Sisi Gelap Bali: Sejarah Perbudakan di Pulau Dewata

Berkaca dari temuan kerangkeng manusia milik Bupati Langkat

Penulis: Ufiya Amirah

Belakangan ini ramai pemberitaan tentang Bupati Langkat, Sumatra Utara (Sumut), yang diduga telah melakukan perbudakan dengan mengkrangkeng para buruh sawit di rumahnya. Menurut Polda Sumut, kerangkeng tersebut digunakan untuk para nara pidana (napi) narkoba.

Pernyataan pihak kepolisian tersebut berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Migrant Care. Justru Migrant Care menilai bahwa kerangkeng manusia tersebut adalah bentuk perbudakan modern. 

Berkaca dari kasus tersebut, apakah perbudakan pernah terjadi di Bali?

Bali yang disebut-sebut sebagai surga dunia, ternyata juga pernah memiliki sejarah panjang tentang perbudakan. Dalam kehidupan sosial, tidak ada tatanan masyarakat tanpa konflik. Konstruksi kelas, kasta, perang kepentingan ekonomi dan politik, telah melahirkan berbagai kesenjangan dan ketimpangan. 

Apa saja bentuk perbudakan yang pernah terjadi di Pulau Dewata? Berikut sejarah panjang kejahatan perbudakan manusia di Bali.

Baca Juga: Sejarah Kabupaten Badung, Pernah Menjadi Pusat Perdagangan Budak

1. Era Kolonialisme (Abad XVII-XIX)

Sisi Gelap Bali: Sejarah Perbudakan di Pulau DewataPerbudakan era Kolonialisme. (www.minews.id)

Robinson (2006), dalam bukunya berjudul Sisi Gelap Pulau Dewata: Sejarah Kekerasan Politik, mengungkapkan bahwa budak adalah ekspor utama Bali dalam sektor ekonomi di abad ke XVII sampai XIX. Umumnya, budak perempuan dihargai 50 sampai 100 dolar dan laki-laki dihargai 10 hingga 30 dolar, lebih rendah dari perempuan.

Bahkan di abad ke-17, daya minat asing terhadap budak di Bali cukup tinggi. Ekspor budak pertahunnya bisa mencapai 2.000 orang. Raja Bali juga turut serta memanen keuntungan dari permintaan pasar atas para budak di Bali.

Budak dipandang tidak lebih dari sebuah barang. Oleh karena manusia dianggap barang, maka pemilik barang dapat memperlakukan barang tersebut sekehendaknya. Majikan dapat mengeksploitasi para budak sesuai kebutuhannya. Budak haruslah patuh pada majikan. Apabila sudah dianggap tak berguna, maka majikan berhak menjual-belikan kembali budaknya.

2. Masa Fasisme Jepang (1943-1945)

Sisi Gelap Bali: Sejarah Perbudakan di Pulau DewataPerbudakan masa Fasisme Jepang (buletinpillar.org)

Siapa yang tidak kenal Jugun Ianfu? Penari perempuan yang seringkali dijadikan objek pemuas hasrat bagi para milisi Jepang. Tak ayal, perempuan sebagai budak seks juga terjadi di Bali.

Apa perbedaan budak seks dan pekerja prostitusi? Pekerja Seks Komersial (PSK) diupah, sedangkan budak seks hanya sebagai objek pemuas seks tanpa ada pesangon. Mereka direkrut secara paksa tanpa ada konsensualitas kedua belah pihak.

Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Dinar Kartika (2008) dengan topik Jugun Ianfu Pada Masa Pendudukan Jepang di Indonesia (1942—1945): Sebuah Analisis Perspektif Gender, memberikan gambaran penting mengenai praktik perdagangan perempuan pada masa fasisme Jepang di Bali. Mantan pekerja hiburan di Hotel Wongaye, Denpasar, menceritakan bahwa hotel tersebut merupakan tempat strategis untuk diperjual belikannya para Jugun Ianfu.

Hotel Wongaye menyediakan 20 orang perempuan Jugun Ianfu. Para petugas hotel akan memberikan referensi foto perempuan yang dapat "dibeli" kepada para tamu. Dalam sekali transaksi, mereka perlu membayar Rp300. Para perempuan yang sudah dibeli tidak boleh menolak kemauan "konsumen".

3. Kekuasaan Orde Baru (1965-1966)

Sisi Gelap Bali: Sejarah Perbudakan di Pulau DewataEra Orde Baru. (instagram.com/matahatipemuda)

Sebagian besar warga Bali yang mendengar tragedi 1965 mungkin akan tiba-tiba sengaja membisu, hening, dan seakan-akan tidak tahu apa-apa. Ada trauma yang begitu dalam dan menyakitkan, perlu dikubur sedalam mungkin sehingga tak perlu ada yang tahu. Hampir 32 tahun Orde Baru membisukan tragedi 65 hingga pada titik kondisi diam dianggap menjadi kultur sifat apolitis masyarakat atas hiruk pikuk kekotoran politik.

Pada tahun 2007 Komisi Nasional Perempuan menerbitkan Laporan Pemantauan HAM Perempuan: Kejahatan terhadap Kemanusiaan Berbasis Jender: Mendengarkan Suara Perempuan Korban Peristiwa 1965. Bali tak luput dari perilaku pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap perempuan berupa perbudakan seks oleh para militer atau milisi sipil dalam tragedi 65-66. Korban penyerangan massa di Kabupaten Karangasem, G, bercerita:

"Mereka menyeret saya, lalu menelanjangi saya di depan mayat suami dan mertua saya. Mereka tidak membunuh saya, melainkan mengarak saya bertelanjang di sekitar daerah situ. Sesudah dibawa berkeliling desa, saya diikat di balai desa, tetap dalam keadaan telanjang. Lalu mereka pergi. Beberapa orang laki-laki datang mendekati saya dan dengan kasar menggerayangi tubuh saya. Saya tidak tahu, entah di mana anak saya. Tapi saya pun tidak bisa menanyakannya kepada mereka itu. Saya diikat telanjang di balai desa selama hampir 24 jam tanpa diberi makan atau minum. Setiap kali saya melapor pada penguasa, saya selalu mereka perlakukan dengan tak senonoh. Saya diharuskan melayani nafsu seks para interogator. Terkadang mereka datang pada waktu malam untuk tidur dengan saya. Mereka tidak mengizinkan saya pindah ke rumah lain. Karena jika saya pindah, mereka akan menuduh saya melarikan diri."

4. Memasuki tahun 2000an

Sisi Gelap Bali: Sejarah Perbudakan di Pulau DewataIlustrasi Perdagangan Perempuan (IDN Times/Mardya Shakti)

Perlakuan tak manusiawi, perbudakan melalui perdagangan manusia, masih saja terjadi. Dilansir dari Los Angeles Times, 6 Januari 2022, eksploitasi anak turut meningkat di Bali sejalan dengan matinya pariwisata sejak COVID-19 melanda Pulau Dewata.

Perekonomian Bali yang sangat bergantung pada sektor pariwisata mengakibatkan hilangnya mata pencaharian penduduk secara drastis. Tak ayal, memperdagangkan manusia menjadi jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan perut. 

Perdagangan manusia, khususnya perempuan dan anak, acapkali dilakukan secara daring seperti melalui Telegram, Mechat, atau Tinder. Para mucikari melakukan manipulasi dengan berbagai cara untuk merekrut para korban. Baik dengan iming-iming gaji yang tinggi maupun menjanjikan pekerjaan yang layak di hotel dan spa.

Dalam tautan humas.polri.go.id disebutkan bahwa telah terjadi eksploitasi anak dan tindak pidana perdagangan orang dengan kurun waktu 28 Desember 2019 sampai 15 Januari 2020 di Desa Senganan, Penebel, Kabupaten Tabanan. Sindikat pelaku eksploitasi tersebut diduga adalah warga Tabanan.

5. Perbudakan di Bali hingga kini

Sisi Gelap Bali: Sejarah Perbudakan di Pulau DewataIlustrasi kekerasan (IDN Times/Sukma Shakti)

Sebagai kota internasional, Bali sangat rentan terhadap opresi human trafficking lintas negara. Secara historis, fakta-fakta di atas menunjukkan jejak-jejak hitam di Bali.

Di balik indah dan asrinya Bali yang membuat candu, terdapat masifnya sebuah kejahatan kemanusiaan. Perbudakan terus menerus ada sejak berabad-abad silam di Bali, bahkan dalam periode tertentu sudah menjadi kultur.

KPAI juga menemukan adanya praktik human trafficking terhadap anak di bawah umur. Pada tahun 2019, anak-anak yang berjumlah 5 orang dijadikan pekerja prostitusi di kawasan Sanur, Denpasar. Layaknya barang, mereka dipaksa untuk dipamerkan di kaca etalase agar lebih menarik para 'konsumen'. Mereka juga diwajibkan melayani hasrat seksual satu hingga delapan orang dalam sehari. 

Sampai kapan praktik perbudakan ini akan terus terjadi?

Topik:

  • Ni Ketut Sudiani
  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya