Manfaat Tradisi Aci Tatebahan, Ritual Sakral di Karangasem

Mereka bakalan saling pukul menggunakan pelepah pisang

Karangasem adalah Kabupaten paling timur Pulau Bali yang terkenal memiliki beragam tradisi. Tradisi ini merupakan warisan dari leluhurnya. Masyarakat Karangasem tetap teguh melestarikan tradisi adi luhung ini. Contohnya Tradisi Aci Tatebahan yang ada di Desa Bugbug, Kecamatan Karangasem.

Baca Juga: 5 Teknik Ciuman di Kitab Ananga Ranga, Gairah Jadi Bertambah

Baca Juga: Makna Ruwatan Sapuh Leger di Bali, Sakral dan Penuh Makna

1. Mengenal Desa Bugbug

Manfaat Tradisi Aci Tatebahan, Ritual Sakral di KarangasemProsesi Aci Tatebahan di Desa Bugbug. (YouTube.com/Siung Genk)

Desa Bugbug termasuk satu dari 11 desa yang ada di Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem. Wilayah Desa Adat Bugbug cukup luas yaitu terdiri dari pantai, wilayah perbukitan, dan persawahan yang luas.

Dikutip dari lama Desaadatbugbug.com, Desa Bugbug dikenal sebagai desa tua di Karangasem dengan berbagai tradisi dan budaya yang sudah dikenal sejak lama. Beberapa tradisi tersebut di antaranya Tari Sang Hyang Bojog, Sang Hyang Penyalin, Sang Hyang Jaran, Rejang, Daretan, Aci Tatebahan, dan Taruna Desa.

Selain tradisi, desa ini juga dikenal sebagai desa wisata yang memiliki beberapa objek wisata seperti Pasir Putih, Candi Dasa, dan Bukit Asah Bugbug.

2. Makna Aci Tatebahan

Manfaat Tradisi Aci Tatebahan, Ritual Sakral di KarangasemProsesi Aci Tatebahan di Desa Bugbug. (YouTube.com/Siung Genk)

Aci Tatebahan merupakan tradisi asli Desa Bugbug yang masih dilaksanakan sampai sekarang. Tatebahan berasal dari kata tebah yang berarti pukul. Makanya, Tatebahan memiliki arti aksi saling pukul antarwarga.

Selama berlangsungnya Aci Tatebahan, warga akan saling memukul warga lainnya menggunakan batang daun pisang atau pelepah pisang.

3. Erat kaitannya dengan kehidupan pertanian warga di Desa Bugbug

Manfaat Tradisi Aci Tatebahan, Ritual Sakral di KarangasemProsesi Aci Tatebahan di Desa Bugbug. (YouTube.com/Siung Genk)

Desa Bugbug yang memiliki area persawahan dan perkebunan yang cukup luas membuat sebagian besar mata pencahariannya adalah petani. Pada saat panen tiba, mereka bersuka cita menyambut hasil pertanian dan perkebunannya yang melimpah, serta mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Untuk mengucapkan rasa syukur, mereka mengadakan prosesi upacara yang disebut dengan Aci Tatebahan. Tradisi ini untuk mengingatkan kepada warga desa bahwa panen yang berlimpah ini merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hal ini adalah Ida Bahatara Gede Gumang yang berstana di Pura Gumang, dan Ida Bhatara Gede Petak (putra Ida Bhatara Gede Gumang) yang berstana di Pura Kahuripan Tohjagat, Banjar Lumpadang.

Aci Tatebahan dilaksanakan semenjak Desa Bugbug terbentuk dan warganya belum mengenal tulisan. Tradisi ini pertama kali dilaksanakan oleh orang-orang keturunan Bangsa Austronesia.

4. Berguna juga untuk menghilangkan sakit niskala

Manfaat Tradisi Aci Tatebahan, Ritual Sakral di KarangasemProsesi Aci Tatebahan di Desa Bugbug. (YouTube.com/Siung Genk)

Selain sebagai ungkapan rasa syukur terhadap hasil panen yang berlimpah, Aci Tatebahn juga memiliki fungsi lain. Yaitu untuk menghilangkan sakit niskala atau gaib. Mereka meyakini, pelaksanaan Aci Tatebahan dapat mengusir kekuatan atau aura negatif yang ada di dalam diri setiap warga. Mereka percaya, pukulan pelepah pisang itu dapat membuat sakit niskala tersebut hilang, dan kembali bugar.

5. Prosesi Aci Tatebahan

Manfaat Tradisi Aci Tatebahan, Ritual Sakral di KarangasemTradisi Aci Tatebahan di Desa Bugbug. (Desaadatbugbug.com)

Aci Tatebahan dilaksanakan melalui ritual matigtig atau saling pukul menggunakan pelepah pisang. Tradisi sakral ini diadakan setahun sekali pada sasih Desta atau Jyesta atau bulan kesebelas dalam kalender Bali.

Pura Bale Agung, Banjar Puseh, Desa Bugbug menjadi tempat pelaksanaan Aci Tatebahan. Sebelum pelaksanaan, 12 banjar yang ada di Desa Bugbug membawa persembahan lawar ubu, lawar kacang, telengis, dan pelepah pusang ke Pura Bale Agung.

Kemudian persembahan ini dibentuk berwujud wong-wongan (bentuk orang) berukuran besar di atas daun pisang. Bagian tangan, kepala, dan badan dibuat dari lawar ubu, bagian rambut dari lawar kacang, dan bagian telinga, hidung, dan mulut dari telengis.

Setelah persembahan dihaturkan, warga melakukan persembahyangan bersama. Kemudian tradisi saling tigtig ini dimulai, yang dipimpin oleh tetua adat setempat. Masing-masing warga membawa pelepah daun pisang, berpasangan, dan tidak memakai baju.

Warga kemudian saling pukul sekeras-kerasnya, dan pihak yang dipukul akan menahan pukulan tersebut. Walaupun nantinya akan menimbulkan lebam-lebam di tubuh, setelah ritual berakhir, warga tidak akan merasakan sakit.

Tradisi-tradisi warisan leluhur, terlebih yang memiliki nilai sakral memang harus dilestarikan. Walaupun hidup dalam era modernisasi, tradisi ini wajib dilaksanakan untuk kebaikan bersama. Selain itu, tradisi ini juga bisa menjadi pertunjukan wisata yang bisa mendatangkan wisatawan ke desa.

Ari Budiadnyana Photo Community Writer Ari Budiadnyana

Menulis dengan senang hati

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya