[OPINI] Pendidikan Nilai dan Upaya Membangun Manusia Usai Pandemik

Oleh: Muhammad Hidayat

Wabah COVID-19 yang menyita perhatian dunia sejak tahun lalu akhir-akhir ini membuat segala sesuatu makin tidak menentu. Hampir seluruh sektor kehidupan publik diuji kemapanan sekaligus produktivitasnya ketika harus head to head dengan pandemik ini.

Tercatat hingga Sabtu (23/05/2020) secara global ada 5.061.476 orang yang terkonfirmasi positif dan 331.475 di antaranya meninggal. Di Indonesia, angka kematian sudah mencapai 1.351 dengan pasien positif 21.745 orang. Berbagai upaya dilakukan untuk menghentikan laju penyebaran Virus Corona. Termasuk penutupan sementara aktivitas akademik pada semua jenjang pendidikan.

Berkaca dari Wuhan, sebuah penelitian dilansir, bahwa penutupan sekolah bisa mengurangi penyebaran virus hingga 40-60 persen. Disusul kemudian dengan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), instruksi untuk tidak mudik, dan larangan massa berkumpul sampai wabah di Tanah Air benar-benar bisa diatasi.

Namun masalah lain muncul tatkala masyarakat tidak punya kesadaran untuk patuh pada apa yang telah dianjurkan. Mereka menabrak aturan physical/social distancing dan seolah tidak peduli dengan nasib pihak lain yang sedang bertaruh nyawa oleh karena pandemik ini.

Rabu, (29/04/2020) lalu misalnya, delapan orang pemudik asal Surabaya nekad sembunyi di dalam bak mobil pick up yang ditutup terpal hingga akhirnya berhasil diketahui aparat kepolisian. Peristiwa lain yang sedang viral di media sosial, persisnya pada hari Kamis (14/04/2020), tampak antrean panjang penumpang di terminal dua Bandara Soekarno Hatta.

Mereka seolah tidak hirau dengan mereka yang sedang berjuang jadi frontliner di tengah serangan wabah mematikan ini (baca: tenaga medis). Mereka seakan tak peduli lagi dengan keselamatan hidup bersama, maupun dengan keselamatan dirinya sendiri. Sederet fakta serupa lainnya pun terungkap, sehingga rasanya tidaklah berlebihnan jika kita berkesimpulan bahwa memang betul bangsa Indonesia masih punya pekerjaan rumah terkait dengan pembangunan manusia.

Belum hilang dari ingatan kita bahwa salah satu arahan Presiden Jokowi di awal periode keduanya adalah membangun sumber daya manusia.  

Pendidikan merupakan proses sadar

[OPINI] Pendidikan Nilai dan Upaya Membangun Manusia Usai Pandemik(Ilustrasi pendidikan) IDN Times/Sukma Shakti

Sampai hari ini kita percaya akan hubungan erat antara tingkat kesadaran bermasyarakat dengan kualitas pendidikan di mana pun mereka hidup dan menjalani kehidupan. Menyaksikan masyarakat di sebuah negara yang begitu disiplin pada imbauan yang dibuat oleh pemerintahnya, maka kita bisa melihat bagaimana “pendidikan” di negara tersebut telah menempa atau menanamkan satu disiplin nilai yang kuat.

Hal ini tidak lain karena pendidikan merupakan proses sadar yang diakui mampu merubah manusia terkait tata pikir, tata laku, tata cara, dan sebagainya. Inilah kegiatan yang dilaksanakan secara sadar, terencana, terstruktur, dan berkesinambungan dalam rangka menciptakan peserta didik menjadi Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas secara intelektual sekaligus moral.

Lebih luas lagi jika ditinjau dari perspektif sosio-kultural, seluruh aktivitas pendidikan dan kegiatan pembelajaran merupakan suatu proses kreatif budaya dan internalisasi nilai-nilai (internalization of values) yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Itulah proses penanaman nilai-nilai dan aktivitas pembudayaan yang berlangsung sepanjang dinamika kehidupan manusia, dari generasi ke generasi berikutnya.

Berangkat dari fenomena di atas, sudah saatnya pemerintah memimpin orkestrasi dalam menggaungkan kembali pendidikan nilai dalam kurikulum pendidikan nasional. Nilai-nilai yang merupakan inti dari sebuah pendidikan harus menjadi prioritas bersama. Bukankah menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab adalah amanat UUSPN No.20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3? 

Visi pendidikan nilai adalah membantu peserta didik agar memahami, menyadari, dan mengalami nilai-nilai serta mampu menempatkannya secara integral dalam kehidupan sehari-hari (Mulyana,2011). Hal ini juga sejalan dengan yang dikemukakan oleh Komite Asia and the Pasific Programme of Educational Innovation for Development (APEID), bahwa pendidikan nilai secara khusus berorientasi untuk (a) menerapkan pembentukan nilai pada peserta didik, (b) menghasilkan sikap yang mencerminkan nilai-nilai yang diinginkan, dan (c) membimbing perilaku yang konsisten dengan nilai-nilai tersebut.   

Merujuk pada UU sistem Pendidikan Nasional Nasional (UUSPN) Nomor 20 tahun 2003, selain mencakup soal desentralisasi, kita juga sadar bahwa ada potensi nilai-nilai yang menyertai peserta didik yang harus difasilitasi oleh sistem pendidikan untuk dikembangkan. Pada hemat saya, di sanalah salah satu titik singgung yang tepat untuk memulai semangat perubahan yang bertajuk pendidikan nilai ini.

Apabila mau berkaca pada negara tetangga, Thailand, pola pembelajaran nilai-nilai terpadu (Human Values Integrated Instructional Model) juga pernah diterapkan di sana. Konsep pendidikan nilai yang harus mencakup pencerahan, tugas dan pengabdian, pemahaman, karakter, tindakan, berterima kasih, integritas, kesatuan, dan kemuliaan menjadi satu tujuan utama dalam membentuk mental warga negaranya.

Meskipun kita tahu bahwa pengembangan pendidikan nilai dalam kurikulum sekolah di Indonesia bukan hal baru, karena setiap pengajaran tentu melibatkan proses penyadaran nilai-nilai. Akan tetapi pertanyaannya, seberapa intensif proses penyaradaran nilai-nilai itu terjadi? Adakah strategi lain dari proses penanaman nilai, bagaimana implementasi hingga cara mengevaluasinya?   

Mengapa sistem pendidikan?

[OPINI] Pendidikan Nilai dan Upaya Membangun Manusia Usai Pandemik(Ilustrasi pendidikan) IDN Times/Sukma Shakti

Pendidikan merupakan usaha untuk manusia, sedangkan pembangunan merupakan usaha dari diri manusia. Pendidikan menghasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang akan menunjang pembangunan. Melalui jalan inilah, kita optimistis bahwa tatanan kehidupan masyarakat yang baik dan bertanggung jawab esok hari akan bisa dibentuk. 

Rasanya Indonesia tidaklah kekurangan pakar pendidikan dengan kompetensi yang mumpuni untuk menata kembali implementasi pendidikan nilai dalam sistim pendidikan kita. Walau bagaimana pun, ini harus jadi salah satu target jangka panjang yang berhubungan dengan pembangunan manusia Indonesia di masa yang akan datang. Meminjam satu pepatah Cina yang berbunyi:

“ Jika ingin menanam untuk satu tahun, tanamlah gandum, jika untuk sepuluh tahun, tanamlah pohon, jika untuk seratus tahun, tanamlah manusia!”

Saya yakin dengan semangat pembaharuan yang dibawa oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kita yang sekarang, rasanya semua hal tidak ada yang mustahil. Manusia Indonesia harus dibentuk menjadi masyarakat yang sangat menghargai dan menghormati sistim nilai dan tatanan norma etis-kolektif yang diwarisi oleh generasi-generasi sebelumnya.  

Saya jadi ingat cerita Duta Besar Indonesia untuk Selandia Baru, Tantowi Yahya, baru-baru ini melalui Seminar Virtual dengan tema Change Management and Dealing with COVID-19, tentang warga negara Selandia Baru yang begitu patuh pada anjuran pemerintahnya. Menjalani lockdown ketika tinggal di salah satu negara yang paling indah di dunia tentu menjadi pengalaman yang sangat tidak menyenangkan. Tapi karena mereka sadar bahwa semua untuk kebaikan bersama, instruksi pemerintahnya pun dipatuhi dengan penuh tanggung jawab.

Terakhir, wabah COVID-19 harus dilihat sebagai titik bangkit untuk meng-upgrade sistem pendidikan kita menuju pembangunan manusia secara utuh dan berkelanjutan. Sistem pendidikan kita harus memproduksi masyarakat yang menjiwai semangat “tenggang rasa”, yakni mampu menempatkan diri pada situasi yang dialami oleh orang lain, sehingga bisa turut berempati pada apa yang terjadi pada mereka. 

*Penulis adalah staf pendidik di UIN Banten, tinggal di Cilegon.

Topik:

  • Ni Ketut Sudiani

Berita Terkini Lainnya