Manusia dan Keringkihannya

Catatan dari Ni Ketut Sudiani

Kursi-kursi kosong, meja-meja penjamu tamu dirapatkan. Spanduk pengumuman yang terpasang, telah setengah miring tertepa angin, menutup gerbang rumah-rumah makan, penginapan, juga toko-toko pinggir jalan. Deburan Pantai Kuta terdengar begitu biru, semerdeka langit yang lapang membentang tanpa batas, tanpa desakan keinginan manusia.

Pesepeda dan pejalan kaki lewat menyusuri jalanan Kuta, Minggu pagi itu. Tak banyak, hanya dua tiga orang. Mereka melewati seorang perempuan yang bersiteguh sendiri menjajakan dagangan kecilnya di depan sebuah gerai, yang biasanya dipenuhi pelancong kulit putih dari negara nun jauh di utara, atau benua di selatan Indonesia.

Barangkali mereka adalah Manusia Bali yang kini tengah mencoba mengenal kembali dan meresapi alam tanah kelahirannya, yang mungkin ternyata selama puluhan tahun ini tak sungguh bisa mereka kenal seutuhnya.

Sunyi serupa terasa pula di area lain, terlebih pusat-pusat pelega dahaga para turis, Seminyak, Legian, Canggu, Ubud. Saya duga begitu pula di titik lainnya. Melewati simpangan Monumen Bom Bali, tanpa seorang pun ada di jalan saat pertengahan April 2020 itu, langsung membayang di ingatan tragedi tahun 2002 dan 2005. Pukulan dan senyap yang sama. Bisa jadi lebih keras atau kali ini lebih segera melunak.

Rasanya saat ini tak ada yang sanggup memberi jawaban dan kalkulasi yang pasti. Walau sekian ujaran berdasar ilmiah, asumsi, maupun prediksi telah dilontarkan dalam berbagai surat kabar, namun alam tampaknya masih sangat rekat menyimpan misterinya. Ya, tak pernah terbayangkan sebelumnya serempak hampir semua manusia penghuni bumi ini, penguasa tertinggi hingga kaum paling jelata,  diporak-porandakan jasmani dan batinnya oleh sebuah virus bernama corona. Manusia diringkihkan dan dilemahkan. Semua seketika dipaksa tunduk. Serangan yang senyap dan membunuh dalam sekejap, membuat semua kepongahan, keriuhan, dan segala gerlap gempita manusia lenyap.

Kegaduhan ini muncul di tengah Hari Raya Nyepi dan di Bulan Ramadan. Selama lebih dari seperempat abad lamanya, saya percaya dan teramat mensyukuri kehadiran Nyepi, hari yang rasanya sangat ditunggu-tunggu oleh banyak orang, sebab hanya itu HARI yang sanggup sejenak menghentikan gerak perputaran kehidupan, memberi manusia waktu untuk lebih mengenali dirinya. Tapi nyatanya virus ini menempeleng keyakinan saya itu. Kini dia bahkan wenang memaksa manusia MENYEPIKAN diri selama berhari-hari, bahkan mungkin akan berbulan-bulan.

Jika ada penguasa atau negara yang dianggap paling beradab dan adidaya di dunia ini, ternyata pun dibuat tak berkutik. Indonesia yang diyakini sebagai negara dengan penduduk Muslim terbanyak pun harus menyesuaikan kembali segala tradisi dan ritual-ritual keagamaannya. Awal bulan Ramadan kali ini bahkan tanpa diikuti dengan gemuruh riuh bedug, tanpa Tarawih, dan tak ada mudik. Ya, pertama kali terjadi dalam sejarah. Pada masa lalu, mungkin hanya perang yang membekukan semua aktivitas. Tapi kali ini pun sesungguhnya kita memang sedang perang. A war without gun. The invisible enemy!

Menyaksikan semua fenomena ini, teringat pula saya pada sebuah karya fiksi film A Quite Place, Bird Box, juga novel Sampar karya Albert Camus. Ketika menyerapi kisahan demi kisahan di dalam karya tersebut, tak pernah terbersit sedikit pun apabila hal-hal seperti yang digambarkan akan mungkin bisa terjadi dalam kehidupan nyata. Diceritakan ada sebuah kota selama berbulan-bulan dikepung penyakit misterius dan penduduknya tumbang satu per satu, ada tentang manusia yang harus tetap di dalam rumah agar selamat, juga manusia yang mesti hidup tanpa bersuara agar tidak diserang makhluk ganas.

Apabila mengikuti alur pikiran lurus, memang boleh jadi apa yang diceritakan hanya khayalan semata, jauh dari logika. Tapi saya ingat pesan seorang guru, kadang fiksi bisa jauh lebih nyata dari kenyataan. Sekarang saya mengerti maksud kata-katanya.

Dalam waktu hanya empat bulan, virus ini mematahkan logika manusia, ‘menghidupkan’ fantasi-fantasi yang kerap hanya dianggap bualan atau omong kosong belaka. Tak sampai perlu waktu setengah tahun, ratusan juta orang dilumpuhkan. Jelas tampak betapa ternyata manusia begitu ringkih. Ya ringkih dalam banyak hal.

Kemanusiaan manusia ditelanjangi

Manusia dan KeringkihannyaPexels.com/Iván Rivero

Petang yang lain, saat saya merebahkan diri sejenak usai bekerja mengedit sejumlah tulisan, masuk sebuah pesan suara melalui WhatsApp dari seorang sahabat di Belanda. Setelah hampir memasuki minggu ke empat saya melakukan semua kerja di rumah, rasanya gembira menerima pesan teman-teman, tentu dengan harapan mendengar kabar baik.

Tapi sayang, yang saya dengar kali itu justru sebaliknya. Ia sampaikan bahwa semakin khawatir keluar rumah. Bukan semata karena virus, tapi lebih pada pengucilan dan segala kecurigaan yang ditujukan padanya. Perawakannya yang lebih tampak seperti orang ASIA tinimbang berwajah Belanda, membuatnya disisihkan dan dianggap sumber penyakit. Padahal jelas, dia lahir, besar, tumbuh dengan budaya Belanda. Semakin pedih dan menyakitkan sebab perlakuan itu didapatnya justru dari lingkungan tempat dirinya hidup puluhan tahun ini.

Setelah mendengar semua ceritanya, saya letakkan ponsel. Tertegun. Bingung sekaligus makin tak percaya dengan kenyataan yang saat ini benar-benar tengah terjadi. Sama pula halnya dengan kasus di Pelabuhan Padangbai, Bali, seorang anak yang dibiarkan terombang-ambing dalam keadaan lemas karena dianggap penebar penyakit. Setelah sekian lama adu debat, barulah masyarakat setempat mengizinkannya lewat. Bukan tidak mungkin, dengan kondisi kesehatan seperti itu, bisa jadi nyawa anak itu tak terselamatkan.

Belum lagi mafia-mafia yang dengan pongahnya memanfaatkan ketakberdayaan ini untuk mencari keuntungan diri, memperkaya pundi-pundi yang sesungguhnya sampai kapanpun tak akan pernah puas untuk diisi. Silang sengkarut terjadi di berbagai lini. Meski memang tak sedikit pula yang telah turut tergerak berbuat dan membangun harapan dalam menghadapi pandemik ini.

Virus yang kita hadapi saat ini dengan kekuatan super power-nya seakan tengah menelanjangi kemanusiaan manusia. Semua orang, ya semua orang, tak terkecuali, tak ada yang terkecuali, kini tengah diuji.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya