurut keyakinan masyarakat sekitar, Pura Petali sesuai dengan namanya, yaitu pengikat bumi atau pengikat jagat raya. Jadi pura ini bisa dibilang sebagai pusat produksi gelombang spiritual, yang dapat memberikan perlindungan kepada umat manusia dan alam semesta.

Pura ini hanya berupa susunan bebatuan berbentuk tugu, dan terletak di tengah ketika awal mula ditemukan. Setelah melakukan permohonan, masyarakat sekitar kemudian membangun pura di tempat tersebut. Namun berdasarkan petunjuk gaib yang didapatkan, tinggi bangunan pura tidak boleh melebihi batang pohon yang tumbuh juga secara misterius di lokasi tersebut.

6. Pura Luhur Sekartaji, tempat memohon perlindungan dan sumber penghidupan

Sejarah 6 Pura di Tabanan yang Ditetapkan Sebagai Cagar BudayaPura Luhur Sekartaji (Dok.IDN Times/Dinas Kebudayaan Tabanan)

Pura Luhur Sekartaji berada di Desa Sesandan, Kecamatan Tabanan. Pura ini belum diketahui secara pasti kapan dibangunnya. Namun berdasarkan peninggalan arkeologi yang ditemukan di pura itu, ada kemungkinan dibangun pada masa tradisi megalitik atau zaman proto sejarah.

Selain itu, kemungkinan Pura Luhur Sekartaji dibangun sebagai tempat pemujaan leluhur dan personifikasi kekuatan alam yang dapat melindungi serta memberi sumber penghidupan bagi masyarakat pemujanya. Hal ini ditandai dengan adanya beberapa tahta batu, dolmen, dan menhir yang sampai sekarang masih berfungsi sebagai pelinggih.

Setelah masuk dan berkembangnya Agama Hindu di Bali, tidak menutup kemungkinan pura ini juga sebagai tempat pemujaan pada Dewa/Bhatara yang distanakan di sana.

Pura ini lalu mendapatkan perhatian setelah Da Ki Gusti Ngurah Sekar dinobatkan sebagai Raja Tabanan pada tahun 1735 Masehi, dengan gelar Bhatara Da Cokorda Sekar atau Ratu Singhasana. Setelah lama memerintah, Ratu Singhasana ingin menata kembali Pura Luhur Sekartaji sesuai lontar Tingkahing Angwangun Kahyangan.

Ratu kemudian memerintahkan Mekel Sekartaji bersama masyarakat untuk melakukan penataan pura, dengan membangun padmasana sebagai pangayengan Bhatara Gunung Agung, membangun palinggih untuk pemujaan Bhatara Luhur Petali dan Batara Luhur Batukaru, serta membangun Gedong Ageng sebagai tempat pemuliaan Ayahandanya yakni Cokorda Lepas Dimade dengan permaisurinya. Sejak saat itu pura ini disebut dinamakan Luhur Sekartaji dan berstatus sebagai pura umum.

Pemeliharaannya diserahkan kepada Mekel Sekartaji dan masyarakat Sekartaji. Untuk biaya pengelolaannya dihibahkan sebidang lahan seluas 12 hektare berupa hutan dan semak belukar, yang bisa dijadikan sawah, ladang dan hutan lindung.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya