[OPINI] Ritual dan Ujian Ketulusan Bali di Tengah Gempuran Pandemik

Oleh : I Gede Sukra Darmayasa SPdH MPd

Pulau Bali terkenal tidak hanya karena keindahan alamnya saja, akan tetapi juga tatanan masyarakat adat istiadat yang diwariskan secara turun menurun. Setiap desa di Bali, memiliki tradisi, kebudayaan, dan kebiasaan masing-masing yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat dengan semangat ngayah (sukarela), tanpa ada paksaan.

Hal itulah yang membuat tradisi dan adat istiadat di Bali bisa tetap bertahan sampai di era modern ini. Apabila Bali tidak memiliki kekayaan seni budaya yang dipertahankan dengan kuat, pariwisata tidak akan bisa maju. Keindahan pantai, gunung, dan sungai di daerah lainnya barangkali banyak yang lebih bagus bila dibandingkan dengan yang ada di Bali.

Dalam kesulitan ketulusan kian diuji

[OPINI] Ritual dan Ujian Ketulusan Bali di Tengah Gempuran PandemikIDN Times/Irma Yudistirani

Dalam pelaksanaan adat istiadat dan tradisi di Bali, tidak bisa lepas dengan kegiatan-kegiatan upacara ritual sebagai wujud bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Bila diamati dan dicermati, di Pulau Bali ini banyak sekali terdapat ritual keagamaan. Ada yang dilaksanakan setiap hari, 1 bulan, 6 bulan, dan 1 tahun sekali.

Selain itu, juga terdapat upacara ritual Panca Yadnya yaitu Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Rsi Yadnya, Manusa Yadnya, dan Bhuta Yadnya yang dilaksanakan secara tulus ikhlas. Dengan begitu, banyaknya upacara ritual yang ada di Bali, tentunya memerlukan tenaga ekstra serta biaya yang tidak sedikit dalam pelaksanaannya.

Wabah COVID-19 (virus corona) yang sudah melanda Bali selama kurang lebih 6 bulan ini, sangat memengaruhi perekonomian dunia, tak terkecuali Indonesia dan lebih khusus lagi Bali yang sangat mengandalkan industri pariwisata. Selama pandemik ini, pariwisata Bali benar-benar tidak ada pergerakan, yang tentunya sangat berdampak terhadap kehidupan perekonomian masyarakat. Sementara pada saat yang bersamaan, warga Hindu Bali masih tetap harus menjaga dan melaksanakan berbagai adat istiadat serta ritual.

Tanggalkan ego dan gengsi

[OPINI] Ritual dan Ujian Ketulusan Bali di Tengah Gempuran PandemikANTARA FOTO/Fauzan

Walaupun perekonomian Bali sangat terpuruk, masyarakat Bali tidak mau hanya berpangku tangan begitu saja. Selama ini banyak di antara mereka yang dulunya bekerja di industri pariwisata, terpaksa banting setir dengan berjualan atau mengambil pekerjaan lain demi menghidupi keluarga dan tetap menjalankan ritual serta tradisi yang ada.

Khusus di bulan September tahun 2020 ini, bila dilihat pada kalender Bali, ada banyak upacara yang harus dilaksanakan oleh masyarakat Bali di tengah kondisi perekonomian Bali yang belum stabil. Beberapa rerainan (hari suci) tersebut di antaranya Anggarkasih Julungwangi, Purnama, Sugihan Jawa, Kajeng Keliwon Uwudan, Sugihan Bali, Hari Penyekeban, Penyajahan Galungan, Penampahan Galungan, Hari Raya Galungan, dan Manis Galungan. 

Setelah itu dilanjutkan lagi dengan Tilem, Pemaridan Guru, Ulihan, Pemacekan Agung, Buda Paing Kuningan, Penampahan Kuningan, Kajeng Keliwon Enyitan, Hari Raya Kuningan, dan Buda Wage Langkir. 

Di tengah keadaan perekonomian masyarakat Bali yang anjlok, masyarakat harus bisa mengatur keuangan dengan sebaik-baiknya. Mengutamakan kebutuhan daripada keinginan. Dalam pembuatan sesajen atau banten, sesuaikan dengan keadaan keuangan yang ada saat ini, jangan mengutamakan ego atau gengsi.

 

Persembahkan dengan penuh bhakti

[OPINI] Ritual dan Ujian Ketulusan Bali di Tengah Gempuran PandemikANTARA FOTO/Fauzan

Agama Hindu merupakan agama yang toleran. Apabila tidak bisa mempersembahkan upacara yang besar, buatlah yang sederhana sesuai dengan konsep pelaksanaan yadnya. Ada nista, madya, dan utama yang bisa dipilih sesuai keadaan keuangan masing-masing. Jangan sampai di tengah keadaan perekonomian yang belum stabil ini, hanya karena gengsi, akhirnya memaksa melaksanakan upacara atau ritual yang besar atau jor-joran. Sementara, dananya didapat dari berutang.

Dalam Sloka Bhagawad-Gita IX.26 disebutkan “Pattram puspam phalam toyam yo me bhaktya prayacchati tad aham bhakty-upahrtam asnami prayatatmanah” artinya mereka yang dengan penuh rasa bhakti mempersembahkan kepada-Ku (walau hanya selembar) daun, (sekuntum) bunga, (satu) buah dan (stetes) air, (jika) semua itu dipersembahkan dengan penuh bhakti oleh mereka yang berhati suci murni, maka Aku akan menerimanya.

Sloka  Bhagawad-Gita juga sudah jelas sekali menyatakan bahwa laksanakan persembahan atau ritual dengan penuh rasa bakti dan tulus iklas kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Beliau akan menerima persembahan kita tersebut. Kepada semeton Bali, selamat menyambut hari kemenangan Dharma melawan Adharma. Percayalah alam akan menuntun jalan terbaik untuk kita.

*) Penulis adalah alumni pasca sarjana IHDN Denpasar dan penyuluh Agama Hindu Non PNS Kabupaten Bangli

Topik:

  • Ni Ketut Sudiani

Berita Terkini Lainnya