Tradisi Mebuug-buugan di Bali, Perang Lumpur Wujud Penyucian

Tradisi ini hanya bisa dilihat setelah Nyepi

Masyarakat Desa Adat Kedonganan, Kabupaten Badung mempunyai tradisi unik berupa perang lumpur atau disebut dengan mebuug-buugan. Tradisi ini dilakukan sehari setelah Hari Raya Nyepi dan diikuti oleh hampir seluruh masyarakat, baik perempuan maupun laki-laki.

Bahkan tradisi ini boleh diikuti dan terbuka untuk umum. Seperti apa tradisiTmebuug-buugan itu? Simak cerita lengkapnya di bawah ini ya.

Baca Juga: Makna Upacara Ngulapin saat Orang Bali Terkena Musibah

Baca Juga: Sejarah Patung Catur Muka, Ikonnya Kota Denpasar

1. Makna nama mebuug-buugan

Tradisi Mebuug-buugan di Bali, Perang Lumpur Wujud PenyucianMenyusuri hutan mangrove tempat mebuug-buugan berlangsung (Dok.Pribadi/Natalia Indah)

Mebuug-buugan berasal dari kata buug (Bahasa Bali), yang mempunyai arti tanah atau lumpur, dan kata bhu yang berarti ada atau wujud. Kemudian diberikan imbuhan menjadi mebuug-buugan, yang memiliki makna melakukan interaksi kepada sesama dengan menggunakan lumpur atau tanah sebagai medianya. Interaksi ini dapat berupa saling mengoleskan lumpur, atau melemparkannya kepada orang lain.

2. Sejarah Tradisi Mebuug-buugan

Tradisi Mebuug-buugan di Bali, Perang Lumpur Wujud PenyucianHampir seluruh badan dilumuri oleh lumpur (Dok.Pribadi/Natalia Indah)

Dilansir dari jurnal penelitian yang disusun oleh I Made Sudarsana dan Ida Ayu Gede Prayitna Dewi, yang keduanya merupakan dosen Fakultas Pendidikan UNHI Denpasar, pada era penjajahan Jepang tahun 1942-1945, Tradisi Mebuug-buugan sudah berakar dan menjadi permainan yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat Kedonganan.

Pada waktu itu, tradisi ini dilaksanakan bertepatan dengan Hari Raya Nyepi. Zaman dahulu, perayaan Nyepi masih diperbolehkan melakukan aktivitas, hanya saja tidak boleh mesuunan atau memikul sesuatu di kepala. Sehingga mereka mengadakan permainan mebuug-buugan yang berjalan secara spontan.

Pada saat terjadinya letusan Gunung Agung pada 1963, dan peristiwa G30S PKI tahun 1965, tradisi ini sempat dihentikan sementara sambil menunggu situasi negara kondusif. Seiring berjalannya waktu, terdapat peraturan untuk tidak melakukan aktivitas apapun selama Nyepi. Hingga kemudian pelaksanaan mebuug-buugan berpindah hari, dan dilakukan setelah Nyepi. Lalu mulai rutin dilakukan kembali pada tahun 2015 hingga sekarang.

3. Tujuan dari mebuug-buugan

Tradisi Mebuug-buugan di Bali, Perang Lumpur Wujud PenyucianMereka yang bersiap akan mengikuti mebuug-buugan (Dok.Pribadi/Natalia Indah)

Kotoran dalam bentuk tanah atau lumpur divisualisasikan sebagai wujud bhuta kala atau roh jahat yang melekat dalam diri manusia. Dalam kehidupan, manusia tentu tidak terlepas dari pikiran, perbuatan, maupun perkataan yang kotor, dan proses pembersihannya dimulai dengan catur brata penyepian. Kemudian dilanjutkan dengan mebuug-buugan, dan berakhir dengan memohon anugerah dari lautan sebagai kekuatan penyempurnaan.

Sehingga ritual Tradisi Mebuug-buugan mempunyai tujuan untuk memohon anugerah kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa agar umat manusia diberikan kesejahteraan serta keselamatan secara lahir dan batin.

4. Prosesi mebuug-buugan

Tradisi Mebuug-buugan di Bali, Perang Lumpur Wujud PenyucianBerkumpul dan mempersiapkan diri di depan Bale Agung Desa Adat Kedonganan (Dok.Pribadi/Natalia Indah)

Sebelum memulai mebuug-buugan, masyarakat Kedonganan berkumpul di pelataran Bale Agung Desa Adat Kedonganan untuk pembekalan dan sembahyang terlebih dahulu. Lalu, mereka akan berjalan dari tempat tersebut menuju pantai di timur Hutan Mangrove.

Sesampainya di Hutan Mangrove, mereka akan saling membalur tubuh dengan lumpur. Lumpur yang digunakan disebut dengan buug punglu atau lumpur yang tingkat kepadatannya menyerupai tanah liat.

Tak hanya saling melumuri lumpur saja. Sering juga para peserta mebuug-buugan saling melempar lumpur sebagai luapan ekspresi kegembiraan. Bersenang-senang sambil menyambut diri yang kembali bersih lagi.

5. Berakhir dengan pembersihan diri di pantai dan bersembahyang

Tradisi Mebuug-buugan di Bali, Perang Lumpur Wujud PenyucianSeru-seruan dengan saling melumuri tubuh atau melempar lumpur ke warga yang lainnya (Dok.Pribadi/Natalia Indah)

Setelah prosesi tersebut, para peserta mebuug-buugan akan berjalan lagi mengelilingi desa adat dan menuju ke Pantai Kedonganan. Selama perjalanan ini, mereka akan menyanyikan lagu khas mebuug-buugan dengan lirik "Mentul-menceng, mentul-menceng. Glendang-glendong, glendang-glendong" sambil bersuka cita.

Sesampainya di pantai, mereka akan berlomba-lomba masuk ke dalam air sambil membersihkan lumpur yang melekat di tubuh serta pakaian.

Akhir dari mebuug-buugan adalah sembahyang bersama di Pura Segara Kedonganan. Pemangku akan memercikkan air suci (tirta) kepada semua orang. Bagi mereka, pembersihan di laut merupakan pembersihan fisik, sedangkan upacara dengan percikan tirta adalah menyucikan diri secara spiritual.

Natalia Indah Kartikaningrum Photo Community Writer Natalia Indah Kartikaningrum

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya