Sains di Balik Kekerasan, Ini Dia Penyebab Perilaku Agresif

Ini akan membuka wawasanmu kenapa orang melakukan kekerasan

Semua orang pastinya pernah mendengar tentang insiden kekerasan yang terjadi di masyarakat. Bahkan baru-baru ini banyak perilaku kekerasan mendapatkan sorotan, tanpa pandang kelas sosial ekonomi, ataupun latar belakangnya. Namun, seperti apa penjelasan sains di balik perilaku ini? Para peneliti telah mempelajari penyebab kekerasan selama bertahun-tahun, bahkan sejak tahun 1980-an, menggunakan pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu seperti psikologi, sosiologi, ilmu saraf, dan biologi untuk lebih memahami masalah yang kompleks ini.

Dalam pembahasan kali ini, kita akan menyelami apa saja penyebab berdasarkan sudut pandang sains di balik kekerasan untuk mempelajari faktor-faktor kunci yang berkontribusi terhadap perilaku agresif. Kenapa bisa ada orang-orang yang berpikir bahwa kekerasan adalah solusi? Kenapa bisa ada orang-orang yang menggunakan kekerasan untuk mendapatkan yang diinginkan? Baca selengkapnya sampai bawah, ya!

Baca Juga: 5 Cara Spill Kasus Kekerasan Seksual di Medsos

Baca Juga: Sisi Misoginis di Balik Kemegahan Musik Opera

1. Kondisi kesehatan mental

Sains di Balik Kekerasan, Ini Dia Penyebab Perilaku Agresifilustrasi penanganan kondisi kesehatan mental seseorang (freepik.com/yana.aybazova)

Penelitian yang berjudul "Violence and Mental Illness", dari jurnal Psychiatry (Edgmont), telah memaparkan bahwa individu yang mengalami masalah kesehatan mental, seperti depresi, kecemasan, dan penyalahgunaan zat, lebih cenderung terlibat dalam perilaku kekerasan. Tetapi penting untuk dicatat bahwa hubungan antara kesehatan jiwa dan kekerasan adalah hubungan yang kompleks serta belum sepenuhnya dipahami. Tidak semua orang dengan kondisi kesehatan mental terlibat dalam perilaku kekerasan, dan tidak semua tindakan kekerasan dilakukan oleh orang dengan kondisi kesehatan mental.

Namun, kondisi kesehatan mental tertentu, seperti gangguan bipolar, skizofrenia, dan depresi berat, telah dikaitkan dengan peningkatan risiko perilaku kekerasan. Penyalahgunaan zat—terutama jika dikombinasikan dengan kondisi kesehatan mental, juga dapat meningkatkan risiko perilaku kekerasan. Hubungan antara kesehatan mental dan kekerasan memang tidak langsung, dan banyak faktor yang berpengaruh, seperti akses ke perawatan, support system, dan keadaan individunya, dapat memengaruhi kemungkinan perilaku kekerasan.

Selain itu, individu dengan kondisi kesehatan mental malah lebih mungkin menjadi korban kekerasan daripada pelaku. Penelitian telah menunjukkan bahwa individu dengan kondisi kesehatan mental memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami kekerasan fisik, seksual, dan emosional.

2. Trauma yang dimiliki

Sains di Balik Kekerasan, Ini Dia Penyebab Perilaku Agresifilustrasi pria yang memiliki trauma (freepik.com/tiko33)

Trauma, seperti pelecehan, penelantaran, atau paparan kekerasan, dapat berkontribusi dalam perkembangan perilaku kekerasan. Pengalaman traumatis dapat berdampak besar pada kesehatan mental dan kesejahteraan individu dan dapat meningkatkan risiko pengembangan kondisi kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, dan gangguan stres pascatrauma (PTSD).

Penelitian tahun 2019, yang dipublikasi di Journal of Clinical Medicine, telah menunjukkan bahwa individu yang pernah mengalami trauma masa kecil, seperti pelecehan fisik, seksual, atau emosional, lebih mungkin terlibat dalam perilaku kekerasan saat dewasa. Hal ini diyakini karena efek jangka panjang dari trauma pada otak dan perkembangan mekanisme koping, seperti agresi, yang dapat meningkatkan risiko perilaku kekerasan.

Dilansir ScienceDaily, paparan kekerasan—seperti menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga atau mengalami kekerasan di masyarakat, dapat meningkatkan risiko perilaku kekerasan. Hal ini diduga disebabkan oleh normalisasi kekerasan dan berkembangnya persepsi bahwa kekerasan adalah cara yang dapat diterima untuk menyelesaikan konflik. Namun perlu diingat, tidak semua individu yang pernah mengalami trauma terlibat dalam perilaku kekerasan, dan banyak faktor, seperti akses ke sistem dukungan, keterampilan mengatasi masalah, dan ketahanan, dapat memengaruhi kemungkinan perilaku kekerasan.

3. Media dan budaya

Sains di Balik Kekerasan, Ini Dia Penyebab Perilaku Agresifilustrasi pemberitaan di media (freepik.com/user2846165)

Media dan budaya dapat memainkan peran penting dalam membentuk sikap dan keyakinan tentang kekerasan dan agresi, dan penelitian telah menunjukkan bahwa paparan terhadap media kekerasan dan norma-norma budaya yang membenarkan kekerasan dapat meningkatkan risiko perilaku kekerasan.

Penelitian tahun 2007, yang dipublikasi di Journal of Adolescence Health, telah menemukan bahwa mengonsumsi media kekerasan, seperti film, video game, dan acara televisi, dapat meningkatkan agresi dan membuat seseorang tidak peka terhadap kekerasan. Hal ini diyakini karena adanya pengulangan tema kekerasan dan normalisasi kekerasan dalam media. Apalagi jika tidak didampingi saat pikiran rasionalnya belum bisa membedakan antara yang baik dan tidak, atau benar dan salah, ketika mengonsumsi media melalui platform apa pun.

Studi lain tahun 2015 menemukan bahwa kepercayaan budaya yang mengagungkan atau menormalkan kekerasan dapat meningkatkan kemungkinan perilaku kekerasan. Keyakinan dan sikap budaya yang mengagungkan atau menormalkan kekerasan dapat meningkatkan kemungkinan perilaku kekerasan. Hal ini dapat mencakup keyakinan budaya yang memandang kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan konflik, atau yang membenarkan penggunaan kekerasan dalam situasi tertentu, seperti dalam konflik militer atau dalam menanggapi ancaman yang dirasakan.

Agar tidak digeneralisasi, ingatlah bahwa tidak semua individu yang terpapar dengan media kekerasan atau norma-norma budaya akan terlibat dalam perilaku kekerasan. Banyak faktor, seperti karakteristik individu, support system dari keluarga dan masyarakat, serta akses terhadap sumber daya yang dapat memengaruhi kemungkinan perilaku kekerasan.

4. Faktor Neurobiologis 

Sains di Balik Kekerasan, Ini Dia Penyebab Perilaku Agresifilustrasi faktor neurobiologis (freepik.com/ipopba)

Penelitian dalam ilmu saraf sejak tahun 1999 telah menunjukkan bahwa mungkin ada perbedaan neurologis yang mendasari individu yang terlibat dalam perilaku kekerasan. Penelitian telah menemukan bahwa struktur otak tertentu, seperti amigdala dan hipokampus, lebih kecil pada individu yang terlibat dalam perilaku kekerasan dibandingkan dengan yang tidak. Hal ini menunjukkan bahwa mungkin ada dasar biologis untuk perilaku agresif.

Faktor neurobiologis, seperti struktur dan fungsi otak, dapat berperan dalam perkembangan perilaku kekerasan, tetapi hubungan antara neurobiologi dan kekerasan sangat kompleks dan masih perlu penelitian lebih dalam.

Penelitian tahun 2021 telah menunjukkan bahwa individu dengan kelainan otak tertentu, seperti berkurangnya fungsi lobus frontal atau amigdala yang tidak normal, lebih mungkin terlibat dalam perilaku kekerasan. Fungsi lobus frontal bertanggung jawab untuk mengatur perilaku dan mengendalikan impuls, sedangkan amigdala terlibat dalam memproses emosi dan mengatur respons fight or flight (lawan atau hindar).

Penting juga untuk dicatat bahwa banyak orang dengan faktor risiko neurobiologis ini tidak terlibat dalam perilaku kekerasan dan bahwa kekerasan adalah masalah kompleks yang tidak dapat direduksi menjadi hubungan sebab-akibat yang sederhana.

5. Genetika

Sains di Balik Kekerasan, Ini Dia Penyebab Perilaku Agresifilustrasi faktor genetika (freepik.com/BPawesome)

Penelitian tahun 2021, yang dipublikasi di Jurnal Behavior Genetics, telah menunjukkan bahwa genetika mungkin juga berperan dalam perilaku kekerasan. Penelitian telah menemukan bahwa individu yang terlibat dalam perilaku kekerasan lebih cenderung memiliki riwayat keluarga dengan perilaku agresif. Hal ini menunjukkan bahwa mungkin ada komponen genetik dalam perilaku kekerasan.

Penelitian yang dipublikasi dalam Jurnal Psychological and Cognitive Sciences tahun 2009, telah menunjukkan bahwa terdapat variasi genetik tertentu, seperti gen monoamine oxidase A (MAOA), yang dikaitkan dengan peningkatan risiko perilaku kekerasan. Gen ini terlibat dalam pengaturan neurotransmiter, seperti serotonin, yang berperan dalam mengatur suasana hati dan perilaku.

Namun, penting untuk dicatat bahwa genetika hanya menyumbang sebagian kecil dari risiko perilaku kekerasan, dan banyak faktor lain, seperti pengaruh lingkungan, pengalaman pribadi, dan faktor neurobiologis, yang memainkan peran yang jauh lebih besar. Selain itu, banyak orang dengan faktor risiko genetik ini tidak terlibat dalam perilaku kekerasan, dan bahwa kekerasan adalah masalah kompleks yang tidak dapat direduksi menjadi hubungan sebab-akibat yang sederhana.

Yang perlu kamu ingat, sains di balik kekerasan itu kompleks dan memiliki banyak sisi, dengan banyak faktor berbeda yang berkontribusi terhadap perilaku agresif. Kesehatan mental, trauma, pengaruh media dan budaya, faktor neurobiologis, dan genetika merupakan bidang studi yang penting dalam memahami penyebab kekerasan. Dengan terus meneliti dan memahami sains di balik kekerasan, kita dapat berupaya menemukan solusi yang efektif untuk mencegah dan menangani perilaku agresif.

Bayu Dwityo Wicaksono Photo Community Writer Bayu Dwityo Wicaksono

A Disney dude who wants to fulfill the purpose of life like Desmond Doss. The story teller in an uncertain gaea. Freelance writer, editor, journo, and creator. Nakama. 🎗🧩

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya