Deretan Tradisi Bali yang Mirip Rebo Wekasan di Film Inang

Inang adalah film thriller produksi IDN Pictures yang disutradarai oleh Fajar Nugros. Film ini mengangkat mitos dari Pulau Jawa bernama Rebo Wekasan.
Rebo Wekasan berkaitan dengan hari lahir seseorang. Tak hanya Jawa, Bali juga memiliki kepercayaan terkait hari kelahiran yang masih dijalankan sampai sekarang. Bagaimanakah masyarakat memaknai hari kelahiran secara tradisi turun-temurun ini?
Baca Juga: Mengenal Tugas Mancagera, Sebutan Juru Masak di Hindu Bali
Baca Juga: 5 Film Mirip Inang, Menghalalkan Segala Cara untuk Keluarga
1. Mengenal Rebo Wekasan
Rebo Wekasan atau juga dikenal dengan istilah Rebo Pungkasan. Dikutip Islam.nu.or.id, Rebo Wekasan adalah hari Rabu terakhir yang jatuh di bulan Safar. Bulan Safar adalah bulan kedua dalam kalender Hijriah.
Banyak masyarakat Jawa yang memercayai, bahwa Rebo Wekasan adalah hari paling sial. Anak yang lahir pada Rebo Wekasan selalu mendapatkan kesialan, bahkan diyakini memiliki umur yang pendek.
Oleh sebab itu, setiap anak yang lahir pada hari Rebo Wekasan ini sebaiknya diruwat melalui serangkaian upacara. Upacara ruwatan ini berbeda-beda sesuai kepercayaan di masing-masing daerah.
2. Tidak hanya Rebo Wekasan, ada hari lain yang kurang baik
Sesuai kepercayaan Primbon Jawa atau weton, ada beberapa hari kelahiran yang kurang baik selain Rebo Wekasan. Orang yang lahir pada hari-hari ini diyakini akan mendapatkan kesialan atau dijauhkan dari rejeki. Berikut hari-hari tersebut:
- Anak yang lahir pada Jumat Wage
- Anak yang lahir pada Senin Pahing
- Anak yang lahir pada Minggu Pon
- Anak yang lahir pada waktu tertentu yaitu Julung Pujud (anak lahir saat matahari terbenam), Julung Wangi (anak lahir saat matahari terbit), Julung Sungsang (anak yang lahir tepat jam 12 siang atau tengah hari), dan Julung Caplok (anak yang lahir saat waktu senja atau peralihan sore ke malam hari).
Anak-anak yang lahir pada hari di atas, juga perlu dilakukan ruwatan untuk membersihkan dirinya, sehingga dijauhkan dari kesialan dan dibukakan pintu rejeki. Tradisi ruwatannya juga berbeda-beda, tergantung hari kelahiran dan tradisi yang dipercayai dalam suatu daerah.
3. Bali juga terdapat hari kelahiran yang kurang baik
Tidak hanya Jawa, mitos tentang hari lahir yang membawa dampak kurang baik juga dipercayai oleh masyarakat Hindu Bali. Yaitu hari yang jatuh pada wuku Wayang sesuai perhitungan kalender Bali atau berdasarkan pawukon.
Orang yang lahir pada wuku ini dipercaya akan memiliki jalan kehidupan yang kurang baik, dan seringkali memiliki watak keras kepala. Kepercayaan ini ada kaitannya dengan kisah Bhatara Kala.
4. Kisah Bhatara Kala yang ingin memakan adiknya
Kepercayaan kelahiran di wuku Wayang ini berawal dari kisah Bhatara Kala yang ingin memangsa sang adik bernama Bhatara Kumara. Bhatara Kala dan Bhatara Kumara sama-sama memiliki kelahiran di hari wuku Wayang.
Ayah mereka, Bhatara Guru, iba kepada Bhatara Kumara. Sehingga secara sembunyi-sembunyi, Bhatara Kumara disuruh pergi dari istana. Rencana itu diketahui oleh Bhatara Kala, dan ia mengejar Bhatara Kumara. Bhatara Kala memiliki kemampuan untuk melacak seseorang berdasarkan bau telapak kaki orang tersebut.
Dalam pelariannya, Bhatara Kumara sampai pada pertunjukan wayang kulit. Sang dalang menyuruh Bhatara Kumara bersembunyi di dalam perangkat gamelan atau sering disebut keropak.
Bhatara Kala sampai di lokasi tersebut. Namun karena kelaparan, ia memakan sesajen yang digunakan untuk keperluan pementasan wayang tersebut. Sang dalang mengetahuinya dan memarahi Bhatara Kala.
Bhatara meminta maaf dan memilih pulang kembali ke rumahnya. Ia menghentikan pencarian adiknya. Sejak saat itu, ada kepercayaan bahwa setiap anak yang lahir pada wuku Wayang harus melakukan ruwatan agar menjauhkannya dari kesialan, sehingga bisa menjalani hidupnya lebih baik.
5. Ruwatan Sapuh Leger
Seperti yang diungkapkan di atas, ruwatan wajib yang dilaksanakan oleh anak kelahiran wuku Wayang adalah ruwatan Sapuh Leger. Ruwatan ini dilaksanakan dengan menanggap (mengupah) pementasan wayang.
Wayang yang digunakan bukan sembarangan. Ruwatan ini harus menggunakan Wayang Sapuh Leger. Setelah wayang selesai digelar, sang dalang akan memercikkan air suci atau tirta kepada sang anak yang akan diruwat.
Kini zaman telah berkembang. Jika keluarga terkendala biaya, maka tidak perlu mengupah Wayang Sapuh Leger, melainkan cukup dengan memercikkan tirta dari Wayang Sapuh Leger. Selain itu untuk mengirit biaya, ruwatan ini sering diadakan secara bersama-sama atau ruwatan Sapuh Leger Massal.
Tidak ada salahnya mempercayai mitos atau tradisi terkait hari kelahiran ini. Toh, semuanya untuk kebaikan orang tersebut asalkan tidak seperti yang dilakukan oleh Agus dan Eva dalam film Inang. Emang apa sih yang dilakukan oleh pasangan suami istri ini? Mending langsung tonton filmnya saja ya, guys!
IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.