Tradisi Ngeningang Raga, Introspeksi Diri di Hari Kuningan

Tradisi ini hanya ada di Desat Adat Kebonjero, Tabanan

Hari Raya Kuningan masih satu rangkaian dengan Hari Raya Galungan. Hari Kuningan dirayakan 10 hari setelah Galungan, tepatnya pada Sabtu, Saniscara Kliwon, wuku Kuningan.

Sama seperti Galungan, perayaan Kuningan juga terdapat berbagai macam tradisi. Satu di antaranya Tradisi Ngeningang Raga di Kabupaten Tabanan. Seperti apakah tradisi ini? Berikut ini makna Tradisi Ngeningang Raga mengutip dari Jurnal Gentra Hredaya Volume 6 No 1 April 2022 berjudul "Tradisi Ngeningang Raga saat Tumper Kuningan di Desa Adat Kebonjero Desa Munduktemu Kecamatan Pupuan Kabupaten Tabanan (Perspektif Teologi Hindu)" karya I Nyoman Surpa Adisastra, UHN IGB Sugriwa Denpasar dan Yunitha Asri Diantary Ni Made dari STAHN Mpu Kuturan Singaraja.

Baca Juga: Bedanya Hari Raya Kuningan dan Galungan di Bali

Baca Juga: Makna Penjor, Bukan Hiasan Biasa Hari Raya Galungan

1. Tradisi Ngeningang Raga berasal dari Desa Adat Kebonjero

Tradisi Ngeningang Raga, Introspeksi Diri di Hari KuninganKehidupan masyarakat Desa Adat Kebonjero. (YouTube.com/Erry syawana)

Tradisi unik yang diberi nama Ngeningang Raga ini terdapat di Desa Adat Kebonjero, Desa Munduk Temu, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tababan. Tradisi Ngeningang Raga dilaksanakan pada saat Tumpek Kuningan atau Hari Raya Kuningan.

Walaupun belum berlangsung selama ratusan tahun, namun tradisi ini memiliki makna yang sangat penting bagi masyarakat Desa Adat Kebonjero. Hal ini berkaitan dengan keharmonisan masyarakat setempat, mereka percaya jika tradisi ini tidak dilaksanakan akan berdampak buruk bagi kehidupannya.

Tradisi ini berawal ketika Desa Adat Kebonjero dilanda berbagai macam permasalahan yang tiada henti pada puluhan tahun lalu. Selain menempuh penyelesaian secara sekala (nyata), masyarakat bersama perangkat desa memutuskan untuk menempuh jalur niskala (gaib) yaitu dengan menggelar persembahyangan bersama di Hari Raya Kuningan. Kemudian, tradisi ini diberikan nama Tradisi Ngeningang Raga.

2. Asal mula kata Ngeningang Raga

Tradisi Ngeningang Raga, Introspeksi Diri di Hari KuninganSituasi Desa Adat Kebonjero. (YouTube.com/Erry syawana)

Ngeningang Raga adalah Bahasa Bali yang terdiri dari ngeningang dan raga. Ngeningang memiliki suku kata 'ning' yang berarti jernih. Kata 'ning' ini kemudian mendapatkan imbuhan 'nge' dan 'ang', sehingga menjadikan 'ning' sebagai kata kerja 'ngeningang'. Sehingga ngeningang memiliki makna menjernihkan.

Sedangkan kata 'raga' memiliki makna badan atau tubuh. Sehingga 'ngeningang raga' artinya tindakan untuk membersihkan atau menjernihkan tubuh atau badan manusia secara jasmani maupun rohani.

3. Prosesi Tradisi Ngeningang Raga 

Tradisi Ngeningang Raga, Introspeksi Diri di Hari KuninganKehidupan masyarakat Desa Adat Kebonjero. (YouTube.com/Erry syawana)

Prosesi atau pelaksanaan Tradisi Ngeningang Raga diikuti oleh seluruh masyarakat atau krama Desa Adat Kebonjero. Prosesinya adalah melakukan kegiatan atau ritual persembahyangan bersama di Catus Pata atau Pempatan Agung (perempatan utama), yang merupakan titik pusat desa setempat.

Tradisi Ngeningang Raga ini begitu penting bagi krama desa tersebut. Hal ini terlihat dari kewajiban seluruh krama yang mengikuti prosesi ini, dan menerima tirta atau air suci setelah persembahyangan apabila berhalangan hadir. Prosesi persembahyangannya dipimpin oleh pemangku desa setempat atau pemangku pelinggih Catus Pata, yang dibantu oleh prajuru atau pengurus desa.

4. Memiliki tujuan untuk introspeksi diri 

Tradisi Ngeningang Raga, Introspeksi Diri di Hari KuninganKehidupan masyarakat Desa Adat Kebonjero. (YouTube.com/Erry syawana)

Secara pelaksanaan, persembahyangan pada tradisi ini mungkin mirip atau sama dengan persembahyangan seperti biasanya. Namun yang membedakan adalah tujuan dari persembahyangan ini, yaitu introspeksi diri individu sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat dengan menghadirkan Ida Sesuhunan atau Tuhan sebagai 'saksi' sekaligus 'hakim' atas segala perbuatan atau karma yang dilakukan.

Karena itu, pelaksanaan Tradisi Ngeningang Raga ini diharapkan dapat mencegah terjadinya permasalahan di Desa Adat Kebonjero. Persembahyangan ini setidaknya berisi tiga hal yaitu:

  • Pertama adalah pemujaan terhadap Tuhan sebagai penguasa dunia
  • Kedua merupakan introspeksi diri berupa perenungan atas segala karma yang telah dilakukan oleh masing-masing pribadi krama
  • Ketiga, berisi tekad memperbaiki diri untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, sehingga bisa mewujudkan keharmonisan di antara masyarakat Desa Kebonjero.

5. Sebagai implementasi Tri Hita Karana

Tradisi Ngeningang Raga, Introspeksi Diri di Hari KuninganSalah satu pura di Desa Adat Kebonjero. (YouTube.com/Erry syawana)

Tri Hita Karana adalah konsep untuk menciptakan keharmonisan di dunia yang sejalan dengan tujuan dari Tradisi Ngeningang Raga. Dengan pelaksanaan tradisi ini akan terjadi sebuah hubungan harmonis antara manusia, dalam hal ini sesama krama Desa Adat Kebonjero, antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam dan lingkungan desa setempat. Sehingga akan membuat pemerintahan, lingkungan, dan masyarakat desa bisa menikmati kedamaian.

Ngeningang Raga adalah tradisi unik di Bali yang hanya ada di Desa Adat Kebonjero, Kabupaten Tabanan. Pelaksanaannya masih terus berjalan agar desa terhindar dari masalah-masalah baik secara niskala maupun sekala yang dapat mengganggu kehidupan mereka.

Ari Budiadnyana Photo Community Writer Ari Budiadnyana

Menulis dengan senang hati

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya